Detective Case File
(Case 1: Mysterious Call ~The Culprit~)
~~~***~~~
By: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mystery, Crime, Friendship, -little bit-
Romance
Warning: Membuat anda pusing tujuh keliling
karena ketidakjelasan cerita yang diakibatkan kapasitas otak Author yang
minim(?)
Disclaimer: Nama-nama yang saya ikutkan di
cerita ini milik orang-orang yang merasa telah saya curi(?) namanya, juga
kepribadian mereka yang saja OOC-kan dengan nistanya, terutama orang-orang yang
kenal dengan saya.
~~~***~~~
“Kenapa sampai
sejauh ini?”
“Karena… Aku ingin
membalaskan dendamku.”
.
“Kepada orang-orang
tak tahu diri seperti mereka!!”
***
Lembab. Pengap. Cahaya
matahari yang tak pernah masuk ke dalam ruangan. Itulah pemikiran yang muncul
di otak gadis berkacamata yang sedang dalam misi penguntitannya.
Ia melepas contact
lens-nya, ngomong-ngomong. Terlalu lama memakainya tidak enak tahu.
Matanya menyipit,
mencoba untuk melihat gambaran suasana di depannya dengan lebih jelas. Kalau
boleh protes–curhat–, lensa kacamata miliknya harus segera diganti. Salahkan
kebiasaannya yang tak pernah lepas dari barang-barang elektronika yang memiliki
radiasi tinggi. Bahkan itu dilakukannya selama berjam-jam.
Dan dia tidak pernah
menyesal. Lagipula dari dulu dia ingin memakai kacamata. Menurutnya orang
berkacamata kelihatan lebih… keren? Dan... dewasa? Alasan yang–cukup–buruk
untuk menurunkan fungsi penglihatanmu.
Ah.. Sudahlah.
‘Itu mereka!’ batin gadis itu setelah melihat sekelebatan
sosok yang diikutinya. Kakinya melangkah kembali, mendekati lokasi sasarannya.
Ia menyeringai kecil.
‘Gotcha!’
***
‘Kalau tidak
cepat-cepat.. Aish!’
“Kak?”
‘Bodoh! Pabo! Pabo!’
“Kak Yongjin!”
‘Ceroboh! Dasar
ceroboh!’
“KAK!!! BERHENTI SEBENTAR!!!”
Teriakan keras dari
arah belakang gadis itu ternyata cukup ampuh untuk menyadarkan sang gadis dari
pikiran-pikiran yang ada di kepalanya. Dan dalam sekejap gadis itu sudah
menghentikan langkahnya–sampai hampir terjatuh–sembari menengok ke belakang, ke
arah dua orang pemuda berumur lebih muda darinya dengan tatapan tajam.
“Kalian bisa tidak,
tidak berteriak seperti itu?!” seru Yongjin dengan penuh amarah. Jelas saja,
siapa yang tidak marah kalau diteriaki seperti itu dan membuatnya hampir terjatuh.
“Kakak yang tidak
dengar saat kami memanggil kakak. Kenapa kakak terburu-buru sekali sih?
Setidaknya jelaskan pada kami apa yang terjadi!” tuntut Izaaq, karena ia memang
tak tahu apa masalah dari keterburu-buruan Yongjin.
“Benar! Sebenarnya ada
apa kak? Jika kakak menceritakannya pada kami, pasti kami mengerti kenapa kakak
bersikap seperti ini!” seru Steve.
“Kak, tolong ceritakan
pada kami!”
“Kak Yongjin!”
Yongjin terdiam.
Desakan kedua hoobae-nya membuatnya sadar. Ya, ia tidak mengatakan apa
pun kepada mereka dan hanya menuruti jalan pikirannya bahwa ia harus pergi
secepat mungkin agar leader sekaligus sahabatnya itu bisa diselamatkan
dari kebodohan dan kecerobohannya.
“Kak?”
“…Arisa dalam bahaya,
dia bertindak ceroboh dengan pergi sendiri ke tempat si pelaku berada. Bahkan
dia tidak mengabari kami,” jelas Yongjin yang disambut dengan ekspresi shock
dari dua pemuda yang tengah menatapnya tak percaya.
“La-lalu.. kenapa kak
Yongjin bisa tahu hal ini sementara kak Arisa tak mengabari kakak sama sekali?”
tanya Steve kembali meminta penjelasan.
“Seonghun yang
mengabariku. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa yang memberi tahu Seonghun,
tapi yang jelas kita harus segera ke tempat Arisa berada.”
“Lalu.. kak Arisa
sekarang ada di mana?” tanya Izaaq penasaran.
“Kemungkinan, dia ada
di sekolah-”
Jeda sejenak.
“-bersama si pelaku
dan korban selanjutnya.”
Dan kedua pasang mata
itu kembali membulat tak percaya.
***
Mentari senja telah
menghilang ke peraduannya. Menyisakan mega merah yang perlahan berganti menjadi
semburat hitam malam. Tersisa sedikit warna merah di langit hingga merah itu
akhirnya tertutup sempurna oleh hitam. Menandakan malam yang telah datang.
Sekolah dengan
arsitektur ala bangunan jaman dahulu itu semakin memperlihatkan kesan misterius
sekaligus mengagumkan ketika kau mendatangi tempat itu. Angin malam yang
berhembus membuatmu berdesir. Meninggalkan sedikit rasa takut yang harus kau
tahan jika kau ingin memasuki tempat itu, terutama di malam hari.
Ya, itu mengerikan.
“Kak, kakak yakin kak
Arisa ada di sini?”
“Menurut pesan dari
temanku… Ya, dia ada di sini.”
“Lalu sekarang kita
harus mencari ke mana? Sedangkan, hari sudah gelap. Kita juga tidak tahu lokasi
kak Arisa sekarang.”
Dua pemuda dan seorang
gadis itu terdiam. Hari sudah malam, mereka hanya mendapatkan petunjuk kalau
Arisa ada di sini dan–kemungkinan–sedang bersama si pelaku, terlebih lagi posisi
keberadaan Arisa juga tidak mereka ketahui.
Jalan buntu.
“Apa yang harus kita
lakukan, kak? Kita tidak mungkin ‘kan membuang waktu di sini?”
“Ya, ya, aku tahu. Aku
juga sedang mencari solusinya.”
Si pemuda paling tua
berjalan mondar-mandir sembari memikirkan cara agar mereka bisa menemukan
lokasi keberadaan si pelaku secepatnya. Dan menyelamatkan ketua mereka yang
ceroboh itu tentunya.
“Kak Seonghun, kakak
masih menyimpan pesan teman kakak ‘kan?” Ucapan Cloud membuat Seonghun
berhenti. Ah! Kenapa dia bisa lupa akan hal itu!
“Sepertinya iya,” ujar
Seonghun seraya mengecek deretan inbox-nya. Mencari-cari pesan yang
dikirimkan Naoto padanya.
“Ini dia!” serunya
perlahan, kemudian menyerahkan handphone-nya pada Cloud.
Dengan segera, Cloud
mengambil notebook miliknya dari dalam tasnya. Ia menghubungkan handphone
itu dengan notebook-nya. Ia membuka sebuah aplikasi program yang
akan membantunya dalam melacak lokasi keberadaan seseorang melalui alamat e-mail
maupun nomor teleponnya.
“Sedikit lagi…. Yak!
Kak Seonghun, aku sudah tahu lokasinya!” seru Cloud. Tak ayal, Seonghun dan
Levi yang dengan sabar menunggu segera menghampirinya. Sebuah titik yang
menandakan lokasi Naoto berkedip-kedip.
“Sepertinya lokasi
teman kakak tak jauh dari sini,” ujar Cloud ketika melihat hasil pencarian di notebook-nya.
“Huh? Tempat ini
‘kan…” Seonghun memutus perkataannya.
“A-ada apa… Seonghun?”
Sebuah interupsi
datang dari arah gerbang sekolah. Tiga orang yang baru menjejakkan kakinya di
lingkungan sekolah itu terlihat kelelahan. Terang saja, mereka berlari sekuat
tenaga dan secepat mungkin agar sampai di sini agar bisa membongkar kasus ini
dan menyusul idiot leader yang dengan gegabahnya mengejar si pelaku.
Ah ya, semua ini
gara-gara ulah leader mereka.
“Yongjin?” Seonghun
mengerutkan alisnya.
“Katakan… Apa sekarang
dia ada… di gudang tua?”
***
“Se-sebenarnya… Kenapa
kita ada di tempat ini?” Dengan rasa takut dan khawatir, orang itu mengikuti
seseorang yang berjalan di depannya.
“Tenang saja.. Hanya
untuk mengenang masa lalu saja,” jawab yang diikuti sembari menyeringai kecil.
“Yak, sepertinya kita sudah sampai,” lanjutnya.
Ia mengeluarkan
sesuatu dari dalam jaket tebalnya. Sebuah kilatan cahaya dari benda metal yang
terkena sinar rembulan mengagetkan orang yang mengikuti.
Matanya melebar. Sesuatu
yang ia bayangkan sejak kejadian “itu” benar-benar terjadi. Keringat dingin
menetes dari pelipisnya. Mengalir menuju dagu hingga menetes ke tanah.
Ia takut. Sangat
takut. Berharap ini hanya mimpi buruk dan ia akan segera terbangun dari mimpi
itu.
Sayang, ini bukan
mimpi.
“Waktunya menjemput
ajalmu.”
Pisau itu diarahkan
pada sang sasaran. Sang pemangsa siap “menerkam” sang mangsa yang berdiri terdiam
mematung tak berkutik. Berdoa agar seseorang menyelamatkannya dari situasi
tersudut ini.
“Selamat tinggal!”
“BERHENTIIII!!!!”
***
Kedua tangan gadis itu
mengenggam erat. Merasa muak akan kejadian live yang dilihatnya. Ia
ingin segera “bergabung”, tapi ia merasa bukanlah waktu yang tepat untuk
menangkap sang pelaku saat itu. Jika keadaan sudah memungkinkan, maka waktunya
ia beraksi.
“Yak, sepertinya kita
sudah sampai.”
Perkataan dari si
pelaku terdengar jelas di telinga gadis itu. Ia terkejut melihat benda yang
tengah dibawa pelaku.
‘Itu pisau!’ batinnya.
‘Apa yang harus
kulakukan?’ Hatinya terdorong
untuk segera berbuat sesuatu.
Tapi apa?
“Waktunya menjemput
ajalmu.”
Ia tak bisa berdiam
diri lagi. Ia melihat gelagat berbahaya dari si pelaku. Dari pisau yang
diarahkan pada sang korban.
‘Sial! Dia sudah
gila apa?!’
“Cih!”
Mendecih kesal. Ia tak
bisa hanya terus mengawasi seperti ini. Ia harus bertindak.
‘Ah! Masa bodoh!’
“BERHENTIIII!!!!”
Satu langkah yang
menuntunnya pada takdir yang tak terduga.
***
“Ke-kenapa kau bisa
tahu?” Seonghun mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa Yongjin yang belum satu
minggu bersekolah di sekolahnya mengetahui hal itu?
“Aku… diberitahu
seseorang,” jawab Yongjin serius. Pandangan matanya yang tajam seakan mencoba
membuktikan apa yang dikatakannya memang benar.
“Siapa? Naoto?”
Seonghun akhirnya mengatakan nama orang yang menuntunnya selama ini. Naoto-lah
yang memberikan beberapa titik terang dalam pemecahan kasus ini.
Yongjin tak menjawab.
Bukannya ia tak mau mengatakannya, tapi itu semua adalah rahasia yang harus
dipendamnya sampai kasus kali ini selesai. Sampai kasus tertutup.
“Itu tak penting,
sekarang kita harus pergi ke sana! Bukannya Arisa sekarang dalam bahaya? Tak
seharusnya kita membicarakan hal lain sedangkan ada orang yang nyawanya tengah
dalam bahaya!”
Seonghun tersentak.
Entah kenapa Yongjin jadi cepat emosi. Ia sadari Yongjin terkadang memang suka
seenaknya, tapi ini lain. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
‘Apa yang kau
sembunyikan dariku?’
Hanya menghela napas,
Seonghun terlihat seperti menerima dan memaklumi kelakuan Yongjin. Meskipun
dalam hatinya, terdapat berbagai pertanyaan yang ingin diajukannya pada gadis
yang setahun lebih muda darinya itu.
‘Kurasa aku harus
bersabar dan menunggu waktu yang tepat.’
“Baiklah, ayo.”
***
“BERHENTIIII!!!!”
‘Suara itu!’
Naoto terkesiap. Ia
mendengar suara seseorang. Seseorang yang selama ini dicarinya tanpa henti.
Untuk menjelaskan sesuatu yang terjadi di masa lalu.
Tragedi yang ia
yakini, gadis itu ingin mengingatnya. Karena mereka berdua, ia dan gadis itu
telah kehilangan orang yang mereka sayangi. Tragedi yang membuat gadis itu
terus menyalahkan dirinya sendiri, dan rela pergi jauh agar memori menyakitkan
itu tak datang lagi.
Menghilangkan semua
ingatannya akan masa lalu.
.
.
Tapi tidak untuk
pemuda itu.
“Arisa!”
Lari. Berlari sampai
menemukan sosok yang dicari.
Siluet seseorang telah
dilihatnya. Siluet seorang gadis yang sedang berlari, berusaha menghentikan
sebuah peristiwa yang bila dihubungkan akan memberi kesimpulan… Percobaan
pembunuhan.
Bagaikan tampilan film
yang diperlambat. Adegan Arisa yang mendekati si korban yang siap ditusuk oleh
si pelaku memberikan sebuncah kekhawatiran di dalam diri Naoto. Mungkin saat
ini ia bukanlah siapa-siapa bagi Arisa, ia tak memiliki hubungan dengan gadis
itu.
Namun di masa lalu,
itu berbeda. Sangat berbeda.
Dan Naoto ingin
mengubahnya.
Mengubah Arisa yang
sekarang menjadi Arisa yang dulu dikenalnya.
“ARISAA!!!”
***
“Itu dia tempatnya!”
Tergesa-gesa, keenam
pemuda-pemudi itu berlari menuju bangunan tua yang telah lama tak dipakai.
Bahkan tak seorang pun ingin memasuki bangunan yang dikabarkan berhantu sejak
tiga tahun yang lalu itu. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan bangunan itu
mendapat cap “berhantu”. Namun, konon kabarnya ada yang pernah bunuh diri di
tempat itu dengan menggantung diri. Menurut orang-orang itu hanya kabar burung,
tapi… jika pihak sekolah tempat bangunan itu berada menutupinya? Itu akan lain
lagi.
“BERHENTIIII!!!!”
“Itu suara Arisa!”
Seseorang di antara mereka menyadari gema yang datang dari dalam gudang.
Perasaan mereka makin tak enak.
“ARISAA!!!”
‘Naoto!’
“Che! Kita
harus segera menghentikan si pelaku, dan menyelamatkan mereka semua!”
Adrenalin terpacu.
Degupan jantung yang keras serasa sebuah perlombaan balap memberi mereka
kekuatan lebih untuk mencapai titik “finish”.
Titik “finish”
yang akan mempertemukan mereka pada akhir dari sebuah drama yang menyedihkan.
Puncak klimaks yang mengungkap semua rahasia terselubung dari kasus yang mereka
tangani.
Dalam hitungan menit.
***
Clang!
Sebuah benda terlempar
dalam sekejap tanpa sempat menyentuh kulit sasarannya sedikit pun. Terima kasih
untuk high kick yang berasal dari seorang gadis yang tiba-tiba saja
menginterupsi kegiatan terlarang yang dilakukan oleh si pemilik benda itu.
“Hentikan, jika kau
tidak ingin melakukan kesalahan yang akan membuat hukumanmu menjadi lebih
berat,” ucap gadis itu. Dia-lah Arisa.
“Heh! Apa urusanmu,
huh? Kau hanya mengganggu tujuanku! Dasar detektif sok!” geram si pemilik
pisau. Ya, benda itu adalah pisau. Yang siap untuk mencabut nyawa seseorang
jika saja Arisa tak menghalanginya.
“Apa kau tidak sadar?!
Sudah dua orang yang kehilangan nyawa karena perbuatanmu! Dan sekarang kau
ingin menambahnya? Pikirkan jika kau melakukannya, kau bisa saja dihukum mati!”
“AKU TIDAK PEDULI!”
Terdiam. Arisa tahu
bagaimana perasaan sosok di hadapannya. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan.
“Tapi.. bukan begini
caranya…” ujar Arisa nyaris seperti sebuah bisikan, namun masih bisa terdengar
mengingat keadaan gudang yang sepi.
“Kau tidak tahu… TIDAK
TAHU APA-APA TENTANGKU!!!” teriak sosok itu seakan membelah keheningan yang
ada.
“Aku memang tak tahu,
aku tak tahu apa-apa tentangmu. Tapi, biarkan aku membantumu agar kau tidak
melakukan dosa ini lagi,” Arisa memohon dengan tatapan nanar.
“Tolong.. biarkan aku
membantumu, Aki.”
***
“ARISAA!!!”
Clang!
Langkah Naoto
terhenti. Indra penglihatannya terbelalak melihat aksi yang dilakukan Arisa. Ia
memang tahu jika Arisa memiliki keahlian martial arts yang diajarkan
pamannya, tapi ia tak menyangka jika Arisa akan menggunakannya. Sejak kejadian
“itu”.
“Naoto!”
Naoto mengenal suara
itu.
Ia menoleh ke
belakang, dan dilihatnya Seonghun beserta member yang lain sedang
berlari ke arahnya. Ia rasa sekarang tak perlu menjaga volume suara mereka
lagi, karena apa yang dilakukan Arisa tadi. Itu sudah cukup untuk mengetahui
bahwa ada orang lain di gudang itu selain si pelaku dan si calon korban.
“Kalian tahu kalau aku
ada di sini?” tanya Naoto keheranan setelah mereka sampai di dekatnya. Terang
saja, ia mengira akan ada salah satu dari mereka–dan kemungkinan besar
Seonghun–yang akan menghubunginya melalui handphone. Tapi ternyata tak
ada seorang pun yang menghubunginya.
“Ah.. Aku menemukan
lokasimu dari program pencari milik Cloud, yah.. kupikir kau pasti sudah berada
di dekat si pelaku, makanya aku tidak menghubungimu,” jelas Seonghun seakan
bisa membaca pikiran Naoto.
“Dan untungnya jika
aku tidak mengingatkan kak Seonghun soal itu pasti keadaan kakak sudah terpojok
gara-gara suara yang dihasilkan handphone milik kakak,” sambung Cloud
datar, tak menganggap picingan mata Seonghun sebagai alasan untuk menghentikan
ucapannya.
“A-ah.. Nee, arigatou,”
ucap Naoto dengan keringat yang mengalir dari pelipisnya. Singkatnya, sweatdrop.
“Jadi, kak Arisa ada
di mana?” tanya Izaaq. Sekali-sekali bolehlah ia memulai pembicaraan.
“Dia ada di sana,”
ucap Yongjin seraya menunjuk ke arah Arisa dan dua orang lain yang ada di
dekatnya.
“Hey, Naoto. Bukankah
itu… Aki dan Matsuda-sunbae?” Seonghun memajukan dirinya agar bisa
melihat sosok dua orang yang tengah bersama Arisa.
“Nee….”
“Jadi, apakah benar si
pelaku adalah-”
“Tolong.. biarkan aku
membantumu, Aki.”
Perkataan Arisa
memutus ucapan Seonghun.
“Aki?”
***
“Tolong.. biarkan aku
membantumu, Aki.”
Aki terdiam. Sudah
terlambat untuk membantunya. Semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur.
Tak ada yang bisa mengulang masa lalu, semua sudah berlalu. Dan dosa yang sudah
ia lakukan… akan ia terima konsekuensinya.
“He-he…
ha-hah-hah.. AHAHAHAHA!!!”
Aki tertawa layaknya
seorang psikopat. Ia memegang perutnya, menganggap ucapan Arisa adalah guyonan
yang sangat lucu baginya. Lelucon yang hanya akan dianggap angin lalu untuknya.
“… Membantuku..?”
lirih Aki setelah puas meluapkan tawanya, ekspresi sedih dan kehilangan jelas
terpancar di wajahnya. Arisa menatapnya dengan kasihan. Sangat jelas jika
selama ini Aki memendam perasaan “hitam” bernamakan “dendam” di hatinya.
“Jika kau
sungguh-sungguh ingin membantuku-” Aki menyelipkan tangannya di balik jaketnya.
“BAWA ASUKA KEMBALI KE
SINI DARI AKHIRAT!”
Aki menerjang Arisa
yang terpaut jarak hanya beberapa meter darinya. Ia mengeluarkan sebuah pisau
lipat yang ia jadikan cadangan dari balik jaket yang dikenakannya. Mengetahui
hal itu, dengan sigap Arisa menghindari Aki dan segera menangkap tangannya
serta menguncinya.
“Hentikan Aki! Kau sudah
bertindak terlalu jauh!” teriak Arisa sembari mengunci gerakan Aki.
“Cih! Lepaskan!
Lepaskan aku!” Aki meronta sekuat tenaga. Mencoba melepaskan kuncian Arisa.
“A-chan.”
Panggilan itu.
Panggilan yang sudah lama tak Aki dengar. Panggilan yang berakhir tiga tahun
yang lalu. Ketika ia kehilangan seseorang yang ia sayangi sekaligus ia… cintai.
“Gomen… Maafkan
aku, waktu itu aku benar-benar tidak bermaksud untuk mencelakai Asuka. Aku…
benar-benar minta maaf. Semua terjadi begitu cepat. Aku.. juga tidak tahu
bagaimana Asuka bisa tergantung dan… meninggal,” jelas Akahito–atau
Matsuda–seraya perlahan mendekati Aki.
“Bohong! Kau bohong!
Jelas-jelas kalian yang merencanakan hal itu ‘kan?! Kalian berencana ingin
membunuh Asuka ‘kan! Kalian ingin membungkam Asuka karena dia tahu bahwa kau
masuk ke SMA ini dengan menyuap orang dalam!” raung Aki, membuat Arisa sedikit
kewalahan menghadapinya. Tapi ia masih bisa menahannya.
“Bukan seperti itu
Aki!” Akahito menaikkan nada bicaranya. Aki terhenyak dan memilih untuk menghentikan
rontaannya.
“Aku masuk ke SMA ini
karena Ai, dia yang memberikan beasiswa yang diterimanya untukku secara
cuma-cuma. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya kenapa orang yang memiliki
kepintaran di bawah rata-rata sepertiku bisa masuk di sini, tapi aku tidak
ambil pusing, dan aku benar-benar berusaha sekuat tenaga agar aku bisa membalas
kebaikan Ai, dia juga yang menyuruhku untuk loncat kelas.. sampai aku bisa
berada di tingkat yang sama dengan Ayumi…” Tatapan Akahito menyendu.
“Ai tahu kalau aku menyukai
Ayumi, dan dia melakukannya agar aku bisa bersama dengan Ayumi. Ai menyukaiku,
dan kami juga sudah pernah berhubungan, tapi ia memilih untuk mengorbankan
perasaannya dengan membantuku. Dan.. Asuka tidak meninggal karena hal itu, semua
itu hanya sebuah kecelakaan,” terang Akahito, berharap Aki bisa mengerti.
“Bohong… JANGAN
BERCANDA!” teriak Aki.
“Aku tidak bercanda!!”
balas Akahito. “Semua itu… kecelakaan, Aki.”
“Siapa yang mau
percaya pada bualanmu hah?!”
“Aki… Apa kau tahu
kapan Asuka meninggal?” tanya Akahito. Aki terdiam. Ia tahu kapan peristiwa itu
terjadi.
Sehari sebelum hari
ulang tahunnya.
“Dia ingin membuat
pesta kejutan untukmu keesokan harinya. Malam itu dia mengajak kami bertiga
untuk membantunya, dia berniat untuk mengadakannya di sini. Pesta kejutan
sekaligus pernyataan cintanya untukmu.”
“Bo-hong…”
“Kami sudah
membersihkan tempat ini dan siap untuk menghiasnya. Tapi ketika Asuka ingin
menghias bagian langit-langit tempat ini… tangga yang digunakannya tiba-tiba
goyah, dan ia terlilit oleh hiasan yang dibawanya, dan setelah itu… hal itu
terjadi.”
Genangan air tercipta
di mata Aki. Ia tidak tahu… Apa yang sudah ia lakukan?
“Kami… sudah berusaha
untuk menyelamatkannya, tapi… terlambat, ia sudah pergi. Maaf… maafkan aku,
Aki,” sesal Akahito. Ia berlutut, menyesali kesalahannya.
Aki melemas. Kekuatan
yang digunakannya untuk melepaskan diri dari Arisa entah kini hilang ke mana.
Merasa Aki tak mungkin melawan lagi, Arisa melepaskan kunciannya. Dengan segera
Aki terduduk lemas. Ia tak mengira, sungguh tak mengira bahwa ia sudah
mendendam pada orang-orang yang tak bersalah. Terlebih membunuh mereka.
Clang!
“A-apa.. yang sudah
ku-laku-kan?” Aki menutup wajahnya. Pisau lipat yang dibawanya telah
dilepaskannya.
Arisa tersenyum sedih.
Ya, ini akhir yang terlalu sedih untuk sebuah kasus. Oleh karena itu ia ingin
segera mengungkap kasus ini. Agar tak ada lagi korban dan tak ada lagi
kebohongan. Agar semua itu bisa berakhir segera, menghilangkan kabut yang
menutupi kebenaran yang selama ini tertutupi.
“Kak Arisa!”
“Arisa!”
Mengalihkan
pandangannya dari kedua orang yang tengah meratapi kehidupan di depannya, ia
melihat segerombolan remaja yang merupakan member kelompoknya. Bersama
dengan seseorang… Naoto?
“Huwaaa!!!”
Dalam sekejap, Yongjin
sudah memeluk Arisa sembari menangis meraung-raung. Apa sebegitu khawatirnya
dia?
“Hey, hey… Kau kenapa
menangis?” tanya Arisa kebingungan.
“Kau idiot! Neo…
jeongmal pabonikka!”
Arisa sweatdrop.
Aah… Baru bertemu langsung dibilang “idiot”. Betapa malangnya nasibmu.
“Sudah, sudah...
Jangan menangis.” Arisa menepuk-nepuk punggung Yongjin, mencoba menenangkan
gadis itu sekaligus menghentikan tangisannya.
“Aku khawatir padamu
tahu! Kau pikir kau bisa bertindak seenaknya tanpa seorang pun yang berada di
sampingmu huh?! Kami sangat mengkhawatirkanmu, pabo! Berterima kasihlah
pada Naoto yang memberitahu kami,” isak Yongjin seraya melepaskan pelukannya
pada Arisa.
“Ya, kami benar-benar
kesusahan ketika Naoto bilang kau pergi ke tempat si pelaku sendirian.
Syukurlah kau tidak apa-apa,” tambah Seonghun.
“Tapi kak Arisa, itu
tindakan terceroboh dari kakak yang pernah kulihat,” komentar Steve santai.
“Kami tidak akan
bertanya penyebab kenapa kakak seperti itu, tapi yang jelas kita adalah
keluarga, jadi kakak bisa bercerita pada kami tentang masalah kakak. Tolong
jangan berlarut-larut memendam masalah, kak.” Kali ini dengan bijak Levi
memberikan advice bagi Arisa.
Arisa tersenyum. Ia
baru sadar, ia punya teman-teman yang baik. Mereka peduli padanya. Karena
mereka semua adalah keluarga.
“Ya, terima kasih, minna.”
Tak ada yang lebih
baik daripada ini bukan?
Akhir yang bahagia.
***
Mobil polisi
berjejeran di area sekolah. Menjemput seseorang yang sudah membuat was-was
lingkungan yang ada di sekitarnya. Seorang remaja yang juga merupakan murid
sekolah tersebut. Yang telah melakukan pembunuhan dua kali berturut-turut.
Entah hukuman apa yang akan menunggunya nanti.
“Terima kasih, Arisa-ssi.
Kalian juga, terima kasih,” ucap Mr. Park sebagai ucapan terima kasihnya atas
kontribusi yang diberikan oleh kelompok detektif itu.
“Sama-sama, Mr. Park.
Kami senang bisa membantu pihak kepolisian,” ucap Arisa sembari menjabat tangan
Mr. Park.
“Baiklah, kami permisi
dulu.”
Mr. Park melakukan
pose hormat yang dibalas juga dengan pose serupa oleh gerombolan remaja penyuka
misteri yang suka ingin tahu itu. Mr. Park tersenyum tipis, kemudian
meninggalkan mereka menuju ke tempat bawahan-bawahannya.
Dua orang polisi
tengah membawa Aki menuju mobil polisi. Sebelum Aki mencapai mobil polisi, ia
berhenti di hadapan kelompok detektif itu.
“Maaf, sudah
merepotkan kalian dengan membuat kalian sebagai tameng agar aku tidak
dicurigai. Tapi, pada akhirnya kalianlah yang menangkapku, ini benar-benar
seperti kisah detektif yang pernah kulihat,” ucap Aki. “Kalian teruslah
berjuang, aku yakin suatu saat kalian bisa menjadi detektif yang hebat. Dan
terima kasih, jika tak ada kalian mungkin aku tak pernah tahu kejadian yang
sebenarnya. Sekali lagi terima kasih, dan sampai jumpa.”
Dengan itu, Aki segera
digiring menuju mobil polisi. Lalu masuklah ia ke dalam mobil itu dengan
melirik sekilas pada Akahito yang tengah bersama Arisa cs.
Blam!
Nguing! Nguing!
Nguing! Nguing!
Seluruh mobil polisi
sudah meninggalkan lokasi sekolah itu. Membuat keadaan di sana menjadi kembali
seperti semula. Sunyi senyap.
“Umm.. Terima
kasih sudah menolongku, aku benar-benar berterima kasih!” ucap Akahito sembari
menunduk 90 derajat.
“A-ano.. Tidak
usah seperti itu, kami juga senang bisa membantu,” ucap Arisa merasa sungkan
akan perbuatan Akahito yang cara berterima kasihnya berlebihan itu.
“Tapi aku berhutang
nyawa pada kalian,” ucap Akahito sedikit ngotot.
“Tidak apa-apa, Sunbae.
Sekarang sunbae bisa pulang, semua sudah selesai,” ucap Seonghun bijak.
“Ya, terima kasih
Seonghun-kun. Kalian juga, terima kasih. Aku.. permisi dulu, sampai
jumpa.”
Akahito akhirnya
meninggalkan kawasan sekolah itu. Kini tinggal kelompok detektif itu dan juga
seseorang yang telah membantu mereka kali ini.
“Haaah… Aku
tidak menyangka Aki bisa berbuat seperti itu,” komentar Yongjin seraya menghela
napas.
“Yah.. Hati orang
siapa yang tahu,” balas Seonghun. Semua mengangguk setuju.
“Cloud, Levi, Steve,
dan Izaaq, kalian sudah boleh pulang, bukankah sekarang sudah hampir jam
delapan malam? Orang tua kalian pasti khawatir, walaupun sudah tahu kalau
kalian tengah menangani kasus,” perintah Arisa.
“Baik, kak! Kalau
begitu kami pulang dulu! Bye bye!” ucap Steve semangat. Ketiga junior
yang lain hanya menggeleng melihat tingkah Steve.
“Kami pulang dulu,
kak.” Cloud menunduk sopan.
“Ya, terima kasih atas
bantuan kalian.”
Keempat junior
itu juga sudah melangkahkan kaki mereka untuk meninggalkan area sekolah.
Sekarang hanya tinggal Arisa, Yongjin, Seonghun, dan Naoto yang masih berada di
sana.
“Lalu.. kalian berdua
juga akan kembali ke sekolah kalian lagi?” tanya Seonghun setelah sadar jika
kasus ini sudah selesai, maka Arisa dan Yongjin pasti kembali lagi ke sekolah
mereka yang semula.
“Secara otomatis,
begitulah,” jawab Yongjin sekenanya. Toh memang itu kenyataannya.
“Aku akan mengaturnya
malam ini, jadi besok kami sudah tidak bersekolah lagi di sini,” jelas Arisa
dibalas dengan anggukan dari Seonghun, namun tak ada ekspresi yang muncul dari
Naoto. Singkatnya, datar.
“Kau benar-benar cepat
untuk hal seperti ini,” celetuk Yongjin. Arisa hanya tersenyum misterius.
“Baiklah, kami akan
kembali dulu ke rumah bibi Mizushima untuk mengepak barang kami, baru setelah
itu pulang ke rumah. Kau juga segera pulanglah, Seonghun.” Arisa dan Yongjin
bersiap untuk pergi.
“Nee… annyeong.”
“Annyeong….”
Arisa dan Yongjin
telah pergi. Sekarang tinggal Seonghun dan Naoto.
“Hey, Naoto. Kenapa
kau tidak mengatakan sepatah kata pun untuk Arisa?” tanya Seonghun memecah
keheningan di antara mereka. Naoto mendengus.
“Hmph.. Mana
mungkin aku mengajaknya bicara disaat di mana ia kembali mengingat’nya’,
Seonghun-kun,” ucap Naoto. Seonghun tertawa kecil, sedikit mengejek.
“Yah.. Aku memang tidak
tahu apa masalah kalian berdua, tapi jika kau butuh bantuanku aku akan
membantumu,” tawar Seonghun. Naoto melirik ke arah pemuda yang beberapa bulan
lebih muda darinya itu.
“Mungkin, suatu saat
aku akan meminta bantuanmu, tapi untuk saat ini kurasa aku bisa melakukannya
sendiri,” tolak Naoto halus, namun masih meninggalkan kesan misterius.
“Naoto… sebenarnya apa
hubunganmu dengan Arisa? Aku sadar bahwa ada sesuatu di antara kalian ketika
pertama kali Arisa bertanya tentang dirimu,” ucap Seonghun penuh selidik dan
rasa penasaran yang tak pernah hilang dari seorang penggila misteri sepertinya.
“Suatu saat kau juga
akan tahu.” Masih dengan segala rahasia yang dimilikinya, Naoto kembali membuat
Seonghun bertanya-tanya dalam hati.
Sebenarnya apa yang
sudah terjadi antara pemuda ini dengan Arisa?
“Kalau kau tidak mau
mengatakannya-” Seonghun beranjak mendekati Naoto, berhenti di samping pemuda
itu. “Maka aku akan mengungkapnya sendiri.”
“Silahkan saja, aku
tak keberatan,” tantang Naoto dengan seringai di bibirnya. Dipandangnya bulan
yang sudah hampir memasuki purnama di langit. “Tapi, jika kau sudah mengetahui
semuanya, kuharap kau tak membeberkannya. Sengaja maupun tidak sengaja.”
“Atau aku akan…”
Seonghun memandang
Naoto.
“..’Membunuhmu’,”
sambung Naoto penuh keseriusan. Seonghun memincingkan matanya, melirik tajam ke
arah Naoto yang terlihat tak main-main dengan perkataannya.
“Benarkah? Kau akan
membunuhku?”
Naoto kembali memasang
wajah datarnya. Benar, terkadang dengan memasang wajah tanpa ekspresi seperti
itu akan mengaburkan semua pemikiran tentangmu. Menghalangi mereka untuk
membaca apa yang tengah kau rasakan, pikirkan….
“Heh.. Kau
serius ya?” Seonghun tersenyum lirih. “Aku memakluminya, kau hanya ingin
melindunginya ‘kan?”
Naoto memalingkan
wajahnya. Ia akui itu. Ia membenarkan ucapan Seonghun dalam hatinya. Ia sudah
cukup merasa bersalah dan tertekan. Ia hanya ingin bisa kembali seperti dulu.
“Kau juga sama ‘kan?”
balas Naoto. Seonghun tersenyum penuh arti.
“Kita impas kalau
begitu. Kau pegang ‘rahasia’ku, kupegang ‘rahasia’mu,” ucap Seonghun kemudian
mengarahkan genggaman tangannya tepat di depan wajah Naoto.
“Ya, kau benar.”
Naoto meninju tangan
Seonghun. Sebuah perjanjian telah dibuat.
***
“Kalian sudah mau
pulang?”
Seorang wanita paruh
baya menghampiri kedua orang gadis yang tengah mengepak semua baju dan
barang-barang yang mereka bawa selama mereka tinggal di rumah wanita itu. Tugas
mereka sudah selesai, dan sekarang waktunya mereka pulang.
“Iya, bibi. Kami
berdua akan pulang, terima kasih telah menerima kami selama ini. Maaf, kami
tidak bisa memberikan apa-apa untuk bibi,” ucap Arisa setelah selesai menutup
koper yang digunakannya sebagai tempat penyimpanan barang-barangnya.
“Iya, ahjumma,”
sambung Yongjin yang juga telah selesai memasukkan barang bawaannya.
“Tidak, seharusnya
bibi-lah yang mengucapkan terima kasih. Karena kalian, A-chan bisa
menyadari kesalahannya,” ucap bibi Mizushima dengan senyum lembut terbentuk di
bibirnya. Kedua gadis itu membalas senyuman bibi Mizushima.
“Dan bibi rasa.. di ‘sana’
Asuka juga sangat berterima kasih pada kalian,” lanjut bibi Mizushima.
“Kami rasa juga
begitu, bibi.”
Suasana kamar itu
menjadi hening. Kedua gadis itu juga berpikir pasti Asuka tak ingin Aki
melakukan kesalahan besar itu lagi. Karena menurut mereka Asuka pasti ingin
agar Aki tetap melangkah ke depan meski tanpa dirinya.
“Arisa, Yongjin, apa
kalian tidak makan malam di sini dulu? Kalian belum makan ‘kan?” tawar bibi
Mizushima. Wanita itu tahu kalau mereka berdua langsung merapikan barang-barang
mereka setelah pulang dari lokasi di mana Aki tertangkap. Itu artinya mereka
belum mengisi perut mereka yang pastinya masih kosong sejak tadi siang.
“Hmm.. Baiklah,
ahjumma. Ayo, Arisa!” seru Yongjin pada Arisa yang masih
mempertimbangkan ajakan bibi Mizushima.
“Tidak apa-apa, Arisa.
Ayo, kita makan,” ajak bibi Mizushima, mengerti jika Arisa terlihat sungkan
untuk menerima ajakannya.
“Umm.. Baik
bibi, tapi masih ada sesuatu yang harus kubereskan. Bibi duluan saja bersama
Yongjin.”
“Nee.. Kalau
begitu, kami ke bawah dulu ya? Kalau sudah selesai, segera ke bawah, ne?”
ucap bibi Mizushima seraya berjalan meninggalkan kamar diikuti Yongjin yang
mengekor di belakangnya.
Blam.
“Huft.. Mereka
sudah pergi,” desah Arisa pelan. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil yang
sebenarnya selalu dibawanya ke mana pun untuk jaga-jaga ketika dia melakukan
hal yang “ekstrem” bagi tubuhnya.
Arisa membuka tutup
botol itu, memperlihatkan pil-pil yang merupakan isi dari botol itu. Mengambil
sebutir pil dan menelannya.
“Semoga sudah tidak
kenapa-kenapa,” Arisa mencoba berdiri dan menghentak-hentakkan kaki kanannya.
“Yak, sudah lebih baik.”
Bukannya dia
penyakitan, bukan. Arisa hanya mengalami “masalah” di kaki kanannya sejak dulu.
Hmm.. Mungkin bukan sejak dulu, hanya baru beberapa tahun yang lalu.
Kakinya patah dan ia harus dipasangkan paku di tulangnya untuk menyambung
sekaligus menguatkan tumpuan di kakinya. Lalu, obat itu adalah penghilang rasa
sakit yang diminumnya ketika ia terlalu memaksakan penggunaan pada kakinya.
Seperti high kick yang dilakukannya beberapa saat yang lalu.
“Syukurlah tadi aku
masih bisa menahannya, jika tidak mereka pasti cemas terhadapku,” bisik Arisa,
kemudian memasukkan obat itu ke dalam kopernya. Tangannya yang bergerak untuk
menutup resleting koper miliknya terhenti ketika sebuah buku tua menyita
perhatiannya.
“Bagaimana bisa ‘kau’
kembali? Padahal jelas-jelas dengan mata kepalaku sendiri aku melihat ‘kau’ dan
‘dia’ ‘pergi’ bersama Nee-chan.”
Diambilnya buku itu,
membuka halaman di mana terdapat foto dari dua anak laki-laki yang sekilas tak
bisa dibedakan. Mereka kembar.
“Nee-chan, yang
ada di hadapanku sekarang ini ‘dia’ atau ‘dia’?” Arisa membaca tulisan yang ada
di foto itu. Nama kedua anak laki-laki itu.
*Naoto & Ryouta
! ^w^*
“Siapa?”
***
Pip pip pip pip..
Bunyi ketikan
tombol-tombol handphone yang sejak tadi terdengar di taksi seperti tak
habis-habisnya, mengingat kedua penumpang kendaraan itu tengah menggunakan handphone
mereka dengan kepentingan masing-masing. Si gadis berkacamata tengah mengirim e-mail
kepada entah siapa, yang jelas e-mail itu penting baginya. Sedangkan
gadis yang lain agak ogah-ogahan dalam mengetik e-mail miliknya.
“Selesai, besok kita
sudah bisa bersekolah lagi,” ucap si gadis kacamata pada gadis yang duduk di
sebelahnya.
“Ya, ya, aku tahu. Haah..
Padahal aku ingin libur walaupun sehari saja,” gerutu gadis itu, si gadis
kacamata tersenyum geli.
“Hey, sebentar
lagi libur musim panas ‘kan? Bersemangatlah, lagipula tak lama lagi kita juga
akan lulus, hanya tinggal setahun lebih kita bersekolah di sana, Yongjin,” ujar
gadis berkacamata pada gadis bernama Yongjin yang duduk di sampingnya.
“Ne, nee.. Aku
mengerti leader-ssi,” ucap Yongjin malas-malasan masih menatap layar handphone-nya.
Membuat gadis berkacamata yang disebut “leader” oleh Yongjin penasaran.
“E-mail dari
siapa?” tanyanya.
“Seonghun,” jawab
Yongjin singkat, padat, dan jelas. Membuat “leader” mengangguk-angguk
mengerti.
“Ooh.. Pasti dia
menanyakan soal ‘kembali’nya kita ‘kan?”
“Yah.. Kurang lebih
begitu,” balas Yongjin cuek. Sang “leader” menghela napas.
“Kenapa kau selalu
berusaha menghindarinya dan sok tak akrab dengannya? Bukannya kalian dulu pernah
berhubungan?”
Deg.
Jari-jemari yang
tengah mengetik itu berhenti, sang pemilik jari memasang wajah kesal. Ia tak
ingin mengungkit masa lalunya lagi. Karena secara tak langsung hal itu akan membuka
lagi luka di hatinya.
Luka yang sudah
diobatinya dengan susah payah.
“Sudahlah, Arisa.
Berhentilah membicarakan hal itu, aku tidak suka,” desis Yongjin dengan nada
memerintah. Arisa–leader–mematung. Bukannya ia tak tahu kenapa Yongjin
tak mau membicarakan hubungannya dengan Seonghun, bahkan Yongjin sendiri yang
menceritakan sebab mengapa hubungan mereka berakhir. Ia cuma ingin membantu
masalah gadis yang nyaris setahun lebih muda darinya itu.
“Oke, aku tak akan
berkomentar lebih banyak lagi,” desah Arisa pasrah. “Kalau begitu aku tidur
sebentar, bangunkan aku jika sudah sampai.”
“Ya.”
Arisa menggelengkan
kepalanya melihat kekeras kepalaan Yongjin. Menyerah, ia memilih menyamankan
posisi duduknya dan bersandar di jendela taksi melihat jalanan yang ia lewati.
Mengamatinya hingga matanya memberat karena rasa lelah yang menguasai tubuhnya.
Hingga sepasang mata itu tertutup sempurna.
Yongjin melirik ke
arah Arisa yang begitu cepatnya tertidur. Mungkin dia benar-benar kelelahan,
pikir Yongjin.
“Huh.. Dia juga
sih, terlalu memaksakan diri, kelelahan juga ‘kan?” komentarnya dengan
helaan napas panjang di akhirnya.
‘Sepi…’
Pip pip! Pip pip!
“Aish.. Kenapa
lagi dia? Bukannya sudah kusuruh untuk tidak mengirimiku pesan lagi?!” gerutu
Yongjin seraya membuka e-mail yang baru saja masuk di inbox-nya.
~~~
To: Yongjin
From: Seonghun
Subject: Night.
Message:
Mianhae, aku
mengirimimu pesan lagi. Aku tahu kau pasti marah padaku ‘kan? :(
Aku hanya ingin
memastikan jika kau sudah sampai, cepatlah tidur, kau butuh istirahat. Jaga
kesehatanmu, kau tidak tahan angin malam ‘kan?
Umm.. Mungkin hanya
itu yang ingin kusampaikan. Tapi kau harus tahu, aku selalu mengkhawatirkanmu,
Yongjin-ah. Dan maaf sudah membuatmu jadi seperti ini. Aku tahu kau membenciku
setelah kejadian itu. Maafkan aku..
Night. Saranghae..
~~~
Deg.
Yongjin mengeratkan
genggamannya pada handphone-nya. Apa yang harus ia lakukan? Ia bingung,
seperti apa perasaannya saat ini?
“Pabo. Untuk
apa kau mengatakan itu?” Ia menatap nanar isi e-mail itu, terutama
bagian akhirnya. “Kita ‘kan sudah berakhir, Seonghun.”
Cukup. Ia harus kuat,
ia tak boleh terombang-ambingkan oleh perasaannya. Tak ada kesempatan kedua.
Karena semua sudah berakhir.
Tapi…
“Gomawo sudah
peduli padaku.”
Yongjin menutup e-mail
kiriman Seonghun. Mendekatkan handphone itu ke dadanya. Menekan pelan
dadanya yang terasa sedikit ngilu.
Matanya menutup.
Merasakan sensasi hangat sekaligus perih yang melandanya. Senyum pedih
terbentuk melalui bibirnya.
“Mana mungkin aku bisa
melupakanmu jika kau seperti ini?”
Dibukanya mata beriris
hitam kecoklatan miliknya. Pandangannya mengalih pada jendela taksi yang
memperlihatkan lampu-lampu terang dari bangunan-bangunan yang dilewatinya.
“Jika kau selalu
berusaha memasuki lembaran kehidupanku kembali?”
Badannya bergeser,
mendekati jendela itu. Memperhatikan bayangan dirinya yang samar-samar terlihat
di kaca jendela.
“Bagaimana bisa?”
***
Ting tong teng
tong.. Ting tong teng tong..
Suara bel berdentang
membahana ke seluruh penjuru sekolah. Sadar bahwa sudah waktunya jam pertama
dimulai, siswa-siswi di kelas XI Science 2 yang merupakan penghuni kelas itu
segera mengeluarkan buku-buku penunjang materi yang mereka punya. Contoh murid
yang baik.
Setidaknya begitu.
Tap tap tap..
Sesosok pria paruh
baya memasuki ruang kelas mereka. Ia menuju ke meja guru yang menjadi
“singgasana”nya selama di kelas. Mengawasi satu persatu siswanya, sebelum
memulai pelajarannya.
“Anak-anak, sebelum
saya memulai materi hari ini, akan saya perkenalkan seorang murid baru yang
akan menjadi salah seorang anggota di kelas ini,” ucap sang guru.
Bisik-bisik mulai
terdengar dari siswa-siswi yang secara alamiah memiliki rasa penasaran ketika
ada seorang murid baru di kelas mereka. It’s obvious, isn’t it?
“Masuklah,” perintah
sang guru pada seseorang yang sejak tadi berdiri di luar kelas karena belum
mendapat perintah untuk masuk.
Seorang pemuda
memasuki ruangan itu. Dengan santainya ia melangkah menuju ke depan kelas,
kemudian membalik badannya hingga menghadap seluruh penghuni kelas itu. Matanya
mengobservasi tiap sudut ruangan. Hingga terpaku pada seseorang yang dengan
cueknya sedang melakukan kegiatan individunya tanpa memperhatikan objek yang
sekarang ini tengah menjadi perhatian seluruh kelas, siapa lagi kalau bukan
dia?
“Hajimemashite.”
Kalimat pembuka itu
menghentikan kegiatan seseorang yang sejak tadi terpaku pada kertas yang berisi
coretan-coretan tak jelas miliknya. Mengarahkan indra penglihatannya pada sosok
di depan kelasnya yang ia dengar merupakan seorang murid baru. Sekaligus
berharap kalau pemilik suara itu bukan seseorang yang
ditemui–dikenalnya–beberapa hari yang lalu.
“Watashi wa
Matsushita Naoto desu. Yoroshiku.”
‘Dia… Naoto?!’
Sial. Ternyata
firasatnya benar.
“Silahkan menuju
bangku yang masih kosong,” titah sang guru pada Naoto. Ia mengangguk, mematuhi guru
barunya itu. Matanya tertuju pada bangku kosong yang entah keberuntungannya
atau tidak, tepat berada di belakang orang yang menarik perhatiannya tadi.
‘Lucky.’
Seseorang itu segera
tersadar bahwa Naoto tengah menuju ke arahnya.. Atau.. Bangku di belakang
tempat duduknya?
Sial. Ia lupa kalau
bangku itu kosong. Dan bolehkah ia bertanya sudah berapa kali dia mengumpat
dalam hati hari ini?
Dua.
.
.
Ooh.. Baru dua.
Rasanya pasti akan
bertambah lagi.
Bruk!
Bunyi tas yang
diletakkan–dibanting–cukup keras dari arah belakangnya, memberikan rasa begidik–nervous–baginya.
Dilihatnya guru yang mengajar mereka hari ini sedikit mempertajam tatapannya
pada Naoto.
“Matsushita-kun,
saya harap anda bisa tenang,” ucap sang guru dingin dan mengena di hati. Jika
kau bukan orang yang kuat hatinya–oleh olokan, cibiran dan semacamnya–, pasti
sekarang hatimu serasa dihujam oleh ribuan anak panah yang rasanya.. Oh pasti
sakit tentunya. Hiperbolis.
“Nee, sensei,”
balas Naoto santai. Tolong tambahkan bahwa dia bukan golongan orang-orang
hiperbolis seperti yang ada di paragraf sebelumnya.
Naoto segera duduk di
bangku strategis miliknya. Dengan begini ia bisa dengan mudah mengawasi sosok
yang duduk di depannya. Benar-benar situasi yang menguntungkan.
Sebuah seringai muncul
di bibirnya. Ia memajukan badannya sedikit, berbisik. Paling tidak suaranya
bisa didengar oleh sosok di depannya.
“Kita bertemu lagi,
Arisa. Mulai saat ini mohon bantuannya.”
Sungguh, jika saja ia
tidak bertemu dengan Naoto saat itu, hidupnya pasti akan tenang. Dan ia juga
tak perlu menjadi seorang ‘pengecut’ hanya untuk menghindar darinya.
‘Kurasa hidupku
kali ini akan penuh dengan ‘gangguan’...’
Mungkin?
***
“ARISAAA!!!”
Teriakan ala megaphone
terdengar di telinga Arisa–orang yang dipanggil–. Tak perlu waktu lama untuk
mengalihkan perhatian beberapa orang yang tersisa di dalam kelas itu pada sang
pemanggil. Yang dilanjutkan dengan larinya ia ke arah bangku Arisa.
“Yongjin, kau
berisik,” komentar Arisa ketika Yongjin sampai di dekat bangkunya.
“Mian..”
Yongjin menangkupkan tangannya, tanda ia minta maaf. Tak sengaja ia melihat
seseorang yang duduk di belakang Arisa. Pandangannya mendadak menjadi horor.
Bagaimana orang itu bisa ada di sini?
“Na-Naoto? Kau.. Naoto
‘kan?” Yongjin menatapnya shock sembari menunjuk orang yang dipanggilnya
Naoto tadi.
“Oh, hai, Yongjin-san,”
jawab orang itu.
‘Tidak salah lagi!
Dia memang Naoto!’
“Arisa, bisa kau ikut
aku sebentar?” pinta Yongjin dengan wajah serius. Arisa menghela napas dan
menganggukkan kepalanya, ia tahu apa yang akan dibicarakan Yongjin setelah ini.
“Chotto mate,
kalian mau ke mana?” tanya Naoto. Arisa memutar bola matanya, membatin
bisa-bisanya Naoto berpura-pura tak tahu kenapa Yongjin mengajaknya keluar.
“Urusan perempuan~”
ucap Yongjin seraya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya, kemudian
menarik Arisa dari bangkunya dan keluar dari kelas. Mengajaknya ke tempat yang
aman untuk membicarakan “urusan”nya.
“Hmph….” Naoto
mendengus kecil ketika kedua orang itu sudah menghilang dari balik pintu. Ia
mengambil sebuah bolpoin dan menuliskan sesuatu di bukunya.
A secret makes a
woman woman.
“Kau mau bermain
rahasia denganku ya? Baiklah, akan kuladeni.”
***
Ia menatap tajam gadis
di depannya, seakan menginterogasi lewat tatapan matanya. Sedangkan gadis di
depannya memandangnya datar sebagai balasannya. Walaupun waktu sudah lewat
sekitar dua menit yang lalu ketika mereka sampai di atap sekolah, namun tak
seorang pun dari mereka yang ingin membuka pembicaraan. Layaknya hanya ingin
mengadu tatapan saja.
“Dia.. kenapa bisa ada
di sini?” Salah seorang dari mereka akhirnya memecah keheningan di antara
mereka. Masih dengan tatapan tajam menyelidiknya. Tapi belum ada jawaban yang
diutarakan.
“Arisa, beritahu aku,”
ucapnya mendesak.
“Aku juga tidak tahu,
Yongjin. Bahkan aku juga kaget ketika dia masuk ke kelasku tadi,” jawab Arisa
pada Yongjin tanpa melepaskan mimik datar pada wajahnya.
“Aah.. Aku menyerah~”
Yongjin mendudukkan
dirinya di lantai. Merasa lelah ketika usahanya untuk mengetahui isi pikiran
Arisa tak berhasil, ditambah lagi ekspresi datar milik gadis itu, ia sungguh
tak tahu.
“Kau sungguh bisa
menyembunyikan perasaanmu, Arisa,” keluh Yongjin sembari menatap langit. Arisa
tersenyum–dengan sedikit menyeringai–dan mengambil posisi duduk di sebelah
Yongjin.
“Tidak juga. Lagipula
yang aku katakan tadi toh memang apa adanya. Aku tak tahu kenapa Naoto bisa
pindah ke sini secepat itu,” ucap Arisa pelan, namun masih bisa terdengar.
“Ya… Maka dari itu aku
ingin bertanya padamu, mungkin saja kau yang ‘memasukkan’ Naoto ke sini dan
berniat mengajaknya bergabung dengan kita. Karena kurasa dia telah membantu
banyak kemarin,” komentar Yongjin sembari memangku dagunya.
“Aku tidak mungkin
melakukan itu ‘kan… Aku bahkan baru bertemu dengannya selama beberapa hari,
bagaimana bisa aku mengajaknya bergabung?”
“Itu benar.. Tapi apa
kau tidak berniat untuk mengajaknya? Kupikir dia punya kemampuan yang hebat,”
ucap Yongjin secara tak sadar juga mengusulkan agar Arisa menerima Naoto
sebagai anggotanya.
“… Akan kupikirkan,”
Arisa mendongak ke atas. Sepertinya dia memang benar-benar berpikir.
“Benarkah?” Yongjin
menatap Arisa dengan pandangan tak yakin.
“Mungkin… kurasa….”
***
‘Kenapa DIA ada DI
SINI?!!’
Untuk saat ini mari kita
tengok ekspresi “luar biasa” dari Arisa yang baru datang ke basecamp
mereka bersama Yongjin. Dengan tubuh yang seakan tak bisa digerakkan, mematung,
ketika membuka pintu, ditambah lagi pandangan shock dari matanya. Jangan
lupa mulutnya yang sedikit menganga itu, sungguh, belum pernah terlihat
“sosok”nya yang seperti itu.
“Oh.. Hey,
Arisa, Yongjin!” ucap Seonghun yang tengah asyik bermain game dengan
“dia”. Sampai saat ini memang belum ada member lain yang datang kecuali
Seonghun dan “dia”.
Tunggu! Memangnya
Arisa sudah menganggapnya sebagai member?
“Konnichiwa,
Arisa, Yongjin-san,” ujar“nya” ketika lawan
mainnya–Seonghun–menghentikan permainan mereka.
“Seonghun, aku ingin
bicara denganmu.”
Yongjin yang menyadari
ucapan dan gelagat Arisa saat ini hanya bisa berdoa semoga Seonghun tak menjadi
“korban” dari Arisa. Wait! Isn’t that means… she’s worrying him?
Ayolah.. Yongjin tidak
mengkhawatirkan Seonghun. Tidak, tidak sama sekali. Setidaknya itu yang
dipatrikan dalam pikirannya.
“Kau yakin, Arisa?
Kurasa itu tidak perlu,” balas Seonghun santai. Yongjin semakin merasakan aura
“negatif” dari sosok di dekatnya. Dilihat dari sorot tajamnya yang mengarah
pada Seonghun. Bingo! Arisa sebentar lagi “meledak”.
“Kau–”
“Jangan marah dulu,
Arisa,” Seonghun juga sadar kalau Arisa tengah menahan amarahnya saat ini, maka
dari itu ia mencoba “mendinginkan” atmosfer di tempat itu.
“Aku mengajaknya ke
sini karena kurasa dia bisa sangat membantu penyelidikan kita. Bagaimana? Kau
setuju?” tawar Seonghun. Arisa terdiam. Cukup lama, namun kemudian gadis itu
langsung pergi ke lemari es untuk mengambil sesuatu. Minuman mungkin?
“Bagaimana?” tanya
Seonghun untuk memastikan jawaban yang belum didapatnya.
Arisa belum
menjawabnya. Ia membawa dua buah kaleng minuman bersoda dan kembali ke dekat
Yongjin yang masih mematung di ambang pintu, menyerahkan salah satunya dan
dibalas dengan anggukan oleh Yongjin ketika menerima minuman itu.
“Arisa?”
Menghela napas. Dengan
sedikit berat hati gadis itu menjawab, “Terserah padamu, aku setuju-setuju
saja. Ayo Yongjin, kita pergi.”
Blam.
Hanya tertinggal dua
orang pemuda yang tersenyum dengan penuh kemenangan.
***
“Ya! Arisa! Kau
yakin menerima Naoto?”
Langkah Yongjin
semakin dipercepat ketika melihat Arisa sudah berada beberapa meter di depannya.
Kalau sedang memikirkan sesuatu, pasti selalu lupa sekeliling, batin Yongjin
saat ia hampir menyamai Arisa.
“Entahlah….”
“Jawabanmu tidak
meyakinkan sama sekali,” sindir Yongjin pada jawaban Arisa yang memang tidak
meyakinkan itu. Dengan berjalan sambil memegang kaleng minuman yang baru
disesap sekali, serta perhatiannya yang tidak fokus, siapa yang mau yakin soal
itu? Adanya kau akan sangsi mendengarnya.
“Aku mau pulang,” ucap
Arisa tiba-tiba. Yongjin hanya menghela napas pasrah. Yah.. Ia sudah terbiasa
dengan sikap gadis itu. Selalu tidak mau terbuka dengan orang lain, bahkan
mungkin orang tuanya sendiri. Yongjin berani bertaruh akan hal itu.
“Baiklah, aku juga
akan pulang,” ujar Yongjin. Gadis itu melihat Arisa yang kembali ke apartemen
yang baru saja mereka tinggalkan. Toh rumah Arisa ada di sana ‘kan? Setidaknya
begitu, mengingat sebenarnya ia menyewa satu kamar untuk ditinggalinya selama
ini. Ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan jauh dari keluarganya, kalau
Yongjin tidak salah. Karena selama ini yang ia tahu, Arisa tinggal sendirian di
sana.
“Kuharap kau segera
menyelesaikan ‘masalah’mu, Arisa,” harap Yongjin sebelum memasuki taksi yang
dihentikannya untuk pulang.
***
“Arrgh.. Kuso!
Apa aku tidak bisa hidup tenang lagi, huh?”
Menggerutu kesal,
Arisa membolak-balikkan badannya di tempat tidurnya. Kesal, bingung, takut,
entahlah. Yang jelas pikirannya sedang semrawut saat ini.
“Sebaiknya aku tidur
saja.”
Memakai headset
dan menyalakan musik di handphone-nya dengan volume cukup keras.
Berharap ia segera terbawa ke alam mimpi. Dan berharap agar yang terjadi selama
seharian tadi hanyalah mimpi.
.
.
“That was a dream,
right?”
***
…Chapter
1…
…END…
Author’s Note:
Case 1 berakhir dengan
tidak elitnya. =_=”
Oke, maafkan saya yang
menjadikan siapa pun yang saya samarkan di fic ini menjadi OOC. Ini demi plot, maan~!
Jadi oke-oke saja ya? (OwO)q *ppuing ppuing* #puppyeyes
Mungkin readers
kebingungan dengan jalan cerita kasus yang tidak saya jelaskan detailnya. Clue-nya
ada kok, hanya saja saya sebar dalam bentuk tulisan.
Memang ini bukan
pertama kalinya saya bikin model cerita ala detektif, tapi kali ini entah
kenapa otak saya tidak mau berkompromi untuk membuat kronologi pembunuhannya,
maka jadilah fic amburadul bin gak jelas ini. Mana gak ada trik-trik khusus
kayak komik D*t*ct*v* C*n*n lagi… *sensor* #headbang
Oh ya, untuk summary
yang saya buat, memang tidak sepenuhnya ada di cerita. *apa mungkin nggak
ada sama sekali?* Well.. I think it’s okay, right?
Satu lagi, Case 2
sepertinya tidak akan saya lanjutkan dalam waktu –coretlamacoret– dekat. Saya
akan fokus ke fanfic saya dulu~ I hope you understand.
At least.. Mohon kritik dan sarannya demi kemajuan author
dan jalan cerita selanjutnya.
Terima kasih~ ^3^
Sign,
Anita Kazahana