Minggu, 17 Februari 2013

ANGEL - Part 1



ANGEL

Story by: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Romance, Angst
Warning: Typos, -little-curse words

***###***

“Kematian yang begitu cepat, apakah aku bisa melupakannya?”
Kaki yang semula tertekuk kembali lurus. Pandang mata sang pemilik menyiratkan kekosongan tak berujung. Gelap. Kosong.
Tanpa jiwa.
“Apa aku bisa mencari penggantinya? Jawab aku… Sooyeon-ah.”

Kedua tangan tergenggam erat. Hati yang sakit di kala melihat sosok yang tampak hancur di hadapannya. Digigitnya bibir pucat dingin miliknya, hawa sang hujan telah merasuk secara sempurna menembus pori-pori kulitnya.
“Suatu saat, suatu saat… Eunhwa-oppa.”
Suatu saat.
“Tetapi… kapan?” Sepatah pertanyaan dari mulut sang namja semakin menyadarkannya akan suatu hal.
“Kapan aku bisa melupakan Minyeon?”
Bahwa tak ada tempat yang tersisa baginya di hati Eunhwa.
“Di saat… kau bisa membuka hatimu lagi, oppa.”
“Dan aku tak tahu kapan hati ini bisa terbuka lagi.”
Cukup satu pernyataan, dan semua sudah jelas.
Lee Sooyeon tak akan pernah bisa mendapatkan hati Shin Eunhwa yang telah menjadi milik Lee Minyeon.
‘Kau adalah yeoja paling beruntung… Eonnie.’
***
Close your eyes, listen to my heart, live with me forever
In the morning, wake me up with your voice
Hug me once a day; tell me that you love me
Always look into my eyes and tell me
I will stay at the same place since the beginning
***
“Sooyeon-ah, gwaenchanayo? Maaf, aku tidak bisa datang ke pemakaman Minyeon-ah.”
Lagi-lagi untaian kata yang sama.
Sepanjang koridor sekolah, setiap siswa yang berpapasan dengannya. Dia tahu bahwa mereka memberikan perhatian atas kematian kakaknya. Namun ia tak membalas. Suaranya seakan hilang, yang pada akhirnya sebuah isyarat berupa anggukan dan senyum lemah yang menggantikannya.
Semua orang tahu dia tidak baik-baik saja.
Dan ia menyangkalnya.
Kala kakinya terhenti. Berdiri sembari menatap namja yang tengah memberikan perhatiannya pada langit mendung. Pagi yang kelabu.
Kembali berjalan dari ambang pintu, mendekati sosok itu. Ingin mengobati hati yang hancur lebur. Tapi, bahkan kepingan hatinya sendiri tak bisa terobati.
Asalkan dia bahagia, tak apa jika dirimu hancur.
“Eunhwa-oppa.”
Panggilan ketika ia telah sampai di sisi namja itu. Namja yang menjadi kekasih sang kakak. Namja yang menjadi segalanya bagi sang kakak. Kebahagiaan sang kakak.
Dan namja yang ia cintai.
“Eunhwa-oppa.”
Pada panggilannya yang kedua pun masih belum ada tanggapan dari sang namja. Digigitnya bibir bawahnya. Menahan sakit yang merambat dari dalam dadanya. Jantung yang mendadak memberikan efek sesak. Membuatnya tertekan. Oksigen yang seakan tak bisa diraihnya. Layaknya ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Tak bisa bernapas.
Ingin mati saja.
“Sooyeon-ah, biarkan dia sendiri dulu.”
Tak berbalik, namun pada detik berikutnya ia terpaksa menghadap namja yang memanggilnya tadi. Akibat dari tarikan di bahunya untuk menghadap ke belakang.
“Kau juga perlu waktu untuk sendiri ‘kan?”
Hmm.”
Tak pantas disebut kata. Tak pantas disebut jawaban. Hanya sebuah gumaman, namun ia yakin bahwa namja yang tengah berusaha menenangkannya itu mengerti. Mengerti maksudnya. Mengerti keadaannya.
Karena dia lah yang selama ini berbagi kesedihan dengannya.
***
Semilir angin menerbangkan helaian dedaunan yang tercecer di atas tanah. Ranting yang semula menjadi tempat sang daun bertengger, kini menjadi kosong. Tak lagi indah. Terlihat–
Menyedihkan, sepertiku.
Segaris senyum pilu. Gambaran hatinya yang hancur. Hati yang tak ingin ia sembuhkan, ia bangun kembali. Karena semua itu percuma. Tak ada artinya.
Karena ia bahkan tak bisa menemukan pelengkap hatinya.
“Melamun sendiri, Sooyeon-ah?”
Dirasakannya daerah kosong di sebelahnya telah ditempati seseorang. Ia tidak perlu lagi menoleh pada orang di sebelahnya. Karena dari suara yang orang itu hasilkan, ia sudah tahu siapa.
Hyuksoo.
“Kenapa.. kau ke sini, oppa?” tanyanya datar. Masih belum menengok pada namja di sampingnya. Malah mengawasi daun-daun di bawah sana.
“Daripada aku tidak punya kerjaan setelah latihan klub sepak bola, makanya aku ke sini. Oh ya, katanya tadi kau tidak ikut kegiatan klubmu ya?”
“Aku malas,” jawabnya singkat. Dari sudut mata Hyuksoo–namja di sebelahnya–yang mengerling pada Sooyeon, yeoja itu terlihat sangat tidak bersemangat.
Bukannya Hyuksoo tak tahu kenapa. Namja itu hanya ingin memberikan waktu agar perasaan yeoja itu bisa menjadi, setidaknya lebih baik.
Aah~ Hari ini membosankan, aku sebenarnya juga ingin membolos latihan. Tapi bagaimana lagi? Aku ‘kan kaptennya,” ucap Hyuksoo sembari meringis. Ia menoleh ke samping kirinya, mencoba mengamati ekspresi Sooyeon yang masih belum berubah. Bibirnya mengerucut. Sepertinya dia harus memikirkan cara lain untuk membuat yeoja di sampingnya itu untuk tersenyum.
Paling tidak melihatnya tersenyum sudah membuatnya bahagia.
“Sooyeon-ah,” panggilnya tanpa digubris oleh Sooyeon. Dihembuskan napasnya pelan.
“Sooyeon-ah.” Dipanggilnya yeoja itu sekali lagi. Tak ada respon.
“Sooyeon-ah.”
“Apa… oppa?”
Hyuksoo tersenyum lebar, setelah panggilan yang ketiga kalinya Sooyeon akhirnya membalas ucapannya.
“Mau kuajak ke suatu tempat?” tanya Hyuksoo, kali ini dengan cepat Sooyeon menoleh. Dahinya berkerut mendengar ajakan Hyuksoo.
Eodiga?” tanya Sooyeon balik. Hyuksoo mengulum senyum misterius.
“Rahasia~ Makanya ayo ikut aku!”
Ditariknya tangan Sooyeon untuk mengikutinya. Membawa yeoja itu ke tempat yang hanya diketahui Hyuksoo. Mereka berdua berlalu meninggalkan bangku taman sekolah itu tanpa mengetahui bahwa ada seseorang yang telah mengawasi mereka sedari tadi. Dari balik pohon. Dengan kedua tangannya yang mengepal. Gigi menggeretak.
Tanda bahwa ia tengah kesal.
Memukul batang pohon di dekatnya. Melampiaskan amarahnya, kemudian beranjak pergi. Meninggalkan keheningan yang diselingi sayup suara hembusan angin dingin.
***
“Kau mau membawaku ke mana, oppa?”
Hyuksoo hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Sooyeon. Pasalnya, hari sudah menjelang malam dan tentu saja matahari hanya tinggal menyisakan sedikit bagiannya untuk menerangi dunia. Udara juga semakin dingin.
“Setiap aku punya masalah, aku selalu merenung di sini.”
Langkah mereka terhenti. Hyuksoo membawa Sooyeon ke padang luas beralaskan rumput yang pastinya terlihat hijau di siang hari, karena hari sudah gelap saat mereka tiba di sana. Tak bisa melihat sekeliling dengan jelas.
“Sooyeon-ah, coba kau lihat ke atas.”
Mengikuti instruksi yang diberikan Hyuksoo, Sooyeon mengarahkan pandangannya ke atas. Tepat melihat langit bertaburkan bintang layaknya berlian. Matanya membulat, bintang-bintang di langit malam tercermin di irisnya yang gelap.
“Tempat yang indah untuk melihat bintang ‘kan? Karena di kota kita tak bisa melihat bintang-bintang itu dengan jelas.”
Sooyeon mengedarkan padangannya untuk menemukan sosok Hyuksoo yang sudah berbaring di atas alas rumput. Mengikuti jejak Hyuksoo, yeoja itu mendekati Hyuksoo dan duduk di samping namja itu.
“Kenapa…”
Hyuksoo yang awalnya sedang menikmati pemandangan yang tersuguh di atasnya menengok ke arah Sooyeon yang tengah duduk sembari memeluk lututnya. Mata Sooyeon memandang lurus ke depan, namun tak memiliki fokus pada apa yang dipandangnya.
“Kenapa?” tanya Hyuksoo, mengernyitkan dahinya.
“Kenapa kau begitu peduli padaku, Hyuksoo-oppa? Padahal kau tahu perasaanku tertuju pada siapa.” Sooyeon memangku dagunya di atas dekapan kedua lengannya. “Kenapa kau tidak menjauhiku? Tidak membenciku? Malah sekarang kau yang berusaha keras untuk menghiburku. Aku bingung menghadapimu, oppa.”
Hyuksoo menggariskan senyum. “Untuk apa bingung? Aku melakukan semua ini karena aku tulus. Aku tidak ingin seseorang yang berharga untukku, menjadi orang yang tak memiliki semangat hidup. Karena aku ingin dia kembali menjadi dirinya yang ceria dan cerewet seperti biasanya.”
Kini senyum yang sebelumnya hanya berupa garis tipis, berubah menjadi deretan gigi yang diiringi kedua mata tertutup yang melengkung. Sooyeon tersenyum tipis. Ia tak menyangka, dengan prinsip sesederhana itu Hyuksoo berusaha melakukan yang terbaik. Terlebih lagi, itu untuk dirinya.
Dirinya yang tak bisa membalas perasaan Hyuksoo.
Gomawoyo, oppa. Dan.. mianhae.”
Selesai berucap akan ungkapan terima kasih dan maaf dari bibirnya, Sooyeon mulai terisak. Cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya tak bisa ditahannya lagi. Mengalir bebas menuruni pipinya. Menetes di hamparan rumput yang terlihat berwarna hitam.
Hyuksoo bangkit dari posisi berbaringnya. Meringsut mendekati Sooyeon. Menjulurkan kedua tangannya untuk melingkupi Sooyeon dalam dekapannya. Didekapnya erat yeoja yang saat ini masih tetap mengisi hatinya. Yeoja yang akan selalu dilindunginya apa pun yang terjadi.
Gwaenchana, Sooyeon-ah. Gwaenchana…”
***
“Kau pergi ke mana saja kemarin?”
Yeoja yang sebelumnya bersemangat sekaligus penasaran mengapa namja yang diam-diam dicintainya itu memanggilnya, kini seakan mengkerut. Ia tak berani menatap mata namja yang diyakininya pasti tengah memandangnya tajam.
Bahkan untuk melihat kakinya saja ia tak berani.
“Apa kau tak tahu bahwa keluargamu sedang berkabung? Kenapa dengan seenaknya saja kau keluyuran dan pulang malam, huh?! Apa kau tidak mengerti perasaan kakakmu? Perasaan Minyeon!”
Deg.
Selalu, dan selalu. Ulu hatinya terasa sakit saat Eunhwa–namja di depannya–lebih mementingkan kakaknya daripada dirinya. Perutnya mual. Sakit dan mual itu tercampur menjadi satu. Hingga ia tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menghilangkannnya.
“Katakan, kau pergi ke mana dengan Hyuksoo,” tanya Eunhwa datar tanpa intonasi sebuah kalimat tanya.
Sooyeon menggigit bibirnya. Menahan getaran yang diakibatkan rasa ingin meluapkan kesedihannya. Kedua matanya berkaca-kaca, siap untuk mengalirkan liquid bening bernama air mata. Air mata yang sekuat tenaga ditahannya.
“Dia hanya kuajak berjalan-jalan saja, ya ‘kan?”
Sooyeon tak percaya akan pendengarannya. Suara yang baru saja didengarnya adalah suara Hyuksoo. Tak ayal kedua matanya membesar karena keterkejutannya.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Eunhwa sembari memincingkan matanya. Memberikan tatapan menyelidik pada namja yang sekarang tengah menghalangi pandangan Eunhwa akan Sooyeon. Yeoja itu sedikit mundur ketika tangan Hyuksoo menggesernya perlahan ke belakang dari tempatnya semula.
“Tentu saja melindungi orang yang berharga untukku, dari seseorang yang tak pernah menghargai perasaan tulusnya yang selalu ditujukan pada orang itu.”
Eunhwa semakin menajamkan sorotan matanya. Hyuksoo menanggapinya dengan seringai mengejek di bibirnya. Mengakibatkan Eunhwa yang sedari awal memang tengah diliputi amarah, menjadi semakin naik darah.
Buagh!
Oppa!!”
Hyuksoo terjatuh setelah mendapat bogem mentah dari Eunhwa. Di sudut bibirnya terlihat jelas jejak darah yang dihapusnya sesaat setelah ia jatuh. Sooyeon segera menghampiri Hyuksoo dan membantu namja itu untuk duduk. Memeriksa keadaan Hyuksoo hingga melupakan kehadiran Eunhwa yang hanya menyaksikan adegan itu dengan pandangan… cemburu?
Entah, karena sebenarnya Eunhwa juga tidak yakin.
Che! Urus saja terus namjachingu-mu itu. Lebih baik kalian pergi dari sini, kalau kau tidak ingin dia mendapatkan beberapa pukulan lagi dariku.” Eunhwa berucap dengan nada datar. Sooyeon yang mendengarnya membatu.
Tidak. Bukan karena dia tidak terima karena Eunhwa mengatakan bahwa ia adalah kekasih Hyuksoo. Namun karena perkataan Eunhwa yang seakan tak mempersalahkan apa yang diperbuatnya pada Hyuksoo. Berkata dengan entengnya seperti itu seperti memukul orang adalah hal yang biasa.
PLAK!!
Gema terdengar dari koridor kelas yang kosong. Tangan yang digunakan yeoja itu untuk menampar Eunhwa masih mengambang di udara. Air mata telah turun di sepanjang lekuk wajahnya. Ia benar-benar kecewa.
Eunhwa memegang bekas tamparan Sooyeon di pipinya. Sangat keras hingga ia bisa membayangkan warna merah yang pasti tercetak di sana. Dengan gerak lambat ia menolehkan kepalanya untuk menghadapi sosok Sooyeon.
Hyuksoo yang masih terduduk hanya tercengang melihat tindakan yang Sooyeon lakukan. Yeoja itu terlihat tengah mencoba menurunkan tangannya sebelum sebuah tangan menahan gerakannya. Kembali, Hyuksoo harus membelalakkan matanya.
“Berani-beraninya kau menamparku, Sooyeon-ah.”
Hyuksoo menggeretakkan giginya. Tanpa buang-buang waktu, secepat kilat ia berdiri untuk menghampiri sosok Sooyeon dan Eunhwa.
“Karena itu pantas kau dapatkan, oppa.” Nada datar dari ucapan Sooyeon menghentikan langkah Hyuksoo. Namja itu mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sooyeon, oleh karena itu dia tak melanjutkan langkah kakinya. Karena ia percaya pada Sooyeon.
Eunhwa terdiam. Mendengar rangkaian kata yang keluar dari mulut Sooyeon itu membuatnya terpaku. Selain itu, hal yang membuatnya tak bisa membalas perkataan yeoja itu adalah tatapan terluka yang terpancar dari kedua iris Sooyeon. Tatapan kecewa yang sepertinya ditujukan padanya.
Bukan “sepertinya”, tetapi “memang”.
“Aku pergi.”
Sooyeon berbalik untuk menggandeng tangan Hyuksoo. Hyuksoo yang terkejut hanya pasrah ketika Sooyeon membawanya pergi. Eunhwa memandang kepergian Sooyeon dengan pandangan yang tak terlukiskan.
“Ya, aku memang pantas mendapatkannya. Setelah semua rasa sakit yang kuberikan padamu.”
Eunhwa berbalik membelakangi arah perginya Sooyeon dan Hyuksoo. Ia menghela napas berat, layaknya ia mendapatkan beban berat yang harus ditanggungnya.
“Namun rasa sakit ini belum pantas untuk membayar semua rasa sakitmu, Sooyeon-ah.”
***
Aww! Appo!”
“Tahanlah sedikit, oppa.”
Saat ini, yeoja bernama Sooyeon itu tengah mengompres pipi Hyuksoo yang menjadi korban pemukulan Eunhwa beberapa waktu yang lalu. Dengan cekatan ia merawat dan mengobati luka Hyuksoo. Sesekali terucap rintihan dari bibir Hyuksoo ketika lukanya bersinggungan dengan kain basah yang digunakan Sooyeon.
“Sudah selesai, oppa. Bagaimana? Apa lebih baik?” tanya Sooyeon sembari merapikan isi kotak P3K yang diambilnya dari almari UKS.
Hmm… Setidaknya lebih baik daripada sebelumnya,” jawab Hyuksoo yang diakhiri kekehan kecil.
“Syukurlah, kalau begitu.”
Segera setelah menutup kotak P3K itu, Sooyeon berjalan menuju almari UKS untuk mengembalikannya. Diletakkannya kotak P3K itu di rak kedua dari atas. Menatanya agar tidak jatuh dan menutup kembali pintu almari itu. Selesai, dan ia kembali mendampingi Hyuksoo yang duduk di pinggir ranjang UKS.
Gomawo sudah mengobatiku, Sooyeon-ah.”
Cheonman, oppa.”
Tik tok tik tok…
Detikan jam mengisi kekosongan di antara keduanya. Terdiam dalam keheningan asing yang menyelimuti atmosfir ruangan itu. Sooyeon dan Hyuksoo hanya membisu tanpa berusaha merusak kesunyian itu. Beberapa menit bertahan seperti itu, sebelum Hyuksoo memecah kediaman mereka.
“Sooyeon-ah, kau melakukan hal itu… Apa karena kau ingin membelaku?”
Tak perlu penjelasan yang lebih akurat dari perkataan Hyuksoo, karena Sooyeon mengerti dengan pasti apa yang dimaksud Hyuksoo. Alasan mengapa Sooyeon menampar Eunhwa yang jelas-jelas adalah namja yang sangat berarti untuk yeoja itu.
Nee….”
Hyuksoo menghembuskan napasnya pelan. Menghilangkan rasa gugup yang melandanya akan pertanyaan yang akan diajukannya. “Lalu, dengan hal itu apakah aku masih bisa mendapatkan tempat di hatimu?”
Sooyeon membisu. Pikirannya berpikir akan kepada siapa sebenarnya perasaannya itu ditujukan. Kepada Eunhwa? Ataukah… berpaling kepada Hyuksoo?
Tetapi ia tak merasakan apa pun di dekat Hyuksoo…
Berbeda dengan Eunhwa.
“Apa masih ada tempat di hatimu untukku?” tanya Hyuksoo memastikan lagi perasaan Sooyeon.
Namun yang didapatnya adalah sebuah gelengan.
“Entahlah, oppa. Aku… tak tahu.”
Secercah rasa senang menyelimuti perasaan Hyuksoo ketika gelengan itu diikuti dengan pernyataan dari Sooyeon. Tetapi, itu artinya Sooyeon masih belum menetapkan pilihan hatinya.
“Tak apa…”
Sooyeon memandang bingung Hyuksoo yang tersenyum meringis.
“Aku yakin kau akan bisa menentukan pilihanmu, Sooyeon-ah. Aku percaya pada pilihanmu.”
Hyuksoo beranjak dari ranjang itu dengan sedikit efek lompatan yang alhasil membuatnya mengaduh pelan. Menghasilkan pandangan khawatir dari Sooyeon.
Oppa, gwaenchanayo? Jangan bergerak terlalu keras.”
Ani, gwaenchana. Ini bukan apa-apa kok.” Hyuksoo mengibas-ngibaskan tangan kanannya, sedang tangan kirinya digunakan untuk menggaruk kepala belakangnya.
Ah! Aku lupa! Jam segini seharusnya latihan sudah dimulai!” Hyuksoo menepuk dahinya pelan setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat.
Mian, Sooyeon-ah. Aku harus pergi sekarang, kalau tidak pelatih akan mengomel padaku. Kau tidak apa-apa ‘kan pulang sendirian?” tanya Hyuksoo pada Sooyeon.
Sooyeon mengangguk. “Pergilah, oppa. Aku tahu betapa disiplinnya Park-seonsaengnim pada pemainnya.”
Hyuksoo tersenyum.
“Kalau begitu, aku pergi. Sampai jumpa, Sooyeon-ah.”
“Sampai jumpa.”
Dengan salam perpisahan itu, Hyuksoo keluar dari ruang UKS. Ia berlari meninggalkan Sooyeon yang kini hanya sendiri di sana.
Tap tap tap…
Langkah kakinya yang semula cepat karena berlari berangsur melambat hingga ia merubahnya menjadi langkahnya ketika ia berjalan. Sesungguhnya hari ini latihan klub sepak bola sedang libur. Ia berbohong pada Sooyeon. Untuk memberinya alasan agar ia bisa pergi dari sisi yeoja itu.
Untuk sebuah keperluan penting dengan seseorang.
Ia berlari kembali. Mencari-cari orang yang ingin diajaknya bicara empat mata dengannya.
Shin Eunhwa.

 ..::To Be Continue::..

Selasa, 19 Juni 2012

Detective Case File (Case 1: Mysterious Call ~The Culprit~)


Detective Case File
(Case 1: Mysterious Call ~The Culprit~)

~~~***~~~
By: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mystery, Crime, Friendship, -little bit- Romance
Warning: Membuat anda pusing tujuh keliling karena ketidakjelasan cerita yang diakibatkan kapasitas otak Author yang minim(?)
Disclaimer: Nama-nama yang saya ikutkan di cerita ini milik orang-orang yang merasa telah saya curi(?) namanya, juga kepribadian mereka yang saja OOC-kan dengan nistanya, terutama orang-orang yang kenal dengan saya.
~~~***~~~

“Kenapa sampai sejauh ini?”
“Karena… Aku ingin membalaskan dendamku.”
.
“Kepada orang-orang tak tahu diri seperti mereka!!”
***

Lembab. Pengap. Cahaya matahari yang tak pernah masuk ke dalam ruangan. Itulah pemikiran yang muncul di otak gadis berkacamata yang sedang dalam misi penguntitannya.
Ia melepas contact lens-nya, ngomong-ngomong. Terlalu lama memakainya tidak enak tahu.
Matanya menyipit, mencoba untuk melihat gambaran suasana di depannya dengan lebih jelas. Kalau boleh protes–curhat–, lensa kacamata miliknya harus segera diganti. Salahkan kebiasaannya yang tak pernah lepas dari barang-barang elektronika yang memiliki radiasi tinggi. Bahkan itu dilakukannya selama berjam-jam.
Dan dia tidak pernah menyesal. Lagipula dari dulu dia ingin memakai kacamata. Menurutnya orang berkacamata kelihatan lebih… keren? Dan... dewasa? Alasan yang–cukup–buruk untuk menurunkan fungsi penglihatanmu.
Ah.. Sudahlah.
‘Itu mereka!’ batin gadis itu setelah melihat sekelebatan sosok yang diikutinya. Kakinya melangkah kembali, mendekati lokasi sasarannya.
Ia menyeringai kecil.
Gotcha!’
***
‘Kalau tidak cepat-cepat.. Aish!’
“Kak?”
‘Bodoh! Pabo! Pabo!’
“Kak Yongjin!”
‘Ceroboh! Dasar ceroboh!’
“KAK!!! BERHENTI SEBENTAR!!!”
Teriakan keras dari arah belakang gadis itu ternyata cukup ampuh untuk menyadarkan sang gadis dari pikiran-pikiran yang ada di kepalanya. Dan dalam sekejap gadis itu sudah menghentikan langkahnya–sampai hampir terjatuh–sembari menengok ke belakang, ke arah dua orang pemuda berumur lebih muda darinya dengan tatapan tajam.
“Kalian bisa tidak, tidak berteriak seperti itu?!” seru Yongjin dengan penuh amarah. Jelas saja, siapa yang tidak marah kalau diteriaki seperti itu dan membuatnya hampir terjatuh.
“Kakak yang tidak dengar saat kami memanggil kakak. Kenapa kakak terburu-buru sekali sih? Setidaknya jelaskan pada kami apa yang terjadi!” tuntut Izaaq, karena ia memang tak tahu apa masalah dari keterburu-buruan Yongjin.
“Benar! Sebenarnya ada apa kak? Jika kakak menceritakannya pada kami, pasti kami mengerti kenapa kakak bersikap seperti ini!” seru Steve.
“Kak, tolong ceritakan pada kami!”
“Kak Yongjin!”
Yongjin terdiam. Desakan kedua hoobae-nya membuatnya sadar. Ya, ia tidak mengatakan apa pun kepada mereka dan hanya menuruti jalan pikirannya bahwa ia harus pergi secepat mungkin agar leader sekaligus sahabatnya itu bisa diselamatkan dari kebodohan dan kecerobohannya.
“Kak?”
“…Arisa dalam bahaya, dia bertindak ceroboh dengan pergi sendiri ke tempat si pelaku berada. Bahkan dia tidak mengabari kami,” jelas Yongjin yang disambut dengan ekspresi shock dari dua pemuda yang tengah menatapnya tak percaya.
“La-lalu.. kenapa kak Yongjin bisa tahu hal ini sementara kak Arisa tak mengabari kakak sama sekali?” tanya Steve kembali meminta penjelasan.
“Seonghun yang mengabariku. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa yang memberi tahu Seonghun, tapi yang jelas kita harus segera ke tempat Arisa berada.”
“Lalu.. kak Arisa sekarang ada di mana?” tanya Izaaq penasaran.
“Kemungkinan, dia ada di sekolah-”
Jeda sejenak.
“-bersama si pelaku dan korban selanjutnya.”
Dan kedua pasang mata itu kembali membulat tak percaya.
***
Mentari senja telah menghilang ke peraduannya. Menyisakan mega merah yang perlahan berganti menjadi semburat hitam malam. Tersisa sedikit warna merah di langit hingga merah itu akhirnya tertutup sempurna oleh hitam. Menandakan malam yang telah datang.
Sekolah dengan arsitektur ala bangunan jaman dahulu itu semakin memperlihatkan kesan misterius sekaligus mengagumkan ketika kau mendatangi tempat itu. Angin malam yang berhembus membuatmu berdesir. Meninggalkan sedikit rasa takut yang harus kau tahan jika kau ingin memasuki tempat itu, terutama di malam hari.
Ya, itu mengerikan.
“Kak, kakak yakin kak Arisa ada di sini?”
“Menurut pesan dari temanku… Ya, dia ada di sini.”
“Lalu sekarang kita harus mencari ke mana? Sedangkan, hari sudah gelap. Kita juga tidak tahu lokasi kak Arisa sekarang.”
Dua pemuda dan seorang gadis itu terdiam. Hari sudah malam, mereka hanya mendapatkan petunjuk kalau Arisa ada di sini dan–kemungkinan–sedang bersama si pelaku, terlebih lagi posisi keberadaan Arisa juga tidak mereka ketahui.
Jalan buntu.
“Apa yang harus kita lakukan, kak? Kita tidak mungkin ‘kan membuang waktu di sini?”
“Ya, ya, aku tahu. Aku juga sedang mencari solusinya.”
Si pemuda paling tua berjalan mondar-mandir sembari memikirkan cara agar mereka bisa menemukan lokasi keberadaan si pelaku secepatnya. Dan menyelamatkan ketua mereka yang ceroboh itu tentunya.
“Kak Seonghun, kakak masih menyimpan pesan teman kakak ‘kan?” Ucapan Cloud membuat Seonghun berhenti. Ah! Kenapa dia bisa lupa akan hal itu!
“Sepertinya iya,” ujar Seonghun seraya mengecek deretan inbox-nya. Mencari-cari pesan yang dikirimkan Naoto padanya.
“Ini dia!” serunya perlahan, kemudian menyerahkan handphone-nya pada Cloud.
Dengan segera, Cloud mengambil notebook miliknya dari dalam tasnya. Ia menghubungkan handphone itu dengan notebook-nya. Ia membuka sebuah aplikasi program yang akan membantunya dalam melacak lokasi keberadaan seseorang melalui alamat e-mail maupun nomor teleponnya.
“Sedikit lagi…. Yak! Kak Seonghun, aku sudah tahu lokasinya!” seru Cloud. Tak ayal, Seonghun dan Levi yang dengan sabar menunggu segera menghampirinya. Sebuah titik yang menandakan lokasi Naoto berkedip-kedip.
“Sepertinya lokasi teman kakak tak jauh dari sini,” ujar Cloud ketika melihat hasil pencarian di notebook-nya.
“Huh? Tempat ini ‘kan…” Seonghun memutus perkataannya.
“A-ada apa… Seonghun?”
Sebuah interupsi datang dari arah gerbang sekolah. Tiga orang yang baru menjejakkan kakinya di lingkungan sekolah itu terlihat kelelahan. Terang saja, mereka berlari sekuat tenaga dan secepat mungkin agar sampai di sini agar bisa membongkar kasus ini dan menyusul idiot leader yang dengan gegabahnya mengejar si pelaku.
Ah ya, semua ini gara-gara ulah leader mereka.
“Yongjin?” Seonghun mengerutkan alisnya.
“Katakan… Apa sekarang dia ada… di gudang tua?”
***
“Se-sebenarnya… Kenapa kita ada di tempat ini?” Dengan rasa takut dan khawatir, orang itu mengikuti seseorang yang berjalan di depannya.
“Tenang saja.. Hanya untuk mengenang masa lalu saja,” jawab yang diikuti sembari menyeringai kecil. “Yak, sepertinya kita sudah sampai,” lanjutnya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaket tebalnya. Sebuah kilatan cahaya dari benda metal yang terkena sinar rembulan mengagetkan orang yang mengikuti.
Matanya melebar. Sesuatu yang ia bayangkan sejak kejadian “itu” benar-benar terjadi. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Mengalir menuju dagu hingga menetes ke tanah.
Ia takut. Sangat takut. Berharap ini hanya mimpi buruk dan ia akan segera terbangun dari mimpi itu.
Sayang, ini bukan mimpi.
“Waktunya menjemput ajalmu.”
Pisau itu diarahkan pada sang sasaran. Sang pemangsa siap “menerkam” sang mangsa yang berdiri terdiam mematung tak berkutik. Berdoa agar seseorang menyelamatkannya dari situasi tersudut ini.
“Selamat tinggal!”
“BERHENTIIII!!!!”
***
Kedua tangan gadis itu mengenggam erat. Merasa muak akan kejadian live yang dilihatnya. Ia ingin segera “bergabung”, tapi ia merasa bukanlah waktu yang tepat untuk menangkap sang pelaku saat itu. Jika keadaan sudah memungkinkan, maka waktunya ia beraksi.
“Yak, sepertinya kita sudah sampai.”
Perkataan dari si pelaku terdengar jelas di telinga gadis itu. Ia terkejut melihat benda yang tengah dibawa pelaku.
‘Itu pisau!’ batinnya.
‘Apa yang harus kulakukan?’ Hatinya terdorong untuk segera berbuat sesuatu.
Tapi apa?
“Waktunya menjemput ajalmu.”
Ia tak bisa berdiam diri lagi. Ia melihat gelagat berbahaya dari si pelaku. Dari pisau yang diarahkan pada sang korban.
‘Sial! Dia sudah gila apa?!’
Cih!”
Mendecih kesal. Ia tak bisa hanya terus mengawasi seperti ini. Ia harus bertindak.
‘Ah! Masa bodoh!’
“BERHENTIIII!!!!”
Satu langkah yang menuntunnya pada takdir yang tak terduga.
***
“Ke-kenapa kau bisa tahu?” Seonghun mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa Yongjin yang belum satu minggu bersekolah di sekolahnya mengetahui hal itu?
“Aku… diberitahu seseorang,” jawab Yongjin serius. Pandangan matanya yang tajam seakan mencoba membuktikan apa yang dikatakannya memang benar.
“Siapa? Naoto?” Seonghun akhirnya mengatakan nama orang yang menuntunnya selama ini. Naoto-lah yang memberikan beberapa titik terang dalam pemecahan kasus ini.
Yongjin tak menjawab. Bukannya ia tak mau mengatakannya, tapi itu semua adalah rahasia yang harus dipendamnya sampai kasus kali ini selesai. Sampai kasus tertutup.
“Itu tak penting, sekarang kita harus pergi ke sana! Bukannya Arisa sekarang dalam bahaya? Tak seharusnya kita membicarakan hal lain sedangkan ada orang yang nyawanya tengah dalam bahaya!”
Seonghun tersentak. Entah kenapa Yongjin jadi cepat emosi. Ia sadari Yongjin terkadang memang suka seenaknya, tapi ini lain. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
‘Apa yang kau sembunyikan dariku?’
Hanya menghela napas, Seonghun terlihat seperti menerima dan memaklumi kelakuan Yongjin. Meskipun dalam hatinya, terdapat berbagai pertanyaan yang ingin diajukannya pada gadis yang setahun lebih muda darinya itu.
‘Kurasa aku harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat.’
“Baiklah, ayo.”
***
“BERHENTIIII!!!!”
‘Suara itu!’
Naoto terkesiap. Ia mendengar suara seseorang. Seseorang yang selama ini dicarinya tanpa henti. Untuk menjelaskan sesuatu yang terjadi di masa lalu.
Tragedi yang ia yakini, gadis itu ingin mengingatnya. Karena mereka berdua, ia dan gadis itu telah kehilangan orang yang mereka sayangi. Tragedi yang membuat gadis itu terus menyalahkan dirinya sendiri, dan rela pergi jauh agar memori menyakitkan itu tak datang lagi.
Menghilangkan semua ingatannya akan masa lalu.
.
.
Tapi tidak untuk pemuda itu.
“Arisa!”
Lari. Berlari sampai menemukan sosok yang dicari.
Siluet seseorang telah dilihatnya. Siluet seorang gadis yang sedang berlari, berusaha menghentikan sebuah peristiwa yang bila dihubungkan akan memberi kesimpulan… Percobaan pembunuhan.
Bagaikan tampilan film yang diperlambat. Adegan Arisa yang mendekati si korban yang siap ditusuk oleh si pelaku memberikan sebuncah kekhawatiran di dalam diri Naoto. Mungkin saat ini ia bukanlah siapa-siapa bagi Arisa, ia tak memiliki hubungan dengan gadis itu.
Namun di masa lalu, itu berbeda. Sangat berbeda.
Dan Naoto ingin mengubahnya.
Mengubah Arisa yang sekarang menjadi Arisa yang dulu dikenalnya.
“ARISAA!!!”
***
“Itu dia tempatnya!”
Tergesa-gesa, keenam pemuda-pemudi itu berlari menuju bangunan tua yang telah lama tak dipakai. Bahkan tak seorang pun ingin memasuki bangunan yang dikabarkan berhantu sejak tiga tahun yang lalu itu. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan bangunan itu mendapat cap “berhantu”. Namun, konon kabarnya ada yang pernah bunuh diri di tempat itu dengan menggantung diri. Menurut orang-orang itu hanya kabar burung, tapi… jika pihak sekolah tempat bangunan itu berada menutupinya? Itu akan lain lagi.
“BERHENTIIII!!!!”
“Itu suara Arisa!” Seseorang di antara mereka menyadari gema yang datang dari dalam gudang. Perasaan mereka makin tak enak.
“ARISAA!!!”
‘Naoto!’
Che! Kita harus segera menghentikan si pelaku, dan menyelamatkan mereka semua!”
Adrenalin terpacu. Degupan jantung yang keras serasa sebuah perlombaan balap memberi mereka kekuatan lebih untuk mencapai titik “finish”.
Titik “finish” yang akan mempertemukan mereka pada akhir dari sebuah drama yang menyedihkan. Puncak klimaks yang mengungkap semua rahasia terselubung dari kasus yang mereka tangani.
Dalam hitungan menit.
***
Clang!
Sebuah benda terlempar dalam sekejap tanpa sempat menyentuh kulit sasarannya sedikit pun. Terima kasih untuk high kick yang berasal dari seorang gadis yang tiba-tiba saja menginterupsi kegiatan terlarang yang dilakukan oleh si pemilik benda itu.
“Hentikan, jika kau tidak ingin melakukan kesalahan yang akan membuat hukumanmu menjadi lebih berat,” ucap gadis itu. Dia-lah Arisa.
“Heh! Apa urusanmu, huh? Kau hanya mengganggu tujuanku! Dasar detektif sok!” geram si pemilik pisau. Ya, benda itu adalah pisau. Yang siap untuk mencabut nyawa seseorang jika saja Arisa tak menghalanginya.
“Apa kau tidak sadar?! Sudah dua orang yang kehilangan nyawa karena perbuatanmu! Dan sekarang kau ingin menambahnya? Pikirkan jika kau melakukannya, kau bisa saja dihukum mati!”
“AKU TIDAK PEDULI!”
Terdiam. Arisa tahu bagaimana perasaan sosok di hadapannya. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan.
“Tapi.. bukan begini caranya…” ujar Arisa nyaris seperti sebuah bisikan, namun masih bisa terdengar mengingat keadaan gudang yang sepi.
“Kau tidak tahu… TIDAK TAHU APA-APA TENTANGKU!!!” teriak sosok itu seakan membelah keheningan yang ada.
“Aku memang tak tahu, aku tak tahu apa-apa tentangmu. Tapi, biarkan aku membantumu agar kau tidak melakukan dosa ini lagi,” Arisa memohon dengan tatapan nanar.
“Tolong.. biarkan aku membantumu, Aki.”
***
“ARISAA!!!”
Clang!
Langkah Naoto terhenti. Indra penglihatannya terbelalak melihat aksi yang dilakukan Arisa. Ia memang tahu jika Arisa memiliki keahlian martial arts yang diajarkan pamannya, tapi ia tak menyangka jika Arisa akan menggunakannya. Sejak kejadian “itu”.
“Naoto!”
Naoto mengenal suara itu.
Ia menoleh ke belakang, dan dilihatnya Seonghun beserta member yang lain sedang berlari ke arahnya. Ia rasa sekarang tak perlu menjaga volume suara mereka lagi, karena apa yang dilakukan Arisa tadi. Itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa ada orang lain di gudang itu selain si pelaku dan si calon korban.
“Kalian tahu kalau aku ada di sini?” tanya Naoto keheranan setelah mereka sampai di dekatnya. Terang saja, ia mengira akan ada salah satu dari mereka–dan kemungkinan besar Seonghun–yang akan menghubunginya melalui handphone. Tapi ternyata tak ada seorang pun yang menghubunginya.
“Ah.. Aku menemukan lokasimu dari program pencari milik Cloud, yah.. kupikir kau pasti sudah berada di dekat si pelaku, makanya aku tidak menghubungimu,” jelas Seonghun seakan bisa membaca pikiran Naoto.
“Dan untungnya jika aku tidak mengingatkan kak Seonghun soal itu pasti keadaan kakak sudah terpojok gara-gara suara yang dihasilkan handphone milik kakak,” sambung Cloud datar, tak menganggap picingan mata Seonghun sebagai alasan untuk menghentikan ucapannya.
“A-ah.. Nee, arigatou,” ucap Naoto dengan keringat yang mengalir dari pelipisnya. Singkatnya, sweatdrop.
“Jadi, kak Arisa ada di mana?” tanya Izaaq. Sekali-sekali bolehlah ia memulai pembicaraan.
“Dia ada di sana,” ucap Yongjin seraya menunjuk ke arah Arisa dan dua orang lain yang ada di dekatnya.
“Hey, Naoto. Bukankah itu… Aki dan Matsuda-sunbae?” Seonghun memajukan dirinya agar bisa melihat sosok dua orang yang tengah bersama Arisa.
Nee….”
“Jadi, apakah benar si pelaku adalah-”
“Tolong.. biarkan aku membantumu, Aki.”
Perkataan Arisa memutus ucapan Seonghun.
“Aki?”
***
“Tolong.. biarkan aku membantumu, Aki.”
Aki terdiam. Sudah terlambat untuk membantunya. Semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa mengulang masa lalu, semua sudah berlalu. Dan dosa yang sudah ia lakukan… akan ia terima konsekuensinya.
He-he… ha-hah-hah.. AHAHAHAHA!!!
Aki tertawa layaknya seorang psikopat. Ia memegang perutnya, menganggap ucapan Arisa adalah guyonan yang sangat lucu baginya. Lelucon yang hanya akan dianggap angin lalu untuknya.
“… Membantuku..?” lirih Aki setelah puas meluapkan tawanya, ekspresi sedih dan kehilangan jelas terpancar di wajahnya. Arisa menatapnya dengan kasihan. Sangat jelas jika selama ini Aki memendam perasaan “hitam” bernamakan “dendam” di hatinya.
“Jika kau sungguh-sungguh ingin membantuku-” Aki menyelipkan tangannya di balik jaketnya.
“BAWA ASUKA KEMBALI KE SINI DARI AKHIRAT!”
Aki menerjang Arisa yang terpaut jarak hanya beberapa meter darinya. Ia mengeluarkan sebuah pisau lipat yang ia jadikan cadangan dari balik jaket yang dikenakannya. Mengetahui hal itu, dengan sigap Arisa menghindari Aki dan segera menangkap tangannya serta menguncinya.
“Hentikan Aki! Kau sudah bertindak terlalu jauh!” teriak Arisa sembari mengunci gerakan Aki.
Cih! Lepaskan! Lepaskan aku!” Aki meronta sekuat tenaga. Mencoba melepaskan kuncian Arisa.
“A-chan.”
Panggilan itu. Panggilan yang sudah lama tak Aki dengar. Panggilan yang berakhir tiga tahun yang lalu. Ketika ia kehilangan seseorang yang ia sayangi sekaligus ia… cintai.
Gomen… Maafkan aku, waktu itu aku benar-benar tidak bermaksud untuk mencelakai Asuka. Aku… benar-benar minta maaf. Semua terjadi begitu cepat. Aku.. juga tidak tahu bagaimana Asuka bisa tergantung dan… meninggal,” jelas Akahito–atau Matsuda–seraya perlahan mendekati Aki.
“Bohong! Kau bohong! Jelas-jelas kalian yang merencanakan hal itu ‘kan?! Kalian berencana ingin membunuh Asuka ‘kan! Kalian ingin membungkam Asuka karena dia tahu bahwa kau masuk ke SMA ini dengan menyuap orang dalam!” raung Aki, membuat Arisa sedikit kewalahan menghadapinya. Tapi ia masih bisa menahannya.
“Bukan seperti itu Aki!” Akahito menaikkan nada bicaranya. Aki terhenyak dan memilih untuk menghentikan rontaannya.
“Aku masuk ke SMA ini karena Ai, dia yang memberikan beasiswa yang diterimanya untukku secara cuma-cuma. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya kenapa orang yang memiliki kepintaran di bawah rata-rata sepertiku bisa masuk di sini, tapi aku tidak ambil pusing, dan aku benar-benar berusaha sekuat tenaga agar aku bisa membalas kebaikan Ai, dia juga yang menyuruhku untuk loncat kelas.. sampai aku bisa berada di tingkat yang sama dengan Ayumi…” Tatapan Akahito menyendu.
“Ai tahu kalau aku menyukai Ayumi, dan dia melakukannya agar aku bisa bersama dengan Ayumi. Ai menyukaiku, dan kami juga sudah pernah berhubungan, tapi ia memilih untuk mengorbankan perasaannya dengan membantuku. Dan.. Asuka tidak meninggal karena hal itu, semua itu hanya sebuah kecelakaan,” terang Akahito, berharap Aki bisa mengerti.
“Bohong… JANGAN BERCANDA!” teriak Aki.
“Aku tidak bercanda!!” balas Akahito. “Semua itu… kecelakaan, Aki.”
“Siapa yang mau percaya pada bualanmu hah?!”
“Aki… Apa kau tahu kapan Asuka meninggal?” tanya Akahito. Aki terdiam. Ia tahu kapan peristiwa itu terjadi.
Sehari sebelum hari ulang tahunnya.
“Dia ingin membuat pesta kejutan untukmu keesokan harinya. Malam itu dia mengajak kami bertiga untuk membantunya, dia berniat untuk mengadakannya di sini. Pesta kejutan sekaligus pernyataan cintanya untukmu.”
“Bo-hong…”
“Kami sudah membersihkan tempat ini dan siap untuk menghiasnya. Tapi ketika Asuka ingin menghias bagian langit-langit tempat ini… tangga yang digunakannya tiba-tiba goyah, dan ia terlilit oleh hiasan yang dibawanya, dan setelah itu… hal itu terjadi.”
Genangan air tercipta di mata Aki. Ia tidak tahu… Apa yang sudah ia lakukan?
“Kami… sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi… terlambat, ia sudah pergi. Maaf… maafkan aku, Aki,” sesal Akahito. Ia berlutut, menyesali kesalahannya.
Aki melemas. Kekuatan yang digunakannya untuk melepaskan diri dari Arisa entah kini hilang ke mana. Merasa Aki tak mungkin melawan lagi, Arisa melepaskan kunciannya. Dengan segera Aki terduduk lemas. Ia tak mengira, sungguh tak mengira bahwa ia sudah mendendam pada orang-orang yang tak bersalah. Terlebih membunuh mereka.
Clang!
“A-apa.. yang sudah ku-laku-kan?” Aki menutup wajahnya. Pisau lipat yang dibawanya telah dilepaskannya.
Arisa tersenyum sedih. Ya, ini akhir yang terlalu sedih untuk sebuah kasus. Oleh karena itu ia ingin segera mengungkap kasus ini. Agar tak ada lagi korban dan tak ada lagi kebohongan. Agar semua itu bisa berakhir segera, menghilangkan kabut yang menutupi kebenaran yang selama ini tertutupi.
“Kak Arisa!”
“Arisa!”
Mengalihkan pandangannya dari kedua orang yang tengah meratapi kehidupan di depannya, ia melihat segerombolan remaja yang merupakan member kelompoknya. Bersama dengan seseorang… Naoto?
Huwaaa!!!
Dalam sekejap, Yongjin sudah memeluk Arisa sembari menangis meraung-raung. Apa sebegitu khawatirnya dia?
“Hey, hey… Kau kenapa menangis?” tanya Arisa kebingungan.
“Kau idiot! Neo… jeongmal pabonikka!”
Arisa sweatdrop. Aah… Baru bertemu langsung dibilang “idiot”. Betapa malangnya nasibmu.
“Sudah, sudah... Jangan menangis.” Arisa menepuk-nepuk punggung Yongjin, mencoba menenangkan gadis itu sekaligus menghentikan tangisannya.
“Aku khawatir padamu tahu! Kau pikir kau bisa bertindak seenaknya tanpa seorang pun yang berada di sampingmu huh?! Kami sangat mengkhawatirkanmu, pabo! Berterima kasihlah pada Naoto yang memberitahu kami,” isak Yongjin seraya melepaskan pelukannya pada Arisa.
“Ya, kami benar-benar kesusahan ketika Naoto bilang kau pergi ke tempat si pelaku sendirian. Syukurlah kau tidak apa-apa,” tambah Seonghun.
“Tapi kak Arisa, itu tindakan terceroboh dari kakak yang pernah kulihat,” komentar Steve santai.
“Kami tidak akan bertanya penyebab kenapa kakak seperti itu, tapi yang jelas kita adalah keluarga, jadi kakak bisa bercerita pada kami tentang masalah kakak. Tolong jangan berlarut-larut memendam masalah, kak.” Kali ini dengan bijak Levi memberikan advice bagi Arisa.
Arisa tersenyum. Ia baru sadar, ia punya teman-teman yang baik. Mereka peduli padanya. Karena mereka semua adalah keluarga.
“Ya, terima kasih, minna.”
Tak ada yang lebih baik daripada ini bukan?
Akhir yang bahagia.
***
Mobil polisi berjejeran di area sekolah. Menjemput seseorang yang sudah membuat was-was lingkungan yang ada di sekitarnya. Seorang remaja yang juga merupakan murid sekolah tersebut. Yang telah melakukan pembunuhan dua kali berturut-turut. Entah hukuman apa yang akan menunggunya nanti.
“Terima kasih, Arisa-ssi. Kalian juga, terima kasih,” ucap Mr. Park sebagai ucapan terima kasihnya atas kontribusi yang diberikan oleh kelompok detektif itu.
“Sama-sama, Mr. Park. Kami senang bisa membantu pihak kepolisian,” ucap Arisa sembari menjabat tangan Mr. Park.
“Baiklah, kami permisi dulu.”
Mr. Park melakukan pose hormat yang dibalas juga dengan pose serupa oleh gerombolan remaja penyuka misteri yang suka ingin tahu itu. Mr. Park tersenyum tipis, kemudian meninggalkan mereka menuju ke tempat bawahan-bawahannya.
Dua orang polisi tengah membawa Aki menuju mobil polisi. Sebelum Aki mencapai mobil polisi, ia berhenti di hadapan kelompok detektif itu.
“Maaf, sudah merepotkan kalian dengan membuat kalian sebagai tameng agar aku tidak dicurigai. Tapi, pada akhirnya kalianlah yang menangkapku, ini benar-benar seperti kisah detektif yang pernah kulihat,” ucap Aki. “Kalian teruslah berjuang, aku yakin suatu saat kalian bisa menjadi detektif yang hebat. Dan terima kasih, jika tak ada kalian mungkin aku tak pernah tahu kejadian yang sebenarnya. Sekali lagi terima kasih, dan sampai jumpa.”
Dengan itu, Aki segera digiring menuju mobil polisi. Lalu masuklah ia ke dalam mobil itu dengan melirik sekilas pada Akahito yang tengah bersama Arisa cs.
Blam!
Nguing! Nguing! Nguing! Nguing!
Seluruh mobil polisi sudah meninggalkan lokasi sekolah itu. Membuat keadaan di sana menjadi kembali seperti semula. Sunyi senyap.
Umm.. Terima kasih sudah menolongku, aku benar-benar berterima kasih!” ucap Akahito sembari menunduk 90 derajat.
A-ano.. Tidak usah seperti itu, kami juga senang bisa membantu,” ucap Arisa merasa sungkan akan perbuatan Akahito yang cara berterima kasihnya berlebihan itu.
“Tapi aku berhutang nyawa pada kalian,” ucap Akahito sedikit ngotot.
“Tidak apa-apa, Sunbae. Sekarang sunbae bisa pulang, semua sudah selesai,” ucap Seonghun bijak.
“Ya, terima kasih Seonghun-kun. Kalian juga, terima kasih. Aku.. permisi dulu, sampai jumpa.”
Akahito akhirnya meninggalkan kawasan sekolah itu. Kini tinggal kelompok detektif itu dan juga seseorang yang telah membantu mereka kali ini.
Haaah… Aku tidak menyangka Aki bisa berbuat seperti itu,” komentar Yongjin seraya menghela napas.
“Yah.. Hati orang siapa yang tahu,” balas Seonghun. Semua mengangguk setuju.
“Cloud, Levi, Steve, dan Izaaq, kalian sudah boleh pulang, bukankah sekarang sudah hampir jam delapan malam? Orang tua kalian pasti khawatir, walaupun sudah tahu kalau kalian tengah menangani kasus,” perintah Arisa.
“Baik, kak! Kalau begitu kami pulang dulu! Bye bye!” ucap Steve semangat. Ketiga junior yang lain hanya menggeleng melihat tingkah Steve.
“Kami pulang dulu, kak.” Cloud menunduk sopan.
“Ya, terima kasih atas bantuan kalian.”
Keempat junior itu juga sudah melangkahkan kaki mereka untuk meninggalkan area sekolah. Sekarang hanya tinggal Arisa, Yongjin, Seonghun, dan Naoto yang masih berada di sana.
“Lalu.. kalian berdua juga akan kembali ke sekolah kalian lagi?” tanya Seonghun setelah sadar jika kasus ini sudah selesai, maka Arisa dan Yongjin pasti kembali lagi ke sekolah mereka yang semula.
“Secara otomatis, begitulah,” jawab Yongjin sekenanya. Toh memang itu kenyataannya.
“Aku akan mengaturnya malam ini, jadi besok kami sudah tidak bersekolah lagi di sini,” jelas Arisa dibalas dengan anggukan dari Seonghun, namun tak ada ekspresi yang muncul dari Naoto. Singkatnya, datar.
“Kau benar-benar cepat untuk hal seperti ini,” celetuk Yongjin. Arisa hanya tersenyum misterius.
“Baiklah, kami akan kembali dulu ke rumah bibi Mizushima untuk mengepak barang kami, baru setelah itu pulang ke rumah. Kau juga segera pulanglah, Seonghun.” Arisa dan Yongjin bersiap untuk pergi.
Nee… annyeong.”
Annyeong….
Arisa dan Yongjin telah pergi. Sekarang tinggal Seonghun dan Naoto.
“Hey, Naoto. Kenapa kau tidak mengatakan sepatah kata pun untuk Arisa?” tanya Seonghun memecah keheningan di antara mereka. Naoto mendengus.
Hmph.. Mana mungkin aku mengajaknya bicara disaat di mana ia kembali mengingat’nya’, Seonghun-kun,” ucap Naoto. Seonghun tertawa kecil, sedikit mengejek.
“Yah.. Aku memang tidak tahu apa masalah kalian berdua, tapi jika kau butuh bantuanku aku akan membantumu,” tawar Seonghun. Naoto melirik ke arah pemuda yang beberapa bulan lebih muda darinya itu.
“Mungkin, suatu saat aku akan meminta bantuanmu, tapi untuk saat ini kurasa aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Naoto halus, namun masih meninggalkan kesan misterius.
“Naoto… sebenarnya apa hubunganmu dengan Arisa? Aku sadar bahwa ada sesuatu di antara kalian ketika pertama kali Arisa bertanya tentang dirimu,” ucap Seonghun penuh selidik dan rasa penasaran yang tak pernah hilang dari seorang penggila misteri sepertinya.
“Suatu saat kau juga akan tahu.” Masih dengan segala rahasia yang dimilikinya, Naoto kembali membuat Seonghun bertanya-tanya dalam hati.
Sebenarnya apa yang sudah terjadi antara pemuda ini dengan Arisa?
“Kalau kau tidak mau mengatakannya-” Seonghun beranjak mendekati Naoto, berhenti di samping pemuda itu. “Maka aku akan mengungkapnya sendiri.”
“Silahkan saja, aku tak keberatan,” tantang Naoto dengan seringai di bibirnya. Dipandangnya bulan yang sudah hampir memasuki purnama di langit. “Tapi, jika kau sudah mengetahui semuanya, kuharap kau tak membeberkannya. Sengaja maupun tidak sengaja.”
“Atau aku akan…”
Seonghun memandang Naoto.
“..’Membunuhmu’,” sambung Naoto penuh keseriusan. Seonghun memincingkan matanya, melirik tajam ke arah Naoto yang terlihat tak main-main dengan perkataannya.
“Benarkah? Kau akan membunuhku?”
Naoto kembali memasang wajah datarnya. Benar, terkadang dengan memasang wajah tanpa ekspresi seperti itu akan mengaburkan semua pemikiran tentangmu. Menghalangi mereka untuk membaca apa yang tengah kau rasakan, pikirkan….
Heh.. Kau serius ya?” Seonghun tersenyum lirih. “Aku memakluminya, kau hanya ingin melindunginya ‘kan?”
Naoto memalingkan wajahnya. Ia akui itu. Ia membenarkan ucapan Seonghun dalam hatinya. Ia sudah cukup merasa bersalah dan tertekan. Ia hanya ingin bisa kembali seperti dulu.
“Kau juga sama ‘kan?” balas Naoto. Seonghun tersenyum penuh arti.
“Kita impas kalau begitu. Kau pegang ‘rahasia’ku, kupegang ‘rahasia’mu,” ucap Seonghun kemudian mengarahkan genggaman tangannya tepat di depan wajah Naoto.
“Ya, kau benar.”
Naoto meninju tangan Seonghun. Sebuah perjanjian telah dibuat.
***
“Kalian sudah mau pulang?”
Seorang wanita paruh baya menghampiri kedua orang gadis yang tengah mengepak semua baju dan barang-barang yang mereka bawa selama mereka tinggal di rumah wanita itu. Tugas mereka sudah selesai, dan sekarang waktunya mereka pulang.
“Iya, bibi. Kami berdua akan pulang, terima kasih telah menerima kami selama ini. Maaf, kami tidak bisa memberikan apa-apa untuk bibi,” ucap Arisa setelah selesai menutup koper yang digunakannya sebagai tempat penyimpanan barang-barangnya.
“Iya, ahjumma,” sambung Yongjin yang juga telah selesai memasukkan barang bawaannya.
“Tidak, seharusnya bibi-lah yang mengucapkan terima kasih. Karena kalian, A-chan bisa menyadari kesalahannya,” ucap bibi Mizushima dengan senyum lembut terbentuk di bibirnya. Kedua gadis itu membalas senyuman bibi Mizushima.
“Dan bibi rasa.. di ‘sana’ Asuka juga sangat berterima kasih pada kalian,” lanjut bibi Mizushima.
“Kami rasa juga begitu, bibi.”
Suasana kamar itu menjadi hening. Kedua gadis itu juga berpikir pasti Asuka tak ingin Aki melakukan kesalahan besar itu lagi. Karena menurut mereka Asuka pasti ingin agar Aki tetap melangkah ke depan meski tanpa dirinya.
“Arisa, Yongjin, apa kalian tidak makan malam di sini dulu? Kalian belum makan ‘kan?” tawar bibi Mizushima. Wanita itu tahu kalau mereka berdua langsung merapikan barang-barang mereka setelah pulang dari lokasi di mana Aki tertangkap. Itu artinya mereka belum mengisi perut mereka yang pastinya masih kosong sejak tadi siang.
Hmm.. Baiklah, ahjumma. Ayo, Arisa!” seru Yongjin pada Arisa yang masih mempertimbangkan ajakan bibi Mizushima.
“Tidak apa-apa, Arisa. Ayo, kita makan,” ajak bibi Mizushima, mengerti jika Arisa terlihat sungkan untuk menerima ajakannya.
Umm.. Baik bibi, tapi masih ada sesuatu yang harus kubereskan. Bibi duluan saja bersama Yongjin.”
Nee.. Kalau begitu, kami ke bawah dulu ya? Kalau sudah selesai, segera ke bawah, ne?” ucap bibi Mizushima seraya berjalan meninggalkan kamar diikuti Yongjin yang mengekor di belakangnya.
Blam.
Huft.. Mereka sudah pergi,” desah Arisa pelan. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil yang sebenarnya selalu dibawanya ke mana pun untuk jaga-jaga ketika dia melakukan hal yang “ekstrem” bagi tubuhnya.
Arisa membuka tutup botol itu, memperlihatkan pil-pil yang merupakan isi dari botol itu. Mengambil sebutir pil dan menelannya.
“Semoga sudah tidak kenapa-kenapa,” Arisa mencoba berdiri dan menghentak-hentakkan kaki kanannya. “Yak, sudah lebih baik.”
Bukannya dia penyakitan, bukan. Arisa hanya mengalami “masalah” di kaki kanannya sejak dulu. Hmm.. Mungkin bukan sejak dulu, hanya baru beberapa tahun yang lalu. Kakinya patah dan ia harus dipasangkan paku di tulangnya untuk menyambung sekaligus menguatkan tumpuan di kakinya. Lalu, obat itu adalah penghilang rasa sakit yang diminumnya ketika ia terlalu memaksakan penggunaan pada kakinya. Seperti high kick yang dilakukannya beberapa saat yang lalu.
“Syukurlah tadi aku masih bisa menahannya, jika tidak mereka pasti cemas terhadapku,” bisik Arisa, kemudian memasukkan obat itu ke dalam kopernya. Tangannya yang bergerak untuk menutup resleting koper miliknya terhenti ketika sebuah buku tua menyita perhatiannya.
“Bagaimana bisa ‘kau’ kembali? Padahal jelas-jelas dengan mata kepalaku sendiri aku melihat ‘kau’ dan ‘dia’ ‘pergi’ bersama Nee-chan.”
Diambilnya buku itu, membuka halaman di mana terdapat foto dari dua anak laki-laki yang sekilas tak bisa dibedakan. Mereka kembar.
Nee-chan, yang ada di hadapanku sekarang ini ‘dia’ atau ‘dia’?” Arisa membaca tulisan yang ada di foto itu. Nama kedua anak laki-laki itu.
*Naoto & Ryouta ! ^w^*
“Siapa?”
***
Pip pip pip pip..
Bunyi ketikan tombol-tombol handphone yang sejak tadi terdengar di taksi seperti tak habis-habisnya, mengingat kedua penumpang kendaraan itu tengah menggunakan handphone mereka dengan kepentingan masing-masing. Si gadis berkacamata tengah mengirim e-mail kepada entah siapa, yang jelas e-mail itu penting baginya. Sedangkan gadis yang lain agak ogah-ogahan dalam mengetik e-mail miliknya.
“Selesai, besok kita sudah bisa bersekolah lagi,” ucap si gadis kacamata pada gadis yang duduk di sebelahnya.
“Ya, ya, aku tahu. Haah.. Padahal aku ingin libur walaupun sehari saja,” gerutu gadis itu, si gadis kacamata tersenyum geli.
Hey, sebentar lagi libur musim panas ‘kan? Bersemangatlah, lagipula tak lama lagi kita juga akan lulus, hanya tinggal setahun lebih kita bersekolah di sana, Yongjin,” ujar gadis berkacamata pada gadis bernama Yongjin yang duduk di sampingnya.
Ne, nee.. Aku mengerti leader-ssi,” ucap Yongjin malas-malasan masih menatap layar handphone-nya. Membuat gadis berkacamata yang disebut “leader” oleh Yongjin penasaran.
E-mail dari siapa?” tanyanya.
“Seonghun,” jawab Yongjin singkat, padat, dan jelas. Membuat “leader” mengangguk-angguk mengerti.
“Ooh.. Pasti dia menanyakan soal ‘kembali’nya kita ‘kan?”
“Yah.. Kurang lebih begitu,” balas Yongjin cuek. Sang “leader” menghela napas.
“Kenapa kau selalu berusaha menghindarinya dan sok tak akrab dengannya? Bukannya kalian dulu pernah berhubungan?”
Deg.
Jari-jemari yang tengah mengetik itu berhenti, sang pemilik jari memasang wajah kesal. Ia tak ingin mengungkit masa lalunya lagi. Karena secara tak langsung hal itu akan membuka lagi luka di hatinya.
Luka yang sudah diobatinya dengan susah payah.
“Sudahlah, Arisa. Berhentilah membicarakan hal itu, aku tidak suka,” desis Yongjin dengan nada memerintah. Arisa–leader–mematung. Bukannya ia tak tahu kenapa Yongjin tak mau membicarakan hubungannya dengan Seonghun, bahkan Yongjin sendiri yang menceritakan sebab mengapa hubungan mereka berakhir. Ia cuma ingin membantu masalah gadis yang nyaris setahun lebih muda darinya itu.
“Oke, aku tak akan berkomentar lebih banyak lagi,” desah Arisa pasrah. “Kalau begitu aku tidur sebentar, bangunkan aku jika sudah sampai.”
“Ya.”
Arisa menggelengkan kepalanya melihat kekeras kepalaan Yongjin. Menyerah, ia memilih menyamankan posisi duduknya dan bersandar di jendela taksi melihat jalanan yang ia lewati. Mengamatinya hingga matanya memberat karena rasa lelah yang menguasai tubuhnya. Hingga sepasang mata itu tertutup sempurna.
Yongjin melirik ke arah Arisa yang begitu cepatnya tertidur. Mungkin dia benar-benar kelelahan, pikir Yongjin.
Huh.. Dia juga sih, terlalu memaksakan diri, kelelahan juga ‘kan?” komentarnya dengan helaan napas panjang di akhirnya.
‘Sepi…’
Pip pip! Pip pip!
Aish.. Kenapa lagi dia? Bukannya sudah kusuruh untuk tidak mengirimiku pesan lagi?!” gerutu Yongjin seraya membuka e-mail yang baru saja masuk di inbox-nya.
~~~
To: Yongjin
From: Seonghun
Subject: Night.
Message:
Mianhae, aku mengirimimu pesan lagi. Aku tahu kau pasti marah padaku ‘kan? :(
Aku hanya ingin memastikan jika kau sudah sampai, cepatlah tidur, kau butuh istirahat. Jaga kesehatanmu, kau tidak tahan angin malam ‘kan?
Umm.. Mungkin hanya itu yang ingin kusampaikan. Tapi kau harus tahu, aku selalu mengkhawatirkanmu, Yongjin-ah. Dan maaf sudah membuatmu jadi seperti ini. Aku tahu kau membenciku setelah kejadian itu. Maafkan aku..
Night. Saranghae..
~~~
Deg.
Yongjin mengeratkan genggamannya pada handphone-nya. Apa yang harus ia lakukan? Ia bingung, seperti apa perasaannya saat ini?
Pabo. Untuk apa kau mengatakan itu?” Ia menatap nanar isi e-mail itu, terutama bagian akhirnya. “Kita ‘kan sudah berakhir, Seonghun.”
Cukup. Ia harus kuat, ia tak boleh terombang-ambingkan oleh perasaannya. Tak ada kesempatan kedua. Karena semua sudah berakhir.
Tapi…
Gomawo sudah peduli padaku.”
Yongjin menutup e-mail kiriman Seonghun. Mendekatkan handphone itu ke dadanya. Menekan pelan dadanya yang terasa sedikit ngilu.
Matanya menutup. Merasakan sensasi hangat sekaligus perih yang melandanya. Senyum pedih terbentuk melalui bibirnya.
“Mana mungkin aku bisa melupakanmu jika kau seperti ini?”
Dibukanya mata beriris hitam kecoklatan miliknya. Pandangannya mengalih pada jendela taksi yang memperlihatkan lampu-lampu terang dari bangunan-bangunan yang dilewatinya.
“Jika kau selalu berusaha memasuki lembaran kehidupanku kembali?”
Badannya bergeser, mendekati jendela itu. Memperhatikan bayangan dirinya yang samar-samar terlihat di kaca jendela.
“Bagaimana bisa?”
***
Ting tong teng tong.. Ting tong teng tong..
Suara bel berdentang membahana ke seluruh penjuru sekolah. Sadar bahwa sudah waktunya jam pertama dimulai, siswa-siswi di kelas XI Science 2 yang merupakan penghuni kelas itu segera mengeluarkan buku-buku penunjang materi yang mereka punya. Contoh murid yang baik.
Setidaknya begitu.
Tap tap tap..
Sesosok pria paruh baya memasuki ruang kelas mereka. Ia menuju ke meja guru yang menjadi “singgasana”nya selama di kelas. Mengawasi satu persatu siswanya, sebelum memulai pelajarannya.
“Anak-anak, sebelum saya memulai materi hari ini, akan saya perkenalkan seorang murid baru yang akan menjadi salah seorang anggota di kelas ini,” ucap sang guru.
Bisik-bisik mulai terdengar dari siswa-siswi yang secara alamiah memiliki rasa penasaran ketika ada seorang murid baru di kelas mereka. It’s obvious, isn’t it?
“Masuklah,” perintah sang guru pada seseorang yang sejak tadi berdiri di luar kelas karena belum mendapat perintah untuk masuk.
Seorang pemuda memasuki ruangan itu. Dengan santainya ia melangkah menuju ke depan kelas, kemudian membalik badannya hingga menghadap seluruh penghuni kelas itu. Matanya mengobservasi tiap sudut ruangan. Hingga terpaku pada seseorang yang dengan cueknya sedang melakukan kegiatan individunya tanpa memperhatikan objek yang sekarang ini tengah menjadi perhatian seluruh kelas, siapa lagi kalau bukan dia?
Hajimemashite.”
Kalimat pembuka itu menghentikan kegiatan seseorang yang sejak tadi terpaku pada kertas yang berisi coretan-coretan tak jelas miliknya. Mengarahkan indra penglihatannya pada sosok di depan kelasnya yang ia dengar merupakan seorang murid baru. Sekaligus berharap kalau pemilik suara itu bukan seseorang yang ditemui–dikenalnya–beberapa hari yang lalu.
Watashi wa Matsushita Naoto desu. Yoroshiku.”
‘Dia… Naoto?!’
Sial. Ternyata firasatnya benar.
“Silahkan menuju bangku yang masih kosong,” titah sang guru pada Naoto. Ia mengangguk, mematuhi guru barunya itu. Matanya tertuju pada bangku kosong yang entah keberuntungannya atau tidak, tepat berada di belakang orang yang menarik perhatiannya tadi.
Lucky.’
Seseorang itu segera tersadar bahwa Naoto tengah menuju ke arahnya.. Atau.. Bangku di belakang tempat duduknya?
Sial. Ia lupa kalau bangku itu kosong. Dan bolehkah ia bertanya sudah berapa kali dia mengumpat dalam hati hari ini?
Dua.
.
.
Ooh.. Baru dua.
Rasanya pasti akan bertambah lagi.
Bruk!
Bunyi tas yang diletakkan–dibanting–cukup keras dari arah belakangnya, memberikan rasa begidik–nervous–baginya. Dilihatnya guru yang mengajar mereka hari ini sedikit mempertajam tatapannya pada Naoto.
“Matsushita-kun, saya harap anda bisa tenang,” ucap sang guru dingin dan mengena di hati. Jika kau bukan orang yang kuat hatinya–oleh olokan, cibiran dan semacamnya–, pasti sekarang hatimu serasa dihujam oleh ribuan anak panah yang rasanya.. Oh pasti sakit tentunya. Hiperbolis.
Nee, sensei,” balas Naoto santai. Tolong tambahkan bahwa dia bukan golongan orang-orang hiperbolis seperti yang ada di paragraf sebelumnya.
Naoto segera duduk di bangku strategis miliknya. Dengan begini ia bisa dengan mudah mengawasi sosok yang duduk di depannya. Benar-benar situasi yang menguntungkan.
Sebuah seringai muncul di bibirnya. Ia memajukan badannya sedikit, berbisik. Paling tidak suaranya bisa didengar oleh sosok di depannya.
“Kita bertemu lagi, Arisa. Mulai saat ini mohon bantuannya.”
Sungguh, jika saja ia tidak bertemu dengan Naoto saat itu, hidupnya pasti akan tenang. Dan ia juga tak perlu menjadi seorang ‘pengecut’ hanya untuk menghindar darinya.
‘Kurasa hidupku kali ini akan penuh dengan ‘gangguan’...’
Mungkin?
***
“ARISAAA!!!”
Teriakan ala megaphone terdengar di telinga Arisa–orang yang dipanggil–. Tak perlu waktu lama untuk mengalihkan perhatian beberapa orang yang tersisa di dalam kelas itu pada sang pemanggil. Yang dilanjutkan dengan larinya ia ke arah bangku Arisa.
“Yongjin, kau berisik,” komentar Arisa ketika Yongjin sampai di dekat bangkunya.
Mian..” Yongjin menangkupkan tangannya, tanda ia minta maaf. Tak sengaja ia melihat seseorang yang duduk di belakang Arisa. Pandangannya mendadak menjadi horor. Bagaimana orang itu bisa ada di sini?
“Na-Naoto? Kau.. Naoto ‘kan?” Yongjin menatapnya shock sembari menunjuk orang yang dipanggilnya Naoto tadi.
“Oh, hai, Yongjin-san,” jawab orang itu.
‘Tidak salah lagi! Dia memang Naoto!’
“Arisa, bisa kau ikut aku sebentar?” pinta Yongjin dengan wajah serius. Arisa menghela napas dan menganggukkan kepalanya, ia tahu apa yang akan dibicarakan Yongjin setelah ini.
Chotto mate, kalian mau ke mana?” tanya Naoto. Arisa memutar bola matanya, membatin bisa-bisanya Naoto berpura-pura tak tahu kenapa Yongjin mengajaknya keluar.
“Urusan perempuan~” ucap Yongjin seraya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya, kemudian menarik Arisa dari bangkunya dan keluar dari kelas. Mengajaknya ke tempat yang aman untuk membicarakan “urusan”nya.
Hmph….” Naoto mendengus kecil ketika kedua orang itu sudah menghilang dari balik pintu. Ia mengambil sebuah bolpoin dan menuliskan sesuatu di bukunya.
A secret makes a woman woman.
“Kau mau bermain rahasia denganku ya? Baiklah, akan kuladeni.”
***
Ia menatap tajam gadis di depannya, seakan menginterogasi lewat tatapan matanya. Sedangkan gadis di depannya memandangnya datar sebagai balasannya. Walaupun waktu sudah lewat sekitar dua menit yang lalu ketika mereka sampai di atap sekolah, namun tak seorang pun dari mereka yang ingin membuka pembicaraan. Layaknya hanya ingin mengadu tatapan saja.
“Dia.. kenapa bisa ada di sini?” Salah seorang dari mereka akhirnya memecah keheningan di antara mereka. Masih dengan tatapan tajam menyelidiknya. Tapi belum ada jawaban yang diutarakan.
“Arisa, beritahu aku,” ucapnya mendesak.
“Aku juga tidak tahu, Yongjin. Bahkan aku juga kaget ketika dia masuk ke kelasku tadi,” jawab Arisa pada Yongjin tanpa melepaskan mimik datar pada wajahnya.
“Aah.. Aku menyerah~”
Yongjin mendudukkan dirinya di lantai. Merasa lelah ketika usahanya untuk mengetahui isi pikiran Arisa tak berhasil, ditambah lagi ekspresi datar milik gadis itu, ia sungguh tak tahu.
“Kau sungguh bisa menyembunyikan perasaanmu, Arisa,” keluh Yongjin sembari menatap langit. Arisa tersenyum–dengan sedikit menyeringai–dan mengambil posisi duduk di sebelah Yongjin.
“Tidak juga. Lagipula yang aku katakan tadi toh memang apa adanya. Aku tak tahu kenapa Naoto bisa pindah ke sini secepat itu,” ucap Arisa pelan, namun masih bisa terdengar.
“Ya… Maka dari itu aku ingin bertanya padamu, mungkin saja kau yang ‘memasukkan’ Naoto ke sini dan berniat mengajaknya bergabung dengan kita. Karena kurasa dia telah membantu banyak kemarin,” komentar Yongjin sembari memangku dagunya.
“Aku tidak mungkin melakukan itu ‘kan… Aku bahkan baru bertemu dengannya selama beberapa hari, bagaimana bisa aku mengajaknya bergabung?”
“Itu benar.. Tapi apa kau tidak berniat untuk mengajaknya? Kupikir dia punya kemampuan yang hebat,” ucap Yongjin secara tak sadar juga mengusulkan agar Arisa menerima Naoto sebagai anggotanya.
“… Akan kupikirkan,” Arisa mendongak ke atas. Sepertinya dia memang benar-benar berpikir.
“Benarkah?” Yongjin menatap Arisa dengan pandangan tak yakin.
“Mungkin… kurasa….”
***
‘Kenapa DIA ada DI SINI?!!’
Untuk saat ini mari kita tengok ekspresi “luar biasa” dari Arisa yang baru datang ke basecamp mereka bersama Yongjin. Dengan tubuh yang seakan tak bisa digerakkan, mematung, ketika membuka pintu, ditambah lagi pandangan shock dari matanya. Jangan lupa mulutnya yang sedikit menganga itu, sungguh, belum pernah terlihat “sosok”nya yang seperti itu.
“Oh.. Hey, Arisa, Yongjin!” ucap Seonghun yang tengah asyik bermain game dengan “dia”. Sampai saat ini memang belum ada member lain yang datang kecuali Seonghun dan “dia”.
Tunggu! Memangnya Arisa sudah menganggapnya sebagai member?
Konnichiwa, Arisa, Yongjin-san,” ujar“nya” ketika lawan mainnya–Seonghun–menghentikan permainan mereka.
“Seonghun, aku ingin bicara denganmu.”
Yongjin yang menyadari ucapan dan gelagat Arisa saat ini hanya bisa berdoa semoga Seonghun tak menjadi “korban” dari Arisa. Wait! Isn’t that means… she’s worrying him?
Ayolah.. Yongjin tidak mengkhawatirkan Seonghun. Tidak, tidak sama sekali. Setidaknya itu yang dipatrikan dalam pikirannya.
“Kau yakin, Arisa? Kurasa itu tidak perlu,” balas Seonghun santai. Yongjin semakin merasakan aura “negatif” dari sosok di dekatnya. Dilihat dari sorot tajamnya yang mengarah pada Seonghun. Bingo! Arisa sebentar lagi “meledak”.
“Kau–”
“Jangan marah dulu, Arisa,” Seonghun juga sadar kalau Arisa tengah menahan amarahnya saat ini, maka dari itu ia mencoba “mendinginkan” atmosfer di tempat itu.
“Aku mengajaknya ke sini karena kurasa dia bisa sangat membantu penyelidikan kita. Bagaimana? Kau setuju?” tawar Seonghun. Arisa terdiam. Cukup lama, namun kemudian gadis itu langsung pergi ke lemari es untuk mengambil sesuatu. Minuman mungkin?
“Bagaimana?” tanya Seonghun untuk memastikan jawaban yang belum didapatnya.
Arisa belum menjawabnya. Ia membawa dua buah kaleng minuman bersoda dan kembali ke dekat Yongjin yang masih mematung di ambang pintu, menyerahkan salah satunya dan dibalas dengan anggukan oleh Yongjin ketika menerima minuman itu.
“Arisa?”
Menghela napas. Dengan sedikit berat hati gadis itu menjawab, “Terserah padamu, aku setuju-setuju saja. Ayo Yongjin, kita pergi.”
Blam.
Hanya tertinggal dua orang pemuda yang tersenyum dengan penuh kemenangan.
***
Ya! Arisa! Kau yakin menerima Naoto?”
Langkah Yongjin semakin dipercepat ketika melihat Arisa sudah berada beberapa meter di depannya. Kalau sedang memikirkan sesuatu, pasti selalu lupa sekeliling, batin Yongjin saat ia hampir menyamai Arisa.
“Entahlah….”
“Jawabanmu tidak meyakinkan sama sekali,” sindir Yongjin pada jawaban Arisa yang memang tidak meyakinkan itu. Dengan berjalan sambil memegang kaleng minuman yang baru disesap sekali, serta perhatiannya yang tidak fokus, siapa yang mau yakin soal itu? Adanya kau akan sangsi mendengarnya.
“Aku mau pulang,” ucap Arisa tiba-tiba. Yongjin hanya menghela napas pasrah. Yah.. Ia sudah terbiasa dengan sikap gadis itu. Selalu tidak mau terbuka dengan orang lain, bahkan mungkin orang tuanya sendiri. Yongjin berani bertaruh akan hal itu.
“Baiklah, aku juga akan pulang,” ujar Yongjin. Gadis itu melihat Arisa yang kembali ke apartemen yang baru saja mereka tinggalkan. Toh rumah Arisa ada di sana ‘kan? Setidaknya begitu, mengingat sebenarnya ia menyewa satu kamar untuk ditinggalinya selama ini. Ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan jauh dari keluarganya, kalau Yongjin tidak salah. Karena selama ini yang ia tahu, Arisa tinggal sendirian di sana.
“Kuharap kau segera menyelesaikan ‘masalah’mu, Arisa,” harap Yongjin sebelum memasuki taksi yang dihentikannya untuk pulang.
***
Arrgh.. Kuso! Apa aku tidak bisa hidup tenang lagi, huh?”
Menggerutu kesal, Arisa membolak-balikkan badannya di tempat tidurnya. Kesal, bingung, takut, entahlah. Yang jelas pikirannya sedang semrawut saat ini.
“Sebaiknya aku tidur saja.”
Memakai headset dan menyalakan musik di handphone-nya dengan volume cukup keras. Berharap ia segera terbawa ke alam mimpi. Dan berharap agar yang terjadi selama seharian tadi hanyalah mimpi.
.
.
That was a dream, right?”
***
…Chapter 1…
…END…

Author’s Note:
Case 1 berakhir dengan tidak elitnya. =_=”
Oke, maafkan saya yang menjadikan siapa pun yang saya samarkan di fic ini menjadi OOC. Ini demi plot, maan~! Jadi oke-oke saja ya? (OwO)q *ppuing ppuing* #puppyeyes
Mungkin readers kebingungan dengan jalan cerita kasus yang tidak saya jelaskan detailnya. Clue-nya ada kok, hanya saja saya sebar dalam bentuk tulisan.
Memang ini bukan pertama kalinya saya bikin model cerita ala detektif, tapi kali ini entah kenapa otak saya tidak mau berkompromi untuk membuat kronologi pembunuhannya, maka jadilah fic amburadul bin gak jelas ini. Mana gak ada trik-trik khusus kayak komik D*t*ct*v* C*n*n lagi… *sensor* #headbang
Oh ya, untuk summary yang saya buat, memang tidak sepenuhnya ada di cerita. *apa mungkin nggak ada sama sekali?* Well.. I think it’s okay, right?
Satu lagi, Case 2 sepertinya tidak akan saya lanjutkan dalam waktu –coretlamacoret– dekat. Saya akan fokus ke fanfic saya dulu~ I hope you understand.
At least.. Mohon kritik dan sarannya demi kemajuan author dan jalan cerita selanjutnya.
Terima kasih~ ^3^

Sign,
Anita Kazahana