Minggu, 17 Februari 2013

ANGEL - Part 1



ANGEL

Story by: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Romance, Angst
Warning: Typos, -little-curse words

***###***

“Kematian yang begitu cepat, apakah aku bisa melupakannya?”
Kaki yang semula tertekuk kembali lurus. Pandang mata sang pemilik menyiratkan kekosongan tak berujung. Gelap. Kosong.
Tanpa jiwa.
“Apa aku bisa mencari penggantinya? Jawab aku… Sooyeon-ah.”

Kedua tangan tergenggam erat. Hati yang sakit di kala melihat sosok yang tampak hancur di hadapannya. Digigitnya bibir pucat dingin miliknya, hawa sang hujan telah merasuk secara sempurna menembus pori-pori kulitnya.
“Suatu saat, suatu saat… Eunhwa-oppa.”
Suatu saat.
“Tetapi… kapan?” Sepatah pertanyaan dari mulut sang namja semakin menyadarkannya akan suatu hal.
“Kapan aku bisa melupakan Minyeon?”
Bahwa tak ada tempat yang tersisa baginya di hati Eunhwa.
“Di saat… kau bisa membuka hatimu lagi, oppa.”
“Dan aku tak tahu kapan hati ini bisa terbuka lagi.”
Cukup satu pernyataan, dan semua sudah jelas.
Lee Sooyeon tak akan pernah bisa mendapatkan hati Shin Eunhwa yang telah menjadi milik Lee Minyeon.
‘Kau adalah yeoja paling beruntung… Eonnie.’
***
Close your eyes, listen to my heart, live with me forever
In the morning, wake me up with your voice
Hug me once a day; tell me that you love me
Always look into my eyes and tell me
I will stay at the same place since the beginning
***
“Sooyeon-ah, gwaenchanayo? Maaf, aku tidak bisa datang ke pemakaman Minyeon-ah.”
Lagi-lagi untaian kata yang sama.
Sepanjang koridor sekolah, setiap siswa yang berpapasan dengannya. Dia tahu bahwa mereka memberikan perhatian atas kematian kakaknya. Namun ia tak membalas. Suaranya seakan hilang, yang pada akhirnya sebuah isyarat berupa anggukan dan senyum lemah yang menggantikannya.
Semua orang tahu dia tidak baik-baik saja.
Dan ia menyangkalnya.
Kala kakinya terhenti. Berdiri sembari menatap namja yang tengah memberikan perhatiannya pada langit mendung. Pagi yang kelabu.
Kembali berjalan dari ambang pintu, mendekati sosok itu. Ingin mengobati hati yang hancur lebur. Tapi, bahkan kepingan hatinya sendiri tak bisa terobati.
Asalkan dia bahagia, tak apa jika dirimu hancur.
“Eunhwa-oppa.”
Panggilan ketika ia telah sampai di sisi namja itu. Namja yang menjadi kekasih sang kakak. Namja yang menjadi segalanya bagi sang kakak. Kebahagiaan sang kakak.
Dan namja yang ia cintai.
“Eunhwa-oppa.”
Pada panggilannya yang kedua pun masih belum ada tanggapan dari sang namja. Digigitnya bibir bawahnya. Menahan sakit yang merambat dari dalam dadanya. Jantung yang mendadak memberikan efek sesak. Membuatnya tertekan. Oksigen yang seakan tak bisa diraihnya. Layaknya ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Tak bisa bernapas.
Ingin mati saja.
“Sooyeon-ah, biarkan dia sendiri dulu.”
Tak berbalik, namun pada detik berikutnya ia terpaksa menghadap namja yang memanggilnya tadi. Akibat dari tarikan di bahunya untuk menghadap ke belakang.
“Kau juga perlu waktu untuk sendiri ‘kan?”
Hmm.”
Tak pantas disebut kata. Tak pantas disebut jawaban. Hanya sebuah gumaman, namun ia yakin bahwa namja yang tengah berusaha menenangkannya itu mengerti. Mengerti maksudnya. Mengerti keadaannya.
Karena dia lah yang selama ini berbagi kesedihan dengannya.
***
Semilir angin menerbangkan helaian dedaunan yang tercecer di atas tanah. Ranting yang semula menjadi tempat sang daun bertengger, kini menjadi kosong. Tak lagi indah. Terlihat–
Menyedihkan, sepertiku.
Segaris senyum pilu. Gambaran hatinya yang hancur. Hati yang tak ingin ia sembuhkan, ia bangun kembali. Karena semua itu percuma. Tak ada artinya.
Karena ia bahkan tak bisa menemukan pelengkap hatinya.
“Melamun sendiri, Sooyeon-ah?”
Dirasakannya daerah kosong di sebelahnya telah ditempati seseorang. Ia tidak perlu lagi menoleh pada orang di sebelahnya. Karena dari suara yang orang itu hasilkan, ia sudah tahu siapa.
Hyuksoo.
“Kenapa.. kau ke sini, oppa?” tanyanya datar. Masih belum menengok pada namja di sampingnya. Malah mengawasi daun-daun di bawah sana.
“Daripada aku tidak punya kerjaan setelah latihan klub sepak bola, makanya aku ke sini. Oh ya, katanya tadi kau tidak ikut kegiatan klubmu ya?”
“Aku malas,” jawabnya singkat. Dari sudut mata Hyuksoo–namja di sebelahnya–yang mengerling pada Sooyeon, yeoja itu terlihat sangat tidak bersemangat.
Bukannya Hyuksoo tak tahu kenapa. Namja itu hanya ingin memberikan waktu agar perasaan yeoja itu bisa menjadi, setidaknya lebih baik.
Aah~ Hari ini membosankan, aku sebenarnya juga ingin membolos latihan. Tapi bagaimana lagi? Aku ‘kan kaptennya,” ucap Hyuksoo sembari meringis. Ia menoleh ke samping kirinya, mencoba mengamati ekspresi Sooyeon yang masih belum berubah. Bibirnya mengerucut. Sepertinya dia harus memikirkan cara lain untuk membuat yeoja di sampingnya itu untuk tersenyum.
Paling tidak melihatnya tersenyum sudah membuatnya bahagia.
“Sooyeon-ah,” panggilnya tanpa digubris oleh Sooyeon. Dihembuskan napasnya pelan.
“Sooyeon-ah.” Dipanggilnya yeoja itu sekali lagi. Tak ada respon.
“Sooyeon-ah.”
“Apa… oppa?”
Hyuksoo tersenyum lebar, setelah panggilan yang ketiga kalinya Sooyeon akhirnya membalas ucapannya.
“Mau kuajak ke suatu tempat?” tanya Hyuksoo, kali ini dengan cepat Sooyeon menoleh. Dahinya berkerut mendengar ajakan Hyuksoo.
Eodiga?” tanya Sooyeon balik. Hyuksoo mengulum senyum misterius.
“Rahasia~ Makanya ayo ikut aku!”
Ditariknya tangan Sooyeon untuk mengikutinya. Membawa yeoja itu ke tempat yang hanya diketahui Hyuksoo. Mereka berdua berlalu meninggalkan bangku taman sekolah itu tanpa mengetahui bahwa ada seseorang yang telah mengawasi mereka sedari tadi. Dari balik pohon. Dengan kedua tangannya yang mengepal. Gigi menggeretak.
Tanda bahwa ia tengah kesal.
Memukul batang pohon di dekatnya. Melampiaskan amarahnya, kemudian beranjak pergi. Meninggalkan keheningan yang diselingi sayup suara hembusan angin dingin.
***
“Kau mau membawaku ke mana, oppa?”
Hyuksoo hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Sooyeon. Pasalnya, hari sudah menjelang malam dan tentu saja matahari hanya tinggal menyisakan sedikit bagiannya untuk menerangi dunia. Udara juga semakin dingin.
“Setiap aku punya masalah, aku selalu merenung di sini.”
Langkah mereka terhenti. Hyuksoo membawa Sooyeon ke padang luas beralaskan rumput yang pastinya terlihat hijau di siang hari, karena hari sudah gelap saat mereka tiba di sana. Tak bisa melihat sekeliling dengan jelas.
“Sooyeon-ah, coba kau lihat ke atas.”
Mengikuti instruksi yang diberikan Hyuksoo, Sooyeon mengarahkan pandangannya ke atas. Tepat melihat langit bertaburkan bintang layaknya berlian. Matanya membulat, bintang-bintang di langit malam tercermin di irisnya yang gelap.
“Tempat yang indah untuk melihat bintang ‘kan? Karena di kota kita tak bisa melihat bintang-bintang itu dengan jelas.”
Sooyeon mengedarkan padangannya untuk menemukan sosok Hyuksoo yang sudah berbaring di atas alas rumput. Mengikuti jejak Hyuksoo, yeoja itu mendekati Hyuksoo dan duduk di samping namja itu.
“Kenapa…”
Hyuksoo yang awalnya sedang menikmati pemandangan yang tersuguh di atasnya menengok ke arah Sooyeon yang tengah duduk sembari memeluk lututnya. Mata Sooyeon memandang lurus ke depan, namun tak memiliki fokus pada apa yang dipandangnya.
“Kenapa?” tanya Hyuksoo, mengernyitkan dahinya.
“Kenapa kau begitu peduli padaku, Hyuksoo-oppa? Padahal kau tahu perasaanku tertuju pada siapa.” Sooyeon memangku dagunya di atas dekapan kedua lengannya. “Kenapa kau tidak menjauhiku? Tidak membenciku? Malah sekarang kau yang berusaha keras untuk menghiburku. Aku bingung menghadapimu, oppa.”
Hyuksoo menggariskan senyum. “Untuk apa bingung? Aku melakukan semua ini karena aku tulus. Aku tidak ingin seseorang yang berharga untukku, menjadi orang yang tak memiliki semangat hidup. Karena aku ingin dia kembali menjadi dirinya yang ceria dan cerewet seperti biasanya.”
Kini senyum yang sebelumnya hanya berupa garis tipis, berubah menjadi deretan gigi yang diiringi kedua mata tertutup yang melengkung. Sooyeon tersenyum tipis. Ia tak menyangka, dengan prinsip sesederhana itu Hyuksoo berusaha melakukan yang terbaik. Terlebih lagi, itu untuk dirinya.
Dirinya yang tak bisa membalas perasaan Hyuksoo.
Gomawoyo, oppa. Dan.. mianhae.”
Selesai berucap akan ungkapan terima kasih dan maaf dari bibirnya, Sooyeon mulai terisak. Cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya tak bisa ditahannya lagi. Mengalir bebas menuruni pipinya. Menetes di hamparan rumput yang terlihat berwarna hitam.
Hyuksoo bangkit dari posisi berbaringnya. Meringsut mendekati Sooyeon. Menjulurkan kedua tangannya untuk melingkupi Sooyeon dalam dekapannya. Didekapnya erat yeoja yang saat ini masih tetap mengisi hatinya. Yeoja yang akan selalu dilindunginya apa pun yang terjadi.
Gwaenchana, Sooyeon-ah. Gwaenchana…”
***
“Kau pergi ke mana saja kemarin?”
Yeoja yang sebelumnya bersemangat sekaligus penasaran mengapa namja yang diam-diam dicintainya itu memanggilnya, kini seakan mengkerut. Ia tak berani menatap mata namja yang diyakininya pasti tengah memandangnya tajam.
Bahkan untuk melihat kakinya saja ia tak berani.
“Apa kau tak tahu bahwa keluargamu sedang berkabung? Kenapa dengan seenaknya saja kau keluyuran dan pulang malam, huh?! Apa kau tidak mengerti perasaan kakakmu? Perasaan Minyeon!”
Deg.
Selalu, dan selalu. Ulu hatinya terasa sakit saat Eunhwa–namja di depannya–lebih mementingkan kakaknya daripada dirinya. Perutnya mual. Sakit dan mual itu tercampur menjadi satu. Hingga ia tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menghilangkannnya.
“Katakan, kau pergi ke mana dengan Hyuksoo,” tanya Eunhwa datar tanpa intonasi sebuah kalimat tanya.
Sooyeon menggigit bibirnya. Menahan getaran yang diakibatkan rasa ingin meluapkan kesedihannya. Kedua matanya berkaca-kaca, siap untuk mengalirkan liquid bening bernama air mata. Air mata yang sekuat tenaga ditahannya.
“Dia hanya kuajak berjalan-jalan saja, ya ‘kan?”
Sooyeon tak percaya akan pendengarannya. Suara yang baru saja didengarnya adalah suara Hyuksoo. Tak ayal kedua matanya membesar karena keterkejutannya.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Eunhwa sembari memincingkan matanya. Memberikan tatapan menyelidik pada namja yang sekarang tengah menghalangi pandangan Eunhwa akan Sooyeon. Yeoja itu sedikit mundur ketika tangan Hyuksoo menggesernya perlahan ke belakang dari tempatnya semula.
“Tentu saja melindungi orang yang berharga untukku, dari seseorang yang tak pernah menghargai perasaan tulusnya yang selalu ditujukan pada orang itu.”
Eunhwa semakin menajamkan sorotan matanya. Hyuksoo menanggapinya dengan seringai mengejek di bibirnya. Mengakibatkan Eunhwa yang sedari awal memang tengah diliputi amarah, menjadi semakin naik darah.
Buagh!
Oppa!!”
Hyuksoo terjatuh setelah mendapat bogem mentah dari Eunhwa. Di sudut bibirnya terlihat jelas jejak darah yang dihapusnya sesaat setelah ia jatuh. Sooyeon segera menghampiri Hyuksoo dan membantu namja itu untuk duduk. Memeriksa keadaan Hyuksoo hingga melupakan kehadiran Eunhwa yang hanya menyaksikan adegan itu dengan pandangan… cemburu?
Entah, karena sebenarnya Eunhwa juga tidak yakin.
Che! Urus saja terus namjachingu-mu itu. Lebih baik kalian pergi dari sini, kalau kau tidak ingin dia mendapatkan beberapa pukulan lagi dariku.” Eunhwa berucap dengan nada datar. Sooyeon yang mendengarnya membatu.
Tidak. Bukan karena dia tidak terima karena Eunhwa mengatakan bahwa ia adalah kekasih Hyuksoo. Namun karena perkataan Eunhwa yang seakan tak mempersalahkan apa yang diperbuatnya pada Hyuksoo. Berkata dengan entengnya seperti itu seperti memukul orang adalah hal yang biasa.
PLAK!!
Gema terdengar dari koridor kelas yang kosong. Tangan yang digunakan yeoja itu untuk menampar Eunhwa masih mengambang di udara. Air mata telah turun di sepanjang lekuk wajahnya. Ia benar-benar kecewa.
Eunhwa memegang bekas tamparan Sooyeon di pipinya. Sangat keras hingga ia bisa membayangkan warna merah yang pasti tercetak di sana. Dengan gerak lambat ia menolehkan kepalanya untuk menghadapi sosok Sooyeon.
Hyuksoo yang masih terduduk hanya tercengang melihat tindakan yang Sooyeon lakukan. Yeoja itu terlihat tengah mencoba menurunkan tangannya sebelum sebuah tangan menahan gerakannya. Kembali, Hyuksoo harus membelalakkan matanya.
“Berani-beraninya kau menamparku, Sooyeon-ah.”
Hyuksoo menggeretakkan giginya. Tanpa buang-buang waktu, secepat kilat ia berdiri untuk menghampiri sosok Sooyeon dan Eunhwa.
“Karena itu pantas kau dapatkan, oppa.” Nada datar dari ucapan Sooyeon menghentikan langkah Hyuksoo. Namja itu mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sooyeon, oleh karena itu dia tak melanjutkan langkah kakinya. Karena ia percaya pada Sooyeon.
Eunhwa terdiam. Mendengar rangkaian kata yang keluar dari mulut Sooyeon itu membuatnya terpaku. Selain itu, hal yang membuatnya tak bisa membalas perkataan yeoja itu adalah tatapan terluka yang terpancar dari kedua iris Sooyeon. Tatapan kecewa yang sepertinya ditujukan padanya.
Bukan “sepertinya”, tetapi “memang”.
“Aku pergi.”
Sooyeon berbalik untuk menggandeng tangan Hyuksoo. Hyuksoo yang terkejut hanya pasrah ketika Sooyeon membawanya pergi. Eunhwa memandang kepergian Sooyeon dengan pandangan yang tak terlukiskan.
“Ya, aku memang pantas mendapatkannya. Setelah semua rasa sakit yang kuberikan padamu.”
Eunhwa berbalik membelakangi arah perginya Sooyeon dan Hyuksoo. Ia menghela napas berat, layaknya ia mendapatkan beban berat yang harus ditanggungnya.
“Namun rasa sakit ini belum pantas untuk membayar semua rasa sakitmu, Sooyeon-ah.”
***
Aww! Appo!”
“Tahanlah sedikit, oppa.”
Saat ini, yeoja bernama Sooyeon itu tengah mengompres pipi Hyuksoo yang menjadi korban pemukulan Eunhwa beberapa waktu yang lalu. Dengan cekatan ia merawat dan mengobati luka Hyuksoo. Sesekali terucap rintihan dari bibir Hyuksoo ketika lukanya bersinggungan dengan kain basah yang digunakan Sooyeon.
“Sudah selesai, oppa. Bagaimana? Apa lebih baik?” tanya Sooyeon sembari merapikan isi kotak P3K yang diambilnya dari almari UKS.
Hmm… Setidaknya lebih baik daripada sebelumnya,” jawab Hyuksoo yang diakhiri kekehan kecil.
“Syukurlah, kalau begitu.”
Segera setelah menutup kotak P3K itu, Sooyeon berjalan menuju almari UKS untuk mengembalikannya. Diletakkannya kotak P3K itu di rak kedua dari atas. Menatanya agar tidak jatuh dan menutup kembali pintu almari itu. Selesai, dan ia kembali mendampingi Hyuksoo yang duduk di pinggir ranjang UKS.
Gomawo sudah mengobatiku, Sooyeon-ah.”
Cheonman, oppa.”
Tik tok tik tok…
Detikan jam mengisi kekosongan di antara keduanya. Terdiam dalam keheningan asing yang menyelimuti atmosfir ruangan itu. Sooyeon dan Hyuksoo hanya membisu tanpa berusaha merusak kesunyian itu. Beberapa menit bertahan seperti itu, sebelum Hyuksoo memecah kediaman mereka.
“Sooyeon-ah, kau melakukan hal itu… Apa karena kau ingin membelaku?”
Tak perlu penjelasan yang lebih akurat dari perkataan Hyuksoo, karena Sooyeon mengerti dengan pasti apa yang dimaksud Hyuksoo. Alasan mengapa Sooyeon menampar Eunhwa yang jelas-jelas adalah namja yang sangat berarti untuk yeoja itu.
Nee….”
Hyuksoo menghembuskan napasnya pelan. Menghilangkan rasa gugup yang melandanya akan pertanyaan yang akan diajukannya. “Lalu, dengan hal itu apakah aku masih bisa mendapatkan tempat di hatimu?”
Sooyeon membisu. Pikirannya berpikir akan kepada siapa sebenarnya perasaannya itu ditujukan. Kepada Eunhwa? Ataukah… berpaling kepada Hyuksoo?
Tetapi ia tak merasakan apa pun di dekat Hyuksoo…
Berbeda dengan Eunhwa.
“Apa masih ada tempat di hatimu untukku?” tanya Hyuksoo memastikan lagi perasaan Sooyeon.
Namun yang didapatnya adalah sebuah gelengan.
“Entahlah, oppa. Aku… tak tahu.”
Secercah rasa senang menyelimuti perasaan Hyuksoo ketika gelengan itu diikuti dengan pernyataan dari Sooyeon. Tetapi, itu artinya Sooyeon masih belum menetapkan pilihan hatinya.
“Tak apa…”
Sooyeon memandang bingung Hyuksoo yang tersenyum meringis.
“Aku yakin kau akan bisa menentukan pilihanmu, Sooyeon-ah. Aku percaya pada pilihanmu.”
Hyuksoo beranjak dari ranjang itu dengan sedikit efek lompatan yang alhasil membuatnya mengaduh pelan. Menghasilkan pandangan khawatir dari Sooyeon.
Oppa, gwaenchanayo? Jangan bergerak terlalu keras.”
Ani, gwaenchana. Ini bukan apa-apa kok.” Hyuksoo mengibas-ngibaskan tangan kanannya, sedang tangan kirinya digunakan untuk menggaruk kepala belakangnya.
Ah! Aku lupa! Jam segini seharusnya latihan sudah dimulai!” Hyuksoo menepuk dahinya pelan setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat.
Mian, Sooyeon-ah. Aku harus pergi sekarang, kalau tidak pelatih akan mengomel padaku. Kau tidak apa-apa ‘kan pulang sendirian?” tanya Hyuksoo pada Sooyeon.
Sooyeon mengangguk. “Pergilah, oppa. Aku tahu betapa disiplinnya Park-seonsaengnim pada pemainnya.”
Hyuksoo tersenyum.
“Kalau begitu, aku pergi. Sampai jumpa, Sooyeon-ah.”
“Sampai jumpa.”
Dengan salam perpisahan itu, Hyuksoo keluar dari ruang UKS. Ia berlari meninggalkan Sooyeon yang kini hanya sendiri di sana.
Tap tap tap…
Langkah kakinya yang semula cepat karena berlari berangsur melambat hingga ia merubahnya menjadi langkahnya ketika ia berjalan. Sesungguhnya hari ini latihan klub sepak bola sedang libur. Ia berbohong pada Sooyeon. Untuk memberinya alasan agar ia bisa pergi dari sisi yeoja itu.
Untuk sebuah keperluan penting dengan seseorang.
Ia berlari kembali. Mencari-cari orang yang ingin diajaknya bicara empat mata dengannya.
Shin Eunhwa.

 ..::To Be Continue::..

0 Comment:

Posting Komentar