Voice of Death
(Part 2)
By: blue_d3mon25 a.k.a Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mistery, Romance
Warning: Not really has bloody scene but I think I must warn it to you
^^^^***~~#~~***^^^^
“Selamat pagi..”
Tidak ada yang menjawab. Semuanya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Gadis itu hanya melangkah ke bangkunya di belakang. Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Ya, sudah bia-
“Pagi…”
‘Eh??’
“Sudah ku jawab kan?”
“U-uhm.”
Lagi-lagi. Ya, lagi-lagi teman sebangkunya itu yang menjawab salamnya. Ia tak tahu reaksi apa yang harus diperlihatkannya saat ini. Kenapa si anak pendiam, anti-sosial, dan aneh menurut si gadis itu yang harus menjawabnya? Rasanya tak sudi saja.
“Kau itu yang kenapa. Tumben-tumbenan mengajak seseorang bicara. Biasanya juga hanya diam seperti patung,” cibir Eri pada teman sebangkunya alias Shigeru.
“Memangnya kenapa? Apa itu salah?” Tanya Shigeru lagi.
“Pertanyaanmu seperti waktu itu.”
“Jadi, jawabannya juga seperti waktu itu?”
“Ti-tidak. Ah, sudahlah terserah padamu sajalah!” Ucap Eri, tak sanggup meladeni anak laki-laki di sebelahnya. Mengarahkan pandangannya ke objek lain selain Shigeru. Sejenak keheningan tercipta di antara mereka.
“Hei, kau ingin tahu sesuatu ‘kan?” Ucapan Shigeru yang mendadak itu membuat Eri secara tak sadar kembali melihat Shigeru.
“Kau, apa yang kau mau?” Tanya Eri setelah mendengar kata-kata janggal yang keluar dari mulut Shigeru. Mendengar itu Shigeru hanya tersenyum kecil.
“Tapi, aku tak akan mengatakannya sebelum kau tahu alasannya.”
“A-alasan??” Kali ini Eri tetap tak mengerti maksud dari Shigeru.
“Ya, alasan..” Ucapan Shigeru terdengar mengambang.
‘Yang membuatnya mengincarmu,’ tambah Shigeru dalam hati.
“Shigeru…”
Kedua remaja itu menoleh ke asal panggilan itu. Terlihat oleh mereka, Senri, sedang berdiri dengan wajah sedikit memerah. Hm.. Sepertinya kita sudah tahu kemana arah pembicaraan Senri.
“A-Ano.. E-to… Shigeru.. Ma-maukah kau, nanti malam pergi bersamaku?”
Sudah terduga.
“Tidak.” Jawaban yang benar-benar tidak terduga keluar dari mulut Shigeru. Yah… Tapi, melihat Shigeru yang memang ‘dingin’, hal itu menjadi biasa saja.
“Kumohon Shigeru…” Ucap Senri sambil menundukkan badannya. Eri sedikit membulatkan matanya melihat kejadian di depan matanya itu. Senri. Memohon. Pada. Murid. Yang. Anti. Sosial. Seperti. Shigeru?? Dunia sudah gila.
‘Walaupun kau memohon seperti itu dia tidak akan mau. Dasar bodoh,’ batin Eri kejam. Toh, tak ada yang mendengarnya kan?
“Kalau kau ingin aku pergi denganmu malam ini, minta ijinlah pada Eri dulu,” ucap Shigeru tak merasakan tatapan tajam yang mengarah padanya.
‘Hei! Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?’ Batin Eri, dengan tatapan membunuh untuk Shigeru.
“Ke-kenapa aku harus minta ijin padanya? Dia tidak ada urusan apa-apa! Ah, atau jangan-jangan si Putri Kesiangan ini sudah berani-beraninya mengancammu? Jadi aku harus minta ijin dulu padanya, begitu? Heh! Jangan harap aku akan melakukannya!”
‘Arrgh..! Ada apa lagi ini?! Kami tidak ada apa-apa!!’ Elak Eri dalam hati, tapi percuma saja takkan ada yang tahu.
“Kalau kau tidak mau ya sudah, aku tak ada urusan denganmu. Ayo, Eri,” ucap Shigeru sambil memegang pergelangan tangan Eri dan mengajaknya pergi. Ia tak menyadari tatapan Eri yang benar-benar mengeluarkan aura yang sangat mematikan.
“Tu-tunggu Shigeru!!” Ucap Senri berusaha mencegah Shigeru untuk pergi. Tapi, Shigeru malah mempercepat langkah kakinya dan keluar dari kelas, dengan membawa Eri pastinya.
“Eri kauuu…..”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Apa-apaan kau ini!” Ucap Eri sambil memegang pergelangan tangannya yang tadi dipegang atau mungkin lebih tepatnya dicengkeram Shigeru.
“Maaf kalau begitu.”
“Tak ada ampun untukmu, Shigeru!” Terlihat jelas ada kemarahan dalam tiap kata yang diucapkan Eri.
“Haah… Kau ini, susah juga dimintai maaf. Sikapmu terlalu dingin,” ucap Shigeru. Kali ini dia juga masih tetap mengacuhkan tatapan membunuh dari Eri.
“Hentikan tatapan itu. Tidak sinkron dengan wajah cantikmu tahu.” Oh, sepertinya tidak.
“Ap- Hah??” Sebelum Eri membalas ucapan Shigeru dia menyadari kalau Shigeru baru saja mengatakan sesuatu yang membuat wajahnya kini sedikit memerah.
“Wajahmu merah tuh,” ucap Shigeru dengan wajah datar yang menyatakan “aku tidak bertanggung jawab atas apa yang telah kukatakan”.
“Urrrgggh… Diam! Aku mau kembali ke kelas!” Ucap Eri sebelum berpaling dan berjalan menuju kelasnya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Dia benar-benar kesal.
“Hah… Sayang sekali, padahal tadi aku-”
“Hai~”
Tiba-tiba saja terdengar suara entah darimana datangnya, menyusup ke telinga Shigeru. Tapi, Shigeru sama sekali tak terkejut. Sepertinya dia sudah biasa.
“….” Shigeru menatap dingin ke arah puncak pohon didekatnya.
“Tetap tak bisa diajak bercanda ya? Susah juga…”
Dari arah datangnya suara itu muncul siluet berjubah hitam yang tengah menyeringai. Namun, tetap saja pandangan dingin Shigeru belum lepas dari matanya.
“Mau apa kau kesini? Bukankah kemarin sudah kuperingatkan untuk tak melakukan ‘permainan’mu?” Ucap Shigeru dengan nada dinginnya yang khas.
“Heh! Dengar Ouji-sama, dia yang sudah meminta, dan tak mungkin bisa ditarik lagi,” seringaian sosok itu bertambah lebar.
“Che! Kau tak akan bisa.”
“Kita lihat saja. Ou-ji-sa-ma..,” dan sosok itu pun menghilang. Diiringi daun-daun kering yang berjatuhan dan tatapan Shigeru yang tak berubah.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Geez… Apa-apaan dia itu! Dasar bodoh! Aneh! Seenaknya saja menyeretku seperti itu! Tanganku kan jadi sakit!” Rutuk Eri saat melewati koridor sekolahnya.
“Eri, tunggu!”
Beberapa meter didepan Eri, kini Senri dan kedua temannya memandang ke arah Eri dengan tatapan sinis. Terlihat sekali kilat marah di mata Senri. Pandangan matanya tak ubahnya serupa dengan sorot mata iblis.
“Apa?” Intonasi suara yang datar dan nada yang terkesan dingin masih tak bisa dilepaskan begitu saja dari pertanyaan Eri. Dia sudah biasa menghadapi Senri yang suka seenaknya. Menghadapi dengan tatapan dingin dan tak menggubris apa yang dikatakan gadis itu. Tapi, sepertinya kali ini dia terpaksa menanggapi gadis sok itu, mengingat ada beberapa ‘hal’ yang harus ‘diluruskan’.
“Katakan padaku apa yang kau dan Shigeru lakukan tadi!” Masih saja dengan emosi yang jelas-jelas menguar dari aura Senri, dia bertanya atau memerintah Eri lebih tepatnya untuk memberinya beberapa penjelasan. Namun, hal itu hanya dibalas dengan helaan nafas.
“Aku tidak ada apa-apa dengannya, dan kalau kau ingin memilikinya silahkan saja. Aku tak keberatan,” jawab Eri malas. Ya, dia sudah malas meladeni gadis didepannya itu.
“Cih! Dasar pembohong,” ucap gadis di sebelah kanan Senri.
“Uso!” Kali ini gadis di sebelah kiri Senri yang berucap.
“Aku memang berkata yang sebenarnya. Kalian mau percaya atau tidak, itu terserah kalian,” ucap Eri yang kembali meneruskan perjalanannya dan melewati Senri yang masih saja terdiam dengan kedua temannya.
‘Yang aku katakan benar kan?’ Batin Eri. Ia tak merasakan bahwa sesungguhnya dia mulai menunjukkan tanda-tanda itu. Tanda-tanda bahwa ia ‘tertarik’ pada pemuda yang menjadi teman sebangkunya. Shigeru.
“Hmm… Saatnya ‘permainan’ ketiga...”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Aku ada urusan, kalian pulanglah dulu.”
“Perlu kami bantu?”
“Tidak perlu, ini urusan pribadi.”
“Baiklah, kami pulang dulu.”
“Ya!”
Sekarang, dia hanya sendirian di kelas. Umm… Sepertinya tidak juga, karena dua penghuni di bangku paling belakang belum juga kembali dari ‘jalan-jalan’ mereka, atau hanya seorang saja yang ‘jalan-jalan’ dan seorang lagi sedang ke kamar mandi. Itu dibuktikan dengan adanya dua buah tas yang masih terpajang rapi di kursi mereka.
“Kaak... Kaak... Kaak...”
“Gagak… Kebetulan sekali, karena akan ada seseorang yang pergi dari dunia ini, hari ini,” seringaian jahat terpampang di wajah orang itu. Seorang gadis bernama Senri.
Dikeluarkannya sebuah pisau lipat kecil dari tasnya. Ya, pisau lipat kecil. Kenapa sebuah pisau yang termasuk benda tajam dan berbahaya seperti itu bisa lolos begitu saja saat dia masuk ke area sekolah? Sekolahnya yang seharusnya merupakan sekolah yang cukup terkenal di kotanya? Apa karena dia begitu cerdik menyembunyikannya? Atau pemeriksaan dari penjaga yang tak cermat? Atau karena ayahnya salah satu penyumbang dana terbesar di sekolahnya? Tak ada yang tahu, yang jelas kenyataannya saat ini dia tengah memegang benda tajam itu.
“Hari ini adalah hari terakhirmu ada di dunia ini, Eri. Jadi sebaiknya kau persiapkan kata-kata terakhirmu sebelum aku mencabut nyawamu,” kata Senri sambil melihat pisaunya yang sedikit mengkilat karena terpaan sinar matahari dari jendela. Dia menyeringai, tak sabar melihat mayat Eri yang berlumuran darah.
SREEEKK!!
Pintu kelas itu terbuka. Menampakkan sosok gadis yang telah ditunggu-tunggu Senri. Gadis yang menjadi targetnya. Target untuk dibunuhnya. Eri.
Senri mengawasi gerak-gerik Eri. Menyembunyikan pisau yang dibawanya di balik punggungnya. Dia sudah mempersiapkan diri untuk menusuk Eri ketika gadis itu melewatinya. Karena memang Eri harus melewati jalur dimana Senri sedang berdiri saat ini.
‘Sedikit lagi. Ya, sebentar lagi…’
Eri semakin dekat dengannya. Satu meter lagi. Beberapa jengkal lagi. Sedikit lagi.
‘EH??? Ke-kenapa???’
Eri sudah berada tepat didepannya, tapi Senri tak bisa menggerakkan tangannya. Dia tak bisa menggerakkan badannya.
‘A-apa itu??’
Matanya terbelalak. Di depan kelasnya, saat ini tengah berdiri seseorang berjubah hitam dengan tudung yang menaungi area kepalanya. Seseorang itu tersenyum padanya. Senyum yang lebih pantas disebut seringaian setan. Setan dari neraka yang paling dalam.
Tap!
Eri sudah melewatinya. Namun, dia tetap tak bisa bergerak. Dia berusaha untuk berbicara.
‘Ti-tidak… Su-suaraku tidak bisa keluar!’
Nihil…..
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seakan mulutnya telah dikunci rapat. Terkunci rapat seperti dia tak diperbolehkan untuk mengucapkan barang satu huruf saja.
Keringat dingin mengucur deras dari pori-pori keringat tubuhnya. Dia takut. Takut. Sangat takut. Semakin takut, karena seseorang itu telah memunculkan sabit besar di tangannya.
‘E-Eri! Cepat lihat ke depan kelas!’ teriak Senri, dalam hati tentunya. Tapi, orang bodoh pun tahu kalau kau tak akan bisa menyampaikan apa yang kau pikirkan jika tidak bicara kan? Maka, hal itu tak ada gunanya bagi Senri.
Kini, Eri sudah mencapai bangkunya dan membereskan beberapa buku yang masih berserakan di mejanya. Saat semua keperluannya untuk pulang selesai, dia menengok ke arah Senri. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh pada Senri. Sesuatu yang sangat aneh, karena menurutnya sejak dia memasuki kelasnya(setelah dia pergi ke kamar mandi tentunya), Senri sangat diam. Terlalu diam. Seperti bukan Senri yang selalu mengomentarinya dengan kata-katanya yang menusuk hati.
‘Ada apa dengannya? Aneh…’ Batin Eri dengan pandangan menelisik.
“Hei, Senri. Kau kenapa?” Tanya Eri. Yah… Bukannya dia perhatian dengan Senri, tapi dia memang penasaran pada sikap Senri.
‘Tidak, jangan mendekat!’ ucap Senri dalam hati. Sosok berjubah hitam itu mendekat ke arahnya. Sabit di tangannya dimiringkan. Membuat sabit itu segaris dengan lekukan tubuh Senri.
“Senri, kau bisa mendengarku kan?” Tanya Eri. Ia merasa tidak digubris sama sekali. Hei, tapi bukankah dia juga sering tidak menggubris Senri? Yah… tapi dalam hal yang berbeda tentunya.
‘E-Eri, tolong! Tolong aku!’ Pinta Senri di dalam hatinya.
“Kau harus pergi Senri…”
Mata sabit itu mengarah padanya dengan gerakan lambat. Matanya terbelalak lebar. Sangat lebar. Dari mulutnya keluar darah. Tentu saja dari luka di perut sampingnya juga muncul aliran cairan merah tersebut.
“A-apa..?” Eri terkejut melihat darah yang tiba-tiba muncul begitu saja dari perut Senri. Dan tiba-tiba saja ia melihat sosok berjubah hitam yang dilihat Senri. Mau tak mau ia terbelalak melihat sosok misterius itu.
“Ukh..kh.. T-tolong..”
ZRAAAAKK!!!!
“Sudah cukup.”
Sekali lagi pintu kelas itu terbuka. Sosok pembuka pintu itu menampakkan dirinya. Ia, Takahashi Shigeru.
“Semua ‘permainan’mu sudah kau mainkan kan?” Tanya Shigeru. Tak perlu mengira-ngira pada siapa pertanyaan itu ditujukan. Karena Eri sudah tahu kalau itu diperuntukkan bagi sosok berjubah hitam yang tengah mencabut sabitnya dari tubuh Senri.
“Lalu apa yang akan kau lakukan Ouji-sama? Sepertinya kau tak melakukan apapun untuk mencegahku kan?” Sosok itu bertanya pada orang yang dipanggilnya ‘Pangeran’.
“Jujur, aku memang tak terlalu peduli pada ketiga orang itu. Karena aku tahu kalau mereka sudah memasuki ‘waktu’nya, jadi aku tak ada niat untuk menghalangimu,” ucap Shigeru. Eri hanya menatap mereka berdua dalam diam.
Kaku. Badannya kaku untuk bergerak. Ia tahu jika ia bisa bergerak saat itu, lalu menolong Senri yang tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tapi, ia tak tahu apa yang terjadi padanya. Sepertinya ia hanya tertarik pada pembicaraan Shigeru dan sosok itu daripada menolong Senri.
Egois. Benar. Ia merasa bahwa kali ini dirinya benar-benar egois, sangat egois. Ia merasa benar jika membiarkan Senri yang menurutnya sebentar lagi akan kehilangan jiwanya untuk menuju ke alam baka. Ah ya, ini bukan sepenuhnya keputusan darinya untuk tak menolong Senri, tapi ini tentang kata-kata Shigeru tadi. Jadi, tak semua yang ia lakukan adalah salahnya.
‘Ini sudah waktumu untuk pergi. Ya, aku tak akan menginterupsi. Itu benar, aku akan membiarkanmu, Senri.’ Kalimat itulah yang diulang-ulangnya di dalam kepalanya. Ia yakin bahwa keputusannya benar. Eri yakin jika keputusannya untuk tak menolong Senri memang benar.
“Shi-geru… E-ri… T-tolong ak-ku…”
Bruk!
Jasad itu kini hanya berupa raga tak bernyawa. Jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Senri, telah tiada. Ia tak lagi eksis di dunia ini. Keberadaannya telah terhapus oleh sebuah takdir. Takdir bernama kematian.
“Jadi, bolehkah aku memajukan ‘waktu’nya?”
“Sudah ku bilang kalau kau tak boleh melanjutkan ‘permainan’mu ke jenjang ini. Dia masih punya ‘waktu’.”
“Tapi, bukankah kau menginginkannya sebagai ‘pendamping’mu?”
“Aku tidak ingin mengambil ‘waktu’nya. Aku akan menunggu hingga ‘waktu’ yang dimilikinya telah habis.”
“Sebegitunyakah perasaanmu pada gadis itu?”
“Kalau ya, memang kenapa?”
Pembicaraan Shigeru semakin terasa di luar nalar. Apa itu ‘waktu’? ‘Permainan’ apa? ‘Pendamping’? Siapa?
Pertanyaan itu berputar di kepala Eri. Tak mengerti. Jalan pikiran Shigeru tak dapat ia mengerti. Terlalu rumit. Terlalu rumit hingga ia tak bisa mengikuti alur dari pembicaraan keduanya.
“Kalau begitu…”
SRET!
“Bisakah kau melindunginya?”
“!!!!!”
Sosok hitam itu berada di belakang Eri. Sabit besarnya telah menjadi sebuah pisau yang sangat tajam. Pisau itu diarahkannya ke leher Eri. Menggoreskan ujung pisau itu hingga menimbulkan tetesan cairan merah pekat. Darah.
“Jangan kau berani melukainya lebih dalam. Atau aku akan membunuhmu,” ucap Shigeru dingin dan penuh dengan nada ancaman.
“Oh? Begitukah?” Sosok itu menjauhkan pisaunya dari leher Eri. Menjilat darah yang ada di ujung benda tajam itu.
“Hm.. Manis..” Ia merasakan cairan merah yang telah melewati kerongkongannya. Eri melihat kejadian itu dengan wajah horor.
“Sayangnya, kenapa Ouji-sama bisa jatuh pada seseorang yang sudah ter’kontrak’ denganku ya?”
‘Kontrak?’ Batin Eri. Ia mengerti jika orang yang sedari tadi dibicarakan Shigeru adalah dirinya. Tapi ia tak tahu. Apa ‘kontrak’ yang sudah dibuatnya dengan sosok di belakangnya ini?
“Itu bukan sebuah ‘kontrak’ jika yang meminta tidak sadar saat mengatakannya,” jelas Shigeru.
“Tapi bagiku itu sudah seperti ‘kontrak’ Pangeran Neraka atau bisa ku bilang, Seiji-sama.”
‘Seiji? Siapa? Mu-mungkinkah…’ Eri hanya bisa mengira-ngira. Tapi, instingnya merasa kalau Seiji adalah Shigeru. Sang Pangeran dari Neraka.
“Hmph! Nama itu tidak ku gunakan di sini, Kougai.” Shigeru mendengus.
“Jadi, bisakah kau memberikan Eri padaku?” Tanya Shigeru.
Slash!
“Shi-Shigeru?”
“Kau baik-baik saja?”
“U-Umh…”
“Cepat sekali, ternyata kecepatanmu sama sekali tak menurun walaupun ada di dunia manusia.”
Sekarang Eri sudah ada dipelukan Shigeru. Sejak kapan Eri terlepas dari Kougai? Mungkin saja saat ”slash” yang tadi, ya kan? Sedetik, bukan, kurang dari satu detik Eri sudah berhasil direbut Shigeru dari tangan Kougai. Melebihi kecepatan cahaya yang hanya berkisar 4 detik. Seandainya hal ini dibukukan, maka dia sudah jadi manusia tercepat di dunia. Ah, bukan, dia bukan manusia. Dia memanglah bukan seorang manusia.
“Jaa, sekarang apa yang ingin kau lakukan, Ouji-sama? Menghukumku? Atau biarkan aku melakukan apa yang sudah menjadi tugasku? Yaitu…” Ucapannya menggantung. Seperti menantang orang berkedudukan tinggi di dunianya itu.
“Membunuhnya?”
“Jangan harap aku akan menyetujuinya.” Jawab Shigeru datar. Lagi-lagi hanya ekspresi itu yang diperlihatkan Shigeru. Ekspresi kesukaannya saat menjawab hal-hal yang sensitif, seperti saat ini.
“Walaupun kau menjadi seorang petinggi di kerajaan, aku takkan menyetujuinya…” Mata Shigeru menajam.
“SEDIKITPUN.”
Kata-kata penuh penekanan itu meluncur seiring Shigeru melesat ke belakang Kougai. Mengeluarkan kukunya yang panjang dan tajam. Menahan Kougai untuk tak bergerak dengan mendekatkan jari-jari berujung tajamnya di leher Kougai.
“Jangan bergerak, atau dengan mudahnya aku bisa melukaimu,” ancam Shigeru.
“Heh, kau pikir hanya dengan hal ini aku bisa menyerah? Jangan bercanda, Ouji-sama.” Tubuh Kougai perlahan menghilang bagai kabut. Meninggalkan Shigeru yang tengah melukiskan mimik datar di wajahnya.
“Shige-”
“Jangan bergerak dari sana, Eri. Aku sudah memasang kekkai agar dia tak bisa mendekatimu. Jadi, tetaplah diam di sana sementara aku mencari keberadaannya sekarang,” ucap Shigeru memotong perkataan Eri. Sedangkan Eri hanya menuruti ucapan sang Pangeran Neraka. Lebih baik dia menurut, daripada nyawanya dalam bahaya karena satu gerakan kecil saja.
“B-baiklah, Shigeru.”
“Saa, kemana kau pergi, Kougai?”
“Di sini~”
Dia ada di sana. Berdiri dengan kaki melekat di langit-langit kelas. Memperlihatkan seolah langit-langit itu adalah tanah yang biasa kita pijak. Bisa terlihat oleh Eri bahwa orang berjubah hitam ini memang bukanlah salah satu jenis dari Ras-nya, manusia. Memang mirip, tapi bukan.
Seringaian terbentuk dari mulut Kougai. “Ouji-sama, aku tahu kalau kau tidak bisa membunuhku kan?” Lebar, lebih lebar lagi.
“Che! Walaupun untuk membunuhmu aku harus melepaskan kedudukanku, aku tak peduli.” Asap putih muncul dari telapak tangan Shigeru, membentuk sebuah Katana. “Meskipun kau juga kakakku sendiri.”
‘Di-dia.. kakak Shigeru??’
“Bukankah kau tidak ingin menyebutku kakak lagi? Otouto?”
“Cih! Aku juga tak ingin disebut adik olehmu, dan kau tahu? Mulutku sebenarnya jijik memanggilmu kakak,” ucapan Shigeru yang seperti itu setidaknya membuat Kougai sedih. Tapi kenyataannya? Hanya senyuman mengejek yang terbentuk di wajah Kougai.
“Hmph, sifat burukmu itu seharusnya kau hilangkan saja,” bukan alunan nada datar yang keluar dari mulut Kougai, melainkan nada ceria tak tulus lah yang keluar dengan lancarnya.
“Heh, jika itu terjadi aku tak akan bisa membunuhmu, Kougai.” Mata Katana itu mengkilat, menunjukkan seberapa tajam Katana itu bisa menggores kulitmu. Seberapa sakit rasanya kulitmu saat tersentuh logam tajam itu, sehingga darah bisa leluasa keluar dari pipa pengalir darah di bawah kulitmu.
SYAAT!
Katana telah diayunkan.
“Hajimemashou ka? Kougai?”
“Douzo, ore no Otouto.”
“Che! Jangan panggil aku adikmu.”
“Hontou ka? Walaupun kau bilang begitu, kita ini tetap saudara, Seiji. Atau kau mau aku menyebutkan title-mu sebagai Jigoku no Ouji-sama?”
“Aku lebih tak ingin disebut seperti itu.”
Syat!
“Kau tahu?”
Pertarungan antar saudara telah dimulai. Sang adik menyerang terlebih dahulu dengan Katana miliknya, melaju ke arah sang kakak yang berdiri terpaut beberapa meter darinya. Tak ada gerakan yang berarti dari sang kakak, ia hanya menyambut serangan adiknya dengan tak melakukan apa-apa. Seakan ia sedang menunggu kematiannya dalam serangan itu. Seperti menyerahkan hidupnya untuk dihabisi oleh adiknya sendiri. Adik kandungnya sendiri. Saat itu juga.
“Hey, Seiji. Tidakkah kau tahu bahwa kakakmu ini membawa kabar dari Okaa-sama?” Shigeru berhenti. Serangan itu berhenti. Berhenti saat sejengkal lagi ujung Katana-nya akan menyentuh permukaan kulit Kougai.
Shigeru menegakkan badannya dari posisi menyerang. Berniat meminta penjelasan dari sang kakak. “Cepat katakan apa maksudmu tadi.” Kalimat perintah keluar dari bibirnya. Sebuah perintah yang harus dituruti.
“Baik, akan kukatakan.”
“Cepat katakan sekarang juga.” Shigeru menggerakkan Katana-nya, ia benci menunggu.
“Okaa-sama telah menentukan pilihan untukmu,” ucap Kougai. Setelah kalimat pembuka itu keluar, Shigeru sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka.
“Aku tidak setuju.”
“Aku belum selesai, Otouto.”
“Che!” Shigeru berdecak kesal. Apa kakaknya ini sedang ingin main-main dengannya?
“Dia menyerahkan semuanya padamu, dan sejujurnya aku cukup kaget saat Okaa-sama juga setuju dengan keputusanmu.” Kougai menyengir. Oh, Seiji benar-benar benci cengiran kakaknya itu. Itu sama saja ia sudah dibohongi habis-habisan. Menyebalkan.
“Katakan kalau yang kau katakan itu benar.” Lagi-lagi sang adik menuntut jawaban dari kakaknya. Hey, waspada boleh saja kan?
“Kau masih curiga padaku? Itu semua benar, aku jamin!”
“Ya ya, terserah padamu. Lalu, kenapa kau mengincar Eri?” Satu lagi pertanyaan meluncur dari mulut Shigeru. Jujur, ia masih bingung dengan kenyataan yang baru saja terungkap.
“Oh.. Kau ingin penjelasan itu? Mudah saja…” Kalimat menggantung itu. Menyebalkan. Membuat Shigeru semakin penasaran.
“Karena, kebetulan saja ketiga targetku ada dekat dengan ‘calon’mu. Aku hanya ingin ‘sedikit’ mengerjai adikku tersayang.”
Twitch!
“Kougai, apa kau ingin mati?”
“Eh?”
“Cepat pergi kalau kau tidak ingin benar-benar mati ditanganku.” Tatapan mata tajam itu. Oh tidak, jika adiknya marah seperti itu… Bisa dipastikan ia akan segera pergi ke Surga. Bukan, bukan Surga tetangga Neraka rumahnya, tapi Surga kesakitan. Ia masih ingat beberapa tahun yang lalu ia harus mendekam di kamarnya untuk menyembuhkan lukanya. Ah, memori kelam yang menyedihkan.
“Aaa… Kalau begitu aku pergi dulu! J-jaa mata ne!”
Syat!
Terlambat, sosok Kougai telah menghilang. Nyaris saja Katana itu mengenainya.
“Dasar kurang kerjaan.”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Emh.. Shigeru, apa benar yang dikatakan kakakmu tadi?” Eri memulai pembicaraan diantara mereka setelah Shigeru melepaskan Kekkai yang melindunginya. Sebenarnya dia cukup shock akan apa yang ia dengar.
“Hm? Itu semua memang benar,” ucap Shigeru datar.
“O-oh.. Begitu ya?” Muka Eri mulai memerah. Siapa yang tidak malu kalau suatu hari ia akan menjadi ‘calon’ seorang Pangeran?
“Yah.. Mungkin waktuku untuk tinggal di dunia ini sudah cukup. Suatu hari aku akan menemuimu lagi dan ‘menjemputmu’.” Pakaian Shigeru berubah, bukan seragam dari sekolah Eri lagi melainkan pakaian kebesaran kerajaan berwarna hitam.
“Kau.. Mau pergi?” Tanya Eri. Shigeru memandang Eri dengan senyuman lembut.
“Ya, aku akan pergi. Tapi, untuk membantumu menunggu ‘waktu’mu, aku akan membuat kau lupa akan diriku.” Mata Eri membulat. Sejujurnya, ia tak ingin melupakan Shigeru. Sungguh, ia tak ingin melupakan Shi- bukan, Seiji.
“Baiklah,” ujar Eri dengan kesungguhan yang terpancar dari kedua matanya. Seiji tersenyum, dia juga akan menunggu. Menunggu untuk bertemu lagi dengan Eri.
“Aku pergi. Sayonara, Eri.” Seiji menghilang. Tubuhnya menjadi helaian bulu-bulu hitam. Menciptakan sebuah ilusi. Ilusi untuk Eri.
Mata itu memburam. Efek dari ilusi itu semakin terasa. Sedikit demi sedikit ia kehilangan kesadarannya.
Bruk!
Dan semua menjadi gelap.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Eri!”
“Hai, teman-teman!”
“Wah.. kau sudah mulai rajin ya?”
“Hm? Memang kenapa kalau aku berangkat pagi?”
“Itu artinya, Eri kita yang dulu sudah berubah!”
“Memangnya tidak boleh?!”
“Jangan cemberut, dong.”
“Ya ya, aku tidak cemberut kok!”
Ruang kelas yang sepi itu, mulai dihiasi dengan tawa. Tawa kebahagiaan yang menyenangkan. Membawa setiap orang untuk menikmati kebersamaan itu.
“Tetaplah seperti itu, Eri. Hingga kita bertemu lagi.”
Siluet di dahan pohon itu menghilang, meninggalkan helaian bulu gagak berwarna hitam. Bukti bahwa sosok siluet itu selalu ada disana. Menjaga dan mengawasi seseorang yang berarti untuknya.
“…..”
“Ada apa Eri?”
“Ah, tidak. Bukan apa-apa, ayo kita lanjutkan piketnya!”
“Ya!”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Waktu akan selalu berputar. Berputar hingga batasnya. Akhirnya. Perhentian terakhirnya. Tempat perhentian untuk menuju kehidupan selanjutnya. Kehidupan yang berbeda. Abadi.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
~OWARI~
Author’s Note:
Tamat! Akhirnya tamat! Fyuh! Butuh perjuangan keras untuk mencapai akhir cerita. Jujur, cerita ini awalnya hanya 4 halaman bolak-balik dari buku tulis saya. Dan entah kenapa, jadi panjang seperti ini… =.=a
Dan sebenarnya, akhir ceritanya bukan seperti ini *nunjuk cerita di atas*. BEDA JAUH!! Haduuh.. Saya sebagai Author-nya saja bingung, kenapa bisa melenceng jauh dari yang asli? *tanya kenapa?* Yang asli sebenarnya tidak dibumbui Romance. Haah.. Saya bingung. Ternyata satu pilot bisa dikembangkan jadi seperti ini. Well… Sepertinya ini hanya jadi curhatan Author saja. So, tunggu karya Author yang lain ya! Dan soal Woderful Magic, entah mau saya lanjutkan atau tidak. Kalau ada yang comment ingin dilanjutkan, saya usahakan akan saya lanjutkan. Berhubung teks aslinya hilang, mungkin akan beda jauh cerita dan penulisannya *cerita itu saya buat 3 tahun yang lalu!*.
Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih dan minta maaf. Maaf karena baru update Part 2-nya sekarang m(_ _)m. Hontou ni gomennasai!!!
Dan, ARIGATOU GOZAIMASU untuk yang sudah membaca Voice of Death. Then, Bye! See you in the next story!!!
Endingnya jadi beda banget ya mbak!
BalasHapusTapi tetep bagus kok
Hehehe...
BalasHapusNggak tau lah, kok bisa jadi kayak gini endingnya.. ^^a
Bener-bener bingung milih endingnya..
Akhirnya malah bikin ending misterius bin nggantung kayak gini.. =="
Tapi saia pengen readers berimajinasi sendiri~
Hohoho~ *rajamed*