Sound of Wind
####***--@--***####
Summary:
[Long Oneshot]
Apa kalian pernah mendengar “suara” angin? Umm… Mungkin hal ini terdengar aneh dan janggal. Tapi apakah kalian tahu? Jujur saja aku bisa mendengarnya. Aneh kan? Ya, aku tahu. Yah.. tapi itu semua memang benar. Aku bisa merasakannya, dan mendengarnya. Angin… Pengisi hariku yang monoton dan sepi…
###**~**###
By: blue_d3mon25 a.k.a Anita Kazahana
Rate: T (maybe?)
Genre: Fantasy, Romance, Hurt/Comfort
Warning: A kiss(?), Misstypo(s)
###**~**###
“Mayu, nanti sore jalan-jalan yuk!”
“Maaf Maki. Aku tidak bisa, ada urusan penting.”
“Urusan apa?”
“Hi-mi-tsu.”
“Yah.. tidak asyik! Ya sudah, awas nanti kalau kau sampai protes!”
“Tidak akan….”
“Oke, sampai ketemu besok ya! Jaa mata ashita!”
“Ha’i! Jaa ne!”
Sosok gadis ceria itu mulai menjauh dariku. Namanya Akihiko Maki, dia adalah teman baikku di sekolah ini. Mungkin, satu-satunya temanku. Oh, iya, aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Sakuraki Mayu, anak kelas 3-2 di SMP Natsukaze. Sejak kelas 1 SD, aku memang tak bisa berteman. Tunggu dulu! Bukannya aku tidak bisa, hanya saja aku ini tergolong anak yang pendiam. Jadi, tak ada yang menawariku untuk berteman. Haha, sampai aku menginjak bangku SMP pun, aku belum punya teman yang akrab denganku. Akan tetapi, ketika aku berada di kelas 2 SMP, seorang anak perempuan mengajakku untuk berteman. Dia-lah Maki, dan pada akhirnya kami berdua berteman hingga saat ini. Hebat ya?
“Maaf ya Maki, sebenarnya setelah ini aku akan ke bukit Yamanami, hehe.. maaf ya sudah menolak ajakanmu.”
###**~**###
“Ternyata di sini memang menyenangkan..”
Angin sore berhembus lembut. Menerbangkan dedaunan yang telah gugur pada waktunya. Saat ini memang sudah memasuki musim gugur, udara pun sedikit dingin. Aku memakai syal biru hasil rajutan Okaa-san. Hangat.
Srak!
“Siapa itu?” tanyaku keheranan. Setelah keheningan yang sempat mendera disekitarku, aku mendengar sebuah suara. Ya, suara yang membuatku menolehkan kepala ke arah yang kemungkinan adalah asal dari suara itu.
“Hai, maaf, aku mengagetkanmu ya?” tanya si pemilik suara itu. Dia seorang anak laki-laki, mungkin seumuran denganku. Ia muncul dari balik pohon yang terletak di belakangku. Aku mengawasi tiap pergerakannya hingga ia berhenti di sebelahku. Masih berdiri, dan… melihat matahari senja.
“Euh.. tidak juga,” jawabku setelah terdiam cukup lama.
“Kau.. biasa ke sini ya?” tanyanya. Sepertinya ia ingin memulai percakapan di antara kami berdua.
“Yah.. bisa dibilang begitu. Tiap hari aku tidak pernah absen untuk ke sini. Kecuali jika aku sedang pergi,” aku menjawab pertanyaan darinya seadanya. Kutambahkan sedikit senyuman setelah kalimatku selesai.
“Hmm.. Begitu ya? Kalau aku… ini pertama kalinya aku ke sini,” ucapnya. Ia mulai mengambil posisi untuk duduk di sebelahku.
“Benarkah?”
“Ya, itu benar. Lalu, biasanya kau melakukan apa?” Ia bertanya lagi. Wajar saja untuk seseorang yang baru mengunjungi suatu tempat. Pasti ingin tahu seluk beluk dari tempat itu dahulu. Apalagi jika bertemu seseorang yang sudah sering pergi ke tempat itu, akan lebih mudah mengetahuinya.
“Aku... hanya menikmati pemandangan di sini, dan terkadang juga aku berbicara dengan angin,” jawabku sekenanya. Aku tahu setelah ini dia pasti bertanya tentang kebiasaanku yang terakhir.
“Berbicara… dengan angin?” Tepat. Dugaanku tepat bukan?
“Yap, mungkin terdengar aneh ya? Tapi itu semua benar,” jawabku jujur. Hey, aku bersungguh-sungguh.
“Tidak, itu tidak aneh.” Jawabannya membuat kedua mataku terbelalak. Baru kali ini aku bertemu orang semacam dia.
“Ke-kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyaku meminta penjelasan.
“Karena, setiap orang pasti memiliki kelebihan masing-masing. Terkadang memang kelebihan itu melebihi akal sehat dan tidak dapat dipercaya, tapi kenyataannya memang itulah kelebihan yang dimilikinya.”
Ternganga. Sekali lagi aku dibuatnya ternganga akan pernyataannya barusan. Anak ini… Dia sama sekali tak menganggap hal itu aneh?
“Ada apa?”
“A-ah.. tidak, tidak ada apa-apa,” ujarku setelah sempat terdiam. Kupalingkan wajahku. Malu. Ya, itu yang kurasakan sekarang. Bagaimana bisa aku terpaku sekaligus terpesona akan perkataannya? Entah, aku sendiri tak tahu.
“Oh ya, kita belum berkenalan kan? Hajimemashite, Mizugawa Hito desu. Anata wa?” ucapnya mengajak berkenalan.
“Sakuraki Mayu desu. Yoroshiku.”
“Jadi, boleh kan kalau aku memanggilmu ‘Mayu’? Panggil saja aku Hito,” ucapnya setelah aku memperkenalkan diri.
“Boleh saja, Hito,” kataku mengiyakan.
“Arigatou, Mayu,” ucapnya sembari menyunggingkan senyum. Bisa kurasakan wajahku mendadak menjadi agak panas.
“Do-Douitashimashite,” jawabku agak tergagap. Ada apa denganku?
“Mayu.”
“Ha-Ha’i?”
“Apa kau percaya pada legenda tentang angin yang menjadi manusia, karena jatuh cinta pada seorang manusia?” tanyanya tiba-tiba.
“Umm... antara percaya atau tidak,” jawabku. Aku memang pernah mendengar legenda itu. Legenda yang menyedihkan. Obaa-san yang menceritakannya padaku. Cinta yang tak bisa bersatu.
“Kalau legenda itu benar-benar ada, bagaimana menurutmu?” tanyanya lagi.
“Benar-benar ada? Maksudmu?” Aku mulai tak mengerti ke mana arah pembicaraan kami.
“Err.. Bukan apa-apa. Aku pergi dulu ya, Mayu. Besok kita bertemu lagi, Jaa mata ashita!” Sosok Hito telah pergi dari bukit itu. Sedangkan aku masih membeku di tempat. Mencoba memikirkan detail setiap ucapan Hito.
‘Anak itu... Hito. Maunya apa?’
Aku menyambar tasku yang ada di sampingku. Beranjak berdiri dan membersihkan rok milikku. Menuruni bukit untuk pulang ke rumah. Dan.. mungkin akan sedikit memikirkan kata-kata Hito.
###**~**###
“Mayu~”
“Hai, Maki!”
Maki, sahabat baikku menghampiriku. Saat ini aku sedang berada di taman belakang sekolah. Mumpung sedang istirahat, aku memanfaatkan waktuku untuk membaca buku. Lagipula kelasku tidak jauh dari taman.
“Bagaimana kemarin?” tanyaku sembari membuat batasan halaman di buku yang kubaca, kemudian menutup buku itu. Kurasa aku akan melanjutkan membaca di rumah.
“Kemarin?” tanya Maki. Ia mengambil tempat duduk di sebelahku. Wajahnya terlihat sumringah sebelum menceritakan hal mengasyikkan yang dilakukannya kemarin.
“Kemarin ya? Umm.. Kemarin itu asyik sekali!! Sirkus-nya benar-benar hebat!!!” ucapnya berbinar-binar. Sepertinya ia senang sekali. Ah ya, kemarin adalah pembukaan sebuah sirkus di kota kami, dan sebenarnya Maki ingin mengajakku ke sana, tapi aku menolaknya.
“Seperti apa?”
“Humm… Ada akrobat udara, badut, atraksi api, pokoknya hebat! Sayang sekali kau tidak ikut, Mayu….”
Aku bisa melihat raut wajah Maki menjadi sedih dan menyesal. Aku yang tak tega, mencoba menghiburnya.
“Hey, sirkus itu bukan hanya kemarin ‘kan? Masih ada waktu satu bulan lagi,” ucapku. Maki mulai tersenyum kembali.
“Iya ya! Lain kali kita ke sana lagi yuk!”
“Ya!” Syukurlah dia bisa bersemangat lagi. Sebenarnya saat itu aku merasa tak enak pada Maki, tapi apa boleh buat.
“Oh ya, Mayu. Kemarin kau ada urusan apa??” tanya Maki penasaran.
“Hm? Apa ya… hi-mi-tsu~”
“Yah... kau itu bagaimana sih? Tidak mau mengatakannya pada teman sendiri,” Maki mengerucutkan bibirnya setelah mendengar ucapanku.
“Hehe... tapi itu memang rahasia, Maki,” ucapku sambil tertawa kecil. Ia masih cemberut.
“Ya sudah, tapi lain kali kau harus menceritakannya padaku ya!” Maki tersenyum, menunjukkan jari kelingking tangan kanannya. Menunggu jari kelingking tangan kananku menaut di sana.
“Janji!” Dan kedua kelingking itu pun bertaut.
###**~**###
Aku menidurkan tubuhku di atas kasur. Hari ini sungguh melelahkan. Aku menghela nafas, menaruh punggung tangan kananku di dahi. Bisa kurasakan suhu tubuhku yang agak panas. Mungkin salahku juga yang suka berdiam diri di bukit sepulang sekolah. Tapi aku menyukainya, sangat suka. Aku bisa mendengar berbagai suara.
“Kaze….”
Aku menggumam kecil. Entah mengapa setiap mendengarkan suara angin, aku selalu teringat akan anak itu. Hito.
“Hito….”
Hanya nama itu yang terlintas. Aku tidak tahu. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu. Aku terus-terusan menggumamkan namanya hingga mataku tertutup. Terbawa ke alam mimpi. Tidur.
Normal POV
“Konbanwa, Hime-sama….”
Sebuah siluet hitam memasuki kamar Mayu. Ia meletakkan tangannya di dahi Mayu. Mencoba mengerahkan kekuatannya untuk menyembuhkan sakit yang tak seberapa itu.
“Cepat sembuh ya, Hime-sama. Oyasuminasai….”
Dan siluet itu menghilang begitu saja di tengah hembusan angin yang menutup jendela kecil yang setengah terbuka. Seakan tidak ingin mengganggu tidur sang “Putri”.
###**~**###
Angin bertiup mengikuti iramanya. Mengalun merdu. Lembut. Hembusan lembut sang angin musim gugur. Daun-daun mulai berguguran, membentuk tumpukan jingga di bawah kokohnya pohon Momiji.
Kali ini gadis itu masih menunggu. Menunggu seseorang yang entah ia juga tak tahu. Ia tak yakin. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? Menunggu seseorang yang baru beberapa hari yang lalu bertemu dengannya? Di tempat ini? Di tempat ia biasa menunggu datangnya senja?
“Haaahh… Aku tidak yakin dia akan datang kali ini,” gumamnya kecewa. Ia sudah menunggu selama setengah jam dan seseorang yang dinantikannya tidak juga datang. Sudah dua hari dia menunggu sosok itu, dan ini hari ketiganya. Dia sudah lelah menunggu.
“Ma-Mayu?”
Suara itu. Ya. Dia, orang yang ditunggu gadis bernama Mayu itu. Gadis itu tidak lupa akan suara orang itu. Suaranya, terdengar sangat familiar.
“Ah! Hito!”
“Ka-kau di sini? Apa… kau menungguku?” tanya Hito ragu.
Mayu menatap pemuda di hadapannya dengan penuh tanda tanya. Mengapa dia bisa tahu? Apa selama ini Hito selalu bersembunyi ketika Mayu ada di sana?
“Mochiron! Aku selalu ke sini, Hito. Kemarin, dan dua hari yang lalu aku menunggumu di sini, tapi kau tidak datang juga,” jawab Mayu. Sejenak matanya memandang Hito sayu.
“Go-gomen… maafkan aku. A-aku tidak tahu, Mayu.” Raut wajah penyesalan terbingkai di wajah Hito. Ia tahu, ia tidak boleh membuat gadis di depannya kecewa, sedih, maupun… menangis. Ia tidak akan pernah. Tidak akan melakukannya lagi. Seperti dulu, saat….
“Daijoubu. Aku tahu mungkin kau sibuk belakangan ini, jadi tidak sempat ke sini,” ucap Mayu dengan senyum lebar di wajahnya.
“Mayu…” Hito menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu kalau Mayu benar-benar perhatian padanya. Dia memang tidak berubah.
“Ya??” ucap Mayu yang mendengar gumaman Hito tadi.
“I-iie... Nandemonai,” ucap Hito ketika tahu bahwa Mayu mendengar ia tengah menggumamkan nama gadis itu.
“Ah... kalau begitu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Boleh ‘kan, Hito?” Beberapa saat kemudian Mayu angkat suara. Ia menatap lurus ke arah Hito, seakan hal yang akan dikatakannya adalah hal yang sangat serius.
“A-apa yang mau kau tanyakan?” jawab sekaligus tanya Hito. Jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan Mayu. Semoga yang ia bayangkan saat ini tidak benar. Jika iya, dia…
“Apa kau bisa menceritakan… legenda itu padaku? Aku sudah lama sekali tidak mendengar cerita itu lagi. Sejak Obaa-san… meninggal,” pinta Mayu dengan wajah berharap, meskipun sedikit tersirat kesedihan di sana.
“Ha’i... Wakatta.…” Hito menghembuskan nafas berat sebelum memulai legenda itu.
Legenda yang menyedihkan….
***~~*~*~~***
The Legend begins…
Kelopak bunga Sakura kembali berguguran. Menghiasi bumi dengan warna merah muda lembutnya. Diterbangkan oleh semilir angin musim semi. Begitu indah…
“Hime-sama! Jangan kabur lagi!”
“Tidak mau!”
Gadis ber-yukata itu berlari. Menghindari kejaran dayang-dayang istana yang sedang mengejarnya. Ia hanya ingin bermain keluar sebentar saja, kenapa tidak boleh?
Setelah beberapa menit berkejar-kejaran, dan dayang-dayang itu masih berusaha mengejarnya, gadis itu mencari akal. Ia akan sembunyi. Ya, tepat di rerimbunan di dekatnya, beruntunglah jaraknya dengan kumpulan dayang itu jauh, jadi ia bisa bersembunyi secepat mungkin tanpa diketahui mereka.
“Baiklah… Ayo sembunyi!” pekiknya tertahan dan segera bersembunyi di balik rerimbunan itu. Mencoba menyamarkan dirinya dengan sebaik-baiknya di balik tanaman-tanaman lebat itu.
Perlahan namun pasti dayang-dayang istana itu mendekat ke tempat persembunyian sang gadis. Mengedarkan pandangan mencoba mencari keberadaan gadis itu di sekitar mereka.
“Ke mana perginya Hime-sama?” ucap salah satu dari mereka.
“Iya ya? Tapi sepertinya tadi aku melihat beliau lewat ke arah sini,” timpal dayang yang lain.
“Kalau begitu ayo kita cari ke sana,” ucap seorang dayang sembari menunjuk ke depan, arah yang mungkin dilewati oleh si gadis.
Kumpulan dayang-dayang istana itu kembali meneruskan perjalanan mereka untuk mencari si gadis, tak sadar bahwa sebenarnya gadis itu tepat berada di dekat mereka. Di balik rerimbunan tanaman.
“Huft... Untunglah mereka tidak tahu,” bisik gadis itu sembari menghela nafas dan mengelus dadanya. Ia bersyukur sekali dayang-dayang itu tidak mengetahui tempat persembunyiannya. Jika saja mereka tahu, bisa-bisa ia diseret kembali ke istana yang membosankan itu.
Sebenarnya siapakah gadis itu?
“Haah... jadi putri itu tidak asyik! Aku jadi tidak bebas bermain ke mana saja. Setiap hari selalu dikurung di istana,” keluhnya sambil bersandar di sebuah pohon di dekatnya.
Ya, gadis itu adalah seorang putri. Dan alasannya untuk kabur adalah ia bosan. Bosan dengan kehidupannya yang terlalu dikekang, harus mengikuti pelajaran khusus dari beberapa Sensei yang didatangkan ayahnya karena ia tidak boleh bersekolah di luar.
Yah... itulah sekelumit hal tentang kehidupannya dan ia ingin terbebas dari itu semua. Walaupun hanya sekali. Sekali saja sudah cukup.
Krosak!
“Siapa itu?!”
Sebuah suara terdengar dari atas pohon tempatnya bersandar. Sesegera mungkin gadis itu berdiri dan pindah dari lokasinya tadi. Ia tidak mau dijatuhi oleh makhluk atau benda apa pun dari atas pohon itu. Tidak mau dan jangan sampai itu terjadi.
Krosak! Krosak!
“Hei! Siapa itu!”
Jantungnya berdegup kencang. Ia penasaran sekaligus takut dengan apa yang ada di atas pohon itu.
“Cepat tunjukkan dirimu!”
Krosak!!!
“HWAAAAAA!!!!!”
BRUUUKK!!!
“Ittai….”
“Si-siapa kau?!”
Sesosok laki-laki jatuh di depannya. Tepat di bawah pohon tempat gadis itu beristirahat sebelumnya. Bayangkan saja saat kau sedang istirahat dan ada seseorang jatuh tepat di atas tubuhmu dari pohon yang tingginya kurang lebih lima meter. Sakit sekali bukan?
“Ittai... Sakiit….” Pemuda itu mengeluh sambil memegangi kaki kirinya yang dipakainya untuk mendarat. Sepertinya dia terkilir, atau lebih parah, kakinya patah.
“Da-daijoubu ka? Kau tidak apa-apa?” tanya sang gadis sembari mendekati lelaki itu. Melihat keadaan pemuda itu, dia menjadi agak khawatir. Bagaimana kalau kakinya benar-benar patah?
“Hei... kau tidak apa-apa?” tanyanya sekali lagi. Mencoba mendapatkan jawaban dari pemuda di depannya.
“Daijoubu, aku tidak apa-apa,” jawab pemuda itu sembari mencoba untuk duduk.
“Kau bisa duduk? Aku bantu ya?” tawar sang putri.
“Tidak usah, aku bisa sendiri,” tolak si pemuda, halus.
“Umm.. Baiklah.”
Keduanya terdiam, tak tahu apa yang harus dibicarakan.
Apa yang harus dibicarakan kalau saling mengenal saja belum?
“Ano.. Gomen ne.. Aku membuatmu terjatuh,” ucap sang putri membuka pembicaraan.
“Iie.. Harusnya aku yang minta maaf, kalau saja aku tidak memanjat pohon ini pasti kau tidak akan ketakutan,” balas sang pemuda. Ia menggaruk kepalanya, agak malu juga mengakui kesalahannya.
“Tapi itu bahaya. Kenapa kau memanjat pohon ini?” tanya sang putri. Ia terlihat khawatir.
“Bukan apa-apa, hanya bermain,” ucap pemuda itu sembari tersenyum. Memperlihatkan beberapa deret giginya yang putih.
“Oh.. begitu ya?”
“Hm…”
Sunyi lagi. Hanya terdengar deru suara hembusan angin yang menerbangkan helai-helai daun yang berguguran.
“Gomennasai… Maaf kalau aku lancang, tapi apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya pemuda itu tak tahan dengan atmosfir sunyi di antara mereka.
“Aku kabur.”
“Eh?”
Pemuda itu menaikkan alisnya. Terkejut sekaligus merasa sedikit penasaran dengan alasan kaburnya gadis di sampingnya.
“Aku kabur dari rumah, aku bosan setiap hari dikurung terus-menerus. Hanya melakukan hal-hal yang itu-itu saja,” jelas gadis itu sambil mengangkat kedua tangannya merenggangkan badannya.
“Tapi bukankah itu karena orang tuamu tidak ingin terjadi apa-apa denganmu?” tanya si pemuda.
“Ya, aku tahu. Tapi paling tidak, sesekali aku ingin keluar rumah,” jawab si gadis sambil kembali bersandar di pohon.
“Tapi… bukankah itu hanya akan membuat orang tuamu khawatir?” Lagi-lagi pemuda itu bertanya.
“Tidak akan,” jawab si gadis dengan nada datar, mengundang lawan bicaranya untuk menanyakan suatu hal lagi.
“Ta-”
“Karena mereka sedang pergi, dan aku ditinggal sendirian,” lanjut gadis itu dengan wajah sendu tanpa memberikan kesempatan bagi pemuda yang duduk di sampingnya itu untuk bertanya.
“Jadi, karena orang tuamu pergi, kau punya kesempatan untuk kabur?”
“Yah.. Bisa dibilang begitu,” jawab gadis itu kembali dengan tertawa kecil.
“Kau gadis yang aneh,” ucap pemuda itu.
“Ehehe….” Gadis itu tertawa sambil mengangkat wajahnya. Melihat langit biru dengan kedua mata onyx-nya.
“Ah! Sudah waktunya aku pulang!” seru pemuda itu tiba-tiba, membuat gadis di sampingnya segera menolehkan kepala ke arah si pemuda.
“Pulang? Bukankah sore masih lama?” tanya si gadis.
“Tidak, sekarang aku sudah harus pulang,” jawab pemuda itu sembari menggelengkan kepalanya. Terlihat bahwa ia tidak setuju dengan si gadis.
“O-oh... begitu ya? Ya sudah,” ucap gadis itu setengah kecewa.
“Hey... kenapa wajahmu jadi murung?” tanya si pemuda setelah memperhatikan perubahan air muka gadis di sampingnya.
“Karena, baru kali ini aku memiliki teman untuk diajak bicara. Ano.. kita teman kan?”
“Tentu saja!”
Gadis itu tersenyum. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini. Seakan-akan beban yang ditanggungnya selama ini menghilang. Sirna karena ia telah menemukan sosok teman baginya.
“Kalau begitu, aku pulang dulu, Jaa ne!” pamit si pemuda sembari berdiri.
“Un! Jaa ne!” jawab si gadis seraya melambaikan tangannya ke arah si pemuda yang sudah berjalan cukup jauh dari tempatnya duduk.
“Haah... dia sudah pergi,” keluh gadis itu setelah melihat sosok pemuda itu sudah tidak terlihat lagi. Didekapnya lututnya lalu ditundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah sedihnya.
Drap... drap... drap…
“Oh ya, aku lupa sesuatu!”
Gadis itu mendongak, mendengar suara seseorang yang baru ia kenal. Ya, si pemuda itu kembali lagi ke tempat gadis itu.
“Hah… hah... A-aku lupa tidak bertanya, si-siapa namamu?” tanya si pemuda pada gadis yang masih terkejut akan kedatangannya.
“Panggil saja ‘Aki’,” jawab si gadis yang bernama Aki tersebut.
“Musim gugur ya? Kalau aku musim semi!” ucap pemuda itu sambil tersenyum lima jari.
“’Haru’?”
“Ya! Ah! Aku harus cepat-cepat pulang. Jaa!”
Pemuda bernama Haru itu kembali berbalik. Berlari membelakangi gadis bernama Aki yang masih terduduk sambil tersenyum. Tiba-tiba saja gadis itu tersentak, ia ingin bertemu lagi dengan Haru.
Ya, bertemu lagi.
“Ha-Haru!! Besok kita bertemu di sini lagi ya!” teriak Aki sekeras-kerasnya. Berharap teriakannya bisa didengar oleh Haru.
“Pasti!!!” jawab Haru yang mendengar teriakan Aki sambil mengangkat tangan kanannya. Tanda bahwa ia mendengar ucapan Aki dan akan menepati janjinya untuk bertemu kembali.
Sosok Haru sudah tak terlihat lagi. Hanya ada sayup-sayup suara semilir angin yang mengalun di antara pepohonan.
“Sebaiknya aku pulang juga, pasti dayang-dayang itu khawatir padaku,” ucap Aki sambil berdiri dan merapikan Yukata-nya yang sedikit kotor.
“’Teman-teman’, akhirnya sekarang aku sudah menemukan seorang teman,” ucap Aki pada ruang kosong di sekelilingnya sembari tersenyum.
“Kami senang kau sudah mendapatkan teman, Aki.”
Sebuah suara menyahut perkataan Aki. Entah itu suara siapa, namun sepertinya hanya Aki yang bisa mendengarnya.
“Un!”
Gadis itu berlari, kembali ke “sangkar”nya. Untuk menunggu hari esok, dan bertemu kembali dengan “penyelamat”nya. Ya, pasti bertemu kembali.
~~~**#**~~~
“Yak! Aman! Waktunya pergi.”
Seorang gadis berjalan mengendap-endap di sepanjang lorong istana. Kali ini dia berniat untuk kabur lagi. Untuk apa? Bertemu dengan seseorang yang ditemuinya kemarin.
“Haha.. akhirnya berhasil juga,” ucapnya bangga pada dirinya sendiri.
Gadis itu kini sudah berada di luar istana, dan anehnya tidak ada seorang pun yang tahu tentang perbuatannya ini. Entah apa yang sedang dikerjakan dayang-dayang dan pengawal istana itu kali ini sampai tidak menyadari kepergiannya, tapi hal itu benar-benar memberikan keuntungan bagi gadis itu untuk kabur lagi.
“Kira-kira Haru di mana ya? Kenapa belum datang juga?” tanya gadis itu sambil menyenderkan tubuhnya di pohon.
“Haah.. Haru lama sekali,” desahnya pelan.
Klap!
Pandangan matanya yang semula tengah menatap langit yang cerah kini menjadi hitam. Gelap gulita. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengerjainya.
“Hey! Lepaskan tanganmu dariku! Siapa kau?!” Gadis itu meronta. Tangannya memegang dua buah tangan yang tengah menutup indera penglihatannya. Mencoba menjauhkan kedua tangan itu dari matanya.
“Kau lupa padaku ya?”
Sebuah suara baritone yang khas terdengar di telinganya. Ia kenal suara itu.
“Ha-Haru?”
“Ahaha!! Kau kaget ya? Gomen, gomen….”
Kedua buah tangan itu akhirnya terlepas dari kegiatannya dalam menghalangi pandangan gadis itu. Memperlihatkan kembali onyx yang sempat tertutup.
“Sudah menunggu lama?” tanya sosok bersuara baritone tadi. Ia mendudukkan diri di samping gadis yang baru dikerjainya.
“Lama sekali, dan kau baru datang,” ucap gadis itu agak kesal. Ia sudah dibuat menunggu terlalu lama, dan baru saja dikerjai oleh pemuda di sampingnya. Bisa bayangkan betapa kesalnya ia.
“Gomen…. Oh ya, sebagai gantinya aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” ucap Haru, pemuda yang mengerjai gadis itu.
“Ke suatu tempat?” tanya gadis itu. Ia mengerutkan dahinya.
“Ya, ayo Aki!”
“Cho-chotto!”
Haru menggandeng Aki ke suatu tempat, tempat yang akan menentukan takdir mereka berdua.
~~~**#**~~~
“Lalu ke mana Haru pergi membawa Aki?”
Seorang gadis menunjukkan raut wajah penasarannya pada sosok pemuda di hadapannya. Ia ingin tahu kelanjutan cerita itu. Karena meskipun ia pernah mendengar cerita itu sebelumnya, entah mengapa ia tidak bisa mengingat jalan cerita itu.
“Kau ingin tahu kelanjutannya, Mayu?” Pemuda itu bertanya pada sosok gadis itu. Gadis yang bernama Mayu itu.
“Tentu saja!” jawab Mayu antusias.
“Kalau begitu kau harus bersabar hingga besok,” ucap pemuda itu bijak, mematahkan rasa antusias Mayu.
“Yah.. kenapa begitu?” Mayu mengerucutkan bibir pink-nya. Sepertinya ia tidak terima dengan ucapan pemuda itu.
“Sudah sore, dan pastinya orang tuamu akan cemas bukan?” ucap pemuda itu sembari mengacak-acak rambut pendek sebahu milik Mayu.
“Hey! Jangan diacak-acak!” ucap Mayu sebal.
“Haha.. Iya, iya.. Nah, ayo pulang!” ajak pemuda itu sambil beranjak berdiri.
“Yah.. Apa boleh buat,” Mayu ikut berdiri, “tapi kau harus melanjutkan cerita itu besok, oke?” lanjutnya.
“Wakatta,” jawab pemuda itu sambil mengangguk.
“Jaa mata ashita, Hito!” Mayu berlari menuruni bukit, meninggalkan sosok pemuda bernama Hito itu sendiri. Membiarkan iris berwarna coklat itu memandangi kepergian Mayu dengan tatapan penuh kasih sayang.
“Lebih baik kalau kau tidak tahu hal yang sebenarnya,” gumam Hito. Dimasukkannya kedua tangannya di saku celana. Rambutnya bergoyang seiring belaian angin di sekitarnya.
“Karena memori itu terlalu menyakitkan untukmu.”
###**~**###
Mayu POV
Oke, hari ini Hito akan menceritakan lanjutan legenda itu padaku! Haha.. Aku senang sekali, tapi entah kenapa aku juga merasa sedih.
Ada apa denganku?
“Mayu, Kaa-san dan Tou-san berangkat dulu ya.” Aku mendengar suara Okaa-san.
Beginilah kehidupanku setiap harinya. Pagi sekali orang tuaku sudah pergi. Bekerja. Pulang pada malam hari, dan terkadang tidak pulang hingga keesokan harinya, sehingga aku yang membawa kunci rumah.
Apakah itu sudah menjelaskan kenapa aku lebih memilih bermain-main di bukit Yamanami dulu sebelum pulang ke rumah?
“Ya, Kaa-san!” jawabku dari kamar.
Beberapa menit kemudian aku mendengar suara mesin dinyalakan. Orang tuaku sudah pergi.
“Untunglah sekarang hari Minggu, jadi aku bisa ke sana lebih cepat,” ucapku sambil menyisir rambutku. Kupasangkan sebuah bando untuk sedikit membuat rambutku tertata rapi.
Oh ya, mungkin kelihatannya aneh kalau orang tuaku bekerja pada hari Minggu. Tapi mau bagaimana lagi? Kedua orang tuaku memang termasuk golongan orang-orang yang sibuk.
“Kira-kira Hito sudah datang belum ya?” tanyaku.
“Kenapa tidak kau coba saja?”
“Iya juga ya, kenapa tidak kucoba ke sana saja?” ucapku setelah mendengar jawaban dari “seseorang”.
“Arigatou,” ucapku lagi pada “seseorang” itu.
“Douita, Mayu.”
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki. Berjalan ke meja di dekat tempat tidurku dan membuka laci teratasnya. Mengambil sebuah buku catatan peninggalan Obaa-san.
Aku tidak pernah membacanya, apalagi membukanya. Tapi entah kenapa saat ini aku ingin sekali membaca buku itu. Yah… Hitung-hitung mengisi waktu senggang untuk menunggu Hito kalau-kalau dia belum datang.
Kumasukkan buku catatan itu ke dalam tas kecil yang sudah kusiapkan. Kemudian kupakai tas selempang kecil itu dan segera keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan hati-hati, aku tak mau jatuh gara-gara kelakuanku yang tidak sabar untuk cepat sampai ke bukit.
‘Hihi….’ Aku tertawa dalam hati, membayangkan hal apa yang akan Hito ceritakan padaku.
Kubuka pintu rumahku, kulangkahkan kakiku keluar.
Wushh…
Angin musim gugur berhembus. Dingin, namun menyenangkan. Aku tersenyum kecil sambil mengunci pintu rumah agar tak ada seorang pun yang bisa berbuat macam-macam ketika aku pergi.
Cklek!
Setelah kupastikan bahwa aku sudah mengunci pintu, segera saja aku melepaskan kunci itu dari lubang kunci dan memasukkannya ke dalam tas selempang yang kupakai. Menggerakkan kakiku ke arah pintu gerbang dan membukanya.
“Mayu!”
Aku mendengar seseorang memanggilku. Maki, dan… seorang pemuda yang aku kenal sebagai mantan Senpai kami. Mereka berdua berjalan ke arahku yang sedang mengunci pintu gerbang.
“Hai! Kau mau kemana, Mayu? Pagi-pagi sudah rapi begini. Jangan-jangan….”
“Hey, jangan salah paham dulu! Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, daripada di rumah sendirian.”
Inilah salah satu sifat yang tidak kusuka dari Maki. Dia selalu menggodaku, mentang-mentang aku belum punya koibito.
“Sudahlah, Maki. Sepertinya Mayu hanya ingin melepaskan penatnya saja. Ya kan, Mayu?”
“Ya, Keita-senpai,” jawabku pada pemuda di hadapanku. Senpai kami sekaligus koibito Maki.
Ya, aku tahu kalau mereka mempunyai hubungan. Sejak kelas 2 SMP mereka sudah memiliki sebuah hubungan. Kalau aku sih terima-terima saja, karena Keita-senpai termasuk murid teladan di sekolah kami dan dia menjadi lulusan terbaik tahun lalu.
“Oh ya, kau sebenarnya mau kemana, Mayu?” tanya Keita-senpai.
“Iya, kau mau kemana?” Maki ikut-ikutan bertanya.
Apa aku harus menjawabnya?
“Err… Yah… hanya berjalan-jalan saja,” jawabku. Mana mungkin aku menjawab akan pergi ke bukit Yamanami untuk bertemu seseorang? Terlebih lagi hanya aku yang mengenalnya. Bisa-bisa aku ditanya macam-macam oleh Maki.
“Hanya jalan-jalan saja?” Keita-senpai kembali bertanya. Aku hanya mengangguk.
“Oh ya! Kenapa kau tidak ikut kami saja? Kami akan pergi ke sirkus itu lagi. Kau kan belum pernah ke sana, ya kan?” Tiba-tiba Maki mengusulkan hal itu padaku.
“Benar juga, ayo Mayu. Tenang saja, aku yang akan membayar tiket masuknya,” tawar Keita-senpai.
Aku ingin ikut. Tapi….
“Ayolah Mayu, ikutlah bersama kami,” ucap Maki dengan wajah memelas.
“Umm.. Baiklah, tapi jangan lama-lama,” ucapku pada akhirnya, walaupun sedikit terpaksa.
Maaf Hito, sepertinya aku akan membuatmu lama menunggu.
.
.
“Kau tidak datang? Hime-sama?”
###**~**###
Sudah empat jam berlalu, dan aku masih belum bisa pergi ke bukit. Matahari juga sepertinya lebih terik dari biasanya. Dan yang aku khawatirkan adalah entah kenapa aku tidak merasakan tiupan angin sama sekali.
Ada apa sebenarnya?
“Mayu? Daijoubu ka?”
Suara Maki menyadarkanku dari alam pikiranku. Aku sadar kalau sedari tadi aku melamun dan tidak menggubris pertunjukan di hadapanku. Ya, pertunjukan sirkus.
“Daijoubu, doushita?” tanyaku balik pada Maki.
“Iie.. Hanya… rasanya kau sedang tidak sehat,” jawab Maki, mengundang Keita-senpai yang duduk di sebelahnya ikut memasang wajah khawatir.
“Aku baik-baik saja, sungguh.” Aku mencoba meyakinkan mereka berdua. Kupasang sebuah senyuman tanda bahwa aku sedang tidak dalam keadaan “tidak baik”. Sepertinya…
“Baguslah kalau begitu, kukira kau kelelahan saat antri tadi. Maaf karena membuatmu harus menunggu lama, Mayu.” Kali ini Keita-senpai yang berbicara. Aku sedikit tidak enak mendengar permintaan maafnya.
“Tidak apa-apa, Senpai. Malah aku sangat berterima kasih karena Senpai sudah mengajakku,” ucapku sambil tersenyum dan dibalas senyuman juga.
“Hey! Kan aku yang pertama kali mengusulkan untuk mengajakmu, jangan lupa itu,” ucap Maki. Pipinya agak menggembung. Haha… Dia ini sebenarnya ingin menunjukkan “jasa”nya ataukah sedang cemburu?
“Iya, iya… aku tahu,” ucapku sambil tertawa kecil. Untuk sementara rasanya kekhawatiranku sedikit berkurang, tapi di pikiranku tetap saja tersisa secuil rasa khawatir.
Terlalu berlebihan?
Mungkin.
“Sudahlah, sekarang kita nikmati saja pertunjukannya,” ucap Keita-senpai berusaha “melerai” kami berdua.
“Eumm.. Baiklah,” ujarku.
Mungkin aku harus bertahan sebentar lagi.
‘Kumohon tunggu aku, Hito.’
###**~**###
Normal POV
“Kau benar-benar tidak datang?”
Sesosok siluet tipis terlihat tengah duduk di dahan pohon Momiji. Mengayunkan kedua kakinya secara bergantian. Menatap mentari yang sebentar lagi akan menjadi senja.
“Aku… Mungkinkah kita bisa bertemu lagi?”
Siluet itu menatap nanar kedua tangannya. Tubuhnya semakin dingin dan pucat. Apa yang harus ia lakukan?
“Hime-sama, apakah akan ada ‘esok’ untukku?”
Sekilas ia tersenyum. Senyuman lemah namun memiliki harapan.
“Aku akan menunggumu hingga esok tiba, tapi maaf jika hari ini aku tak bisa menepati janjiku.”
Perlahan siluet itu menghilang. Menghilang bersama hembusan angin sore. Bersama iringan helai-helai daun berwarna jingga. Menghilang, tanpa menyisakan apapun.
Untuk sementara….
Hingga “esok” datang.
###**~**###
“Haah.. haah.. A-apa aku terlambat?”
Sosok itu merunduk. Nafas dan detak jantungnya saling berlomba. Ia baru saja mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencapai tempat ini.
Bukit Yamanami.
“Hito… kau di mana?”
Sosok itu mengedarkan pandangannya, mencoba mencari keberadaan sosok yang sedari tadi muncul di pikirannya. Seseorang bernama Hito.
Ia melangkah kecil ke arah pohon Momiji tempat ia biasa merenung. Pohon yang entah kenapa memberikan sebuah arti bagi hidupnya semenjak ia tinggal di kota ini.
“Gomen....”
Disandarkan dirinya di pohon itu. Duduk dengan menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan yang tengah melingkari lututnya.
“Nee.. Apakah aku melakukan kesalahan lagi?” Didongakkan kepalanya ke langit yang mulai menghitam. Ia tahu kalau sekarang ia sudah harus pulang, tapi siapa yang peduli?
“Ha, haha….”
Ia tertawa hampa. Menertawakan dirinya sendiri.
“Haha… Obaa-san, sebenarnya untuk apa aku ada di dunia ini? Kaa-san dan Tou-san tidak pernah memperhatikanku.”
Tess... Tess...
Beberapa tetes bening itu kini telah terjun. Mengutarakan perasaan terpendamnya. Tak ingin terlalu lama menahannya di dalam lubuk terdalam di hatinya.
“Ternyata sekuat apa pun aku mencoba bertahan, tetap saja tidak bisa ya? Aku benci diriku sendiri.”
Ia benci, benci akan dirinya. Benci akan hidupnya. Selama ini dia hanya sendirian. Sendirian melewati hidupnya yang memanglah “kosong”.
Dari dulu ia tak memiliki teman. Ya, itu benar. Ia sebenarnya sangat ingin berteman, tapi apa yang mereka lihat dari dirinya? Mereka menganggap kalau ia “aneh”.
Maki? Ya, gadis itu adalah temannya. Teman baiknya malah. Namun gadis itu mulai menjauh, entah karena Maki berpacaran dengan Keita ataukah ia sendiri yang menjauh? Mengingat sebentar lagi mereka sudah tak bisa bertemu lagi.
Melanjutkan ke SMA. Dan Maki akan melanjutkan SMA di luar kota, bersama Keita yang sudah lulus setahun yang lalu. Sedangkan ia? Ia tetap bersekolah di sini, dan itu membuat dirinya tidak memiliki teman lagi.
Sendirian…
Lagi.
“Kenapa? Kenapa saat aku sudah memiliki teman, mereka malah pergi?”
Ia mengadu. Sekali lagi pada ruang kosong di sekitarnya. Ruang kosong yang benar-benar “hampa”.
“Aaah.. Seharusnya sekarang aku sudah harus pulang kan?”
Ditatapnya langit yang telah menunjukkan bintang pertamanya. Katanya, jika kau membuat sebuah keinginan, satu buah saja. Bintang itu akan mengabulkannya.
Apakah itu benar?
“Jika memang benar, aku hanya ingin memiliki seseorang yang peduli padaku, menyayangiku apa adanya, dan selalu berada di sisiku,” pintanya.
Terlalu muluk?
Mungkin.
“Haah.. Aku harus pulang sekarang, jika tidak bagaimana Tou-san dan Kaa-san akan masuk?” ucapnya sedikit bercanda.
Ia beranjak, tubuhnya telah berdiri tegap. Selangkah demi langkah ia meninggalkan pohon itu. Sedikit demi sedikit ia melangkah menuruni bukit itu. Kembali ke rumahnya yang dirasanya akan tetap “kosong”.
###**~**###
Halaman per halaman buku notes kecil itu terus dibolak-balik, seperti sang pembaca tak memiliki minat untuk membaca jejeran-jejeran kalimat yang ada di setiap lembarnya. Tapi itu salah, ia membacanya.
Bahkan sudah berkali-kali.
Ia ingat semalam ia tidak bisa tidur. Bukan karena keadaan rumahnya yang sepi, atau karena ia takut tidur sendirian. Bukan. Ia hanya tak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya.
Ya, ia akui itu. Dan tiba-tiba saja menyusuplah sebuah pikiran untuk membuka notes neneknya. Apa sebabnya, mungkin ia penasaran?
Selembar halaman pertama telah dibuka.
*****
Flashback…
“Tidak bisa tidur….”
Gadis itu terus mengeluh di atas ranjangnya. Berguling ke sana kemari untuk menemukan posisi yang bisa membuatnya tertidur, tapi nihil.
“Arrgghh… sebenarnya ada apa denganku?”
Diambilnya posisi duduk untuk mengurangi rasa bosannya. Bosan? Tentu saja, dia bosan karena hingga tengah malam ia belum bisa tidur dan hanya tidur-tiduran di atas ranjang tanpa bisa mengistirahatkan dirinya.
‘Oh ya, bukankah tadi aku ingin membaca buku catatan Obaa-san?’
Ia mulai merangkak dan mengambil tas selempang yang diletakkannya di meja, yang memang dekat dengan tempat tidurnya jadi ia tak perlu berjalan hanya untuk mengambilnya.
Sraak.. Sraak..
“I-ini kan?”
*****
Seekor burung kenari hinggap di bangku panjang yang sedang diduduki gadis itu. Menciap-ciap seakan hari ini adalah hari yang paling membahagiakan baginya. Mengawasi kediaman dari sosok gadis yang sedang membaca sesuatu.
Tiba-tiba saja gadis itu menoleh. Melihat burung kenari di sampingnya. Membawanya ke atas telapak tangannya dan mengelus perlahan bulu-bulu berwarna cerah itu.
“Andai saja aku bisa sepertimu,” ucap gadis itu sembari terus mengelus bulu-bulu burung kenari di tangannya.
“Pergilah,” ucapnya pada sewujud kehidupan di tangannya. Dinaikkannya tangannya ke atas agar burung itu lebih leluasa untuk melebarkan sayapnya. Terbang.
Klap! Klap!
“Sampai jumpa.” Gadis itu menatap kepergian sang burung. Melihat bagaimana caranya mengepakkan sayapnya demi melintasi langit biru tanpa batas.
Kembali gadis itu membaca buku kecil yang tak perlu untuk diungkapkan lagi bahwa buku itu menyimpan banyak hal tentang “dirinya”.
“Sekarang aku tahu….”
Ia berdiri sambil mendekap erat notes itu di dadanya.
“Kau… adalah ‘dia’ kan? Hito?”
Kembali angin bertiup. Lembut.
###**~**###
Sraak.. Sraak..
Suara langkah kaki terseret itu semakin mendekati tempat tujuannya. Alunan rumput yang bergesekan dengan sepatu kulit itu seakan menggantikan suasana hening di tempat itu.
Semakin mendekati tujuannya, semakin lambat kaki itu melangkah. Seperti tak ingin dirinya mencapai tujuan mengapa dirinya pergi ke sana.
Tak ingin mengetahui kelanjutan “kisah”nya.
Tak ingin mengetahui akhir dari untaian cerita dari“nya”.
“Mayu.”
Langkah itu terhenti. Pandangan matanya yang sampai saat ini selalu melihat ke arah bumi yang dipijaknya, teralihkan ke arah suara yang tadi tengah memanggil namanya.
“Hi-Hito?”
Sosok yang tengah bersandar di pohon itu tersenyum. Tersenyum dengan bibirnya yang mulai memucat. Menggambarkan betapa dinginnya kulitnya ketika disentuh, dan itu adalah tanda bahwa ia tak bisa bertahan lebih lama lagi.
Bahkan hanya untuk melihat matahari kembali ke peraduannya.
“Mayu, kemarilah.”
Sosok itu memanggil seorang gadis yang masih memandanginya. Memandangnya dengan mata yang berlinang air mata. Siap untuk meluncur kapan saja melewati pipinya hingga mencapai hamparan tanah di bawahnya.
“Hito… Kau benar-benar Hito kan?” tanya gadis itu tanpa merubah posisinya. Masih terdiam tanpa bergerak sejengkal pun.
“Kau bicara apa, Mayu? Ini benar-benar aku,” jawab sosok itu. Hito.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Tinggal beberapa langkah lagi gadis itu mencapai sosok Hito. Sedikit lagi.
“Hi-”
Grep..!
“To?”
“Maaf, kali ini aku tidak bisa menepati janjiku lagi.”
Sebuah pelukan menyambutnya. Pelukan yang amat erat, seakan sosok yang tengah memeluknya tak ingin melepaskannya begitu saja.
“Hito… Kumohon jangan pergi.” Ia memohon, memohon agar permintaannya bisa dikabulkan.
“Tidak bisa.”
Sosok itu menggeleng. Ia tak bisa. Waktunya semakin dekat.
“Gomen ne, Hime-sama.”
Mata itu membulat seketika. Sekelebat bayangan akan seseorang muncul di pikirannya.
“Kau mau membawaku ke mana?”
“Rahasia, nanti pasti kau juga akan tahu!”
“Hito… Apakah tempat ini…?”
~~~**#**~~~
“Hey! Kenapa kau tidak bilang kalau akan membawaku ke sini?”
“Karena itu rahasia.”
~~~**#**~~~
“Ya….”
~~~**#**~~~
“Di sini indah sekali…”
“Ya.”
“Oh ya, sebenarnya kau membawaku ke sini untuk apa?”
“Aku… Ada suatu hal yang ingin kukatakan padamu.”
“Nani?”
“Aku.. Aku bukanlah manusia sepertimu. A-aku…”
“Ka-kau bercanda kan?”
“Aku tidak bercanda. Aku… adalah angin musim semi yang selalu memperhatikanmu.”
“Kau bohong… Aku tidak percaya!”
“Itulah hal yang sebenarnya. Aku meminta agar aku dijadikan manusia karena aku ingin merasakan bagaimana jika berada di sampingmu.”
“Bohong…”
“Aku hanya diberi waktu dua hari saja, setelah itu eksistensiku sebagai manusia akan hilang.”
“Jangan diteruskan!”
“Aku… akan menghilang selamanya.”
“Jangan teruskan!”
“….”
“Kumohon… jangan pergi….”
~~~**#**~~~
“Jangan pergi lagi…”
“….”
“Onegai…”
~~~**#**~~~
“Tolong mengertilah, Hime-sama.”
“Haru?”
“Aku melakukan ini semua karena aku tidak ingin melihatmu bersedih.”
“Lalu apa?! Sekarang kau malah membuatku semakin bersedih, Haru!”
“Tidak akan. Aku yakin kalau kau itu kuat.”
“Tidak!”
~~~**#**~~~
“Maafkan aku, mungkin sekarang aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi.”
“Kenapa? Bukankah… kau sudah kembali? Kenapa harus pergi lagi, hah?!”
“Karena… ini adalah permintaan terakhir dariku, dan oleh karena itu…”
“….”
“Keberadaanku benar-benar akan hilang dari muka bumi ini.”
~~~**#**~~~
“Sayonara, Hime-sama.”
“Haru?”
“Ingatlah bahwa aku akan selalu bersamamu.”
~~~**#**~~~
“Selamat tinggal, Mayu.”
“Jangan…”
“Tolong kenang aku sebagai seseorang yang berarti untukmu.”
Sosok itu memegang wajah gadis di hadapannya dengan lembut. Menghapus aliran air mata yang telah menganak sungai. Air mata yang ditujukan padanya. Air mata yang hadir karenanya.
“Suki da yo.”
Sebuah kecupan singkat di bibir gadis itu mengiringi hilangnya sosok Hito. Menghilang begitu mudah. Hanya menyisakan ruang hampa di depannya. Tanpa ada sosok yang selama ini selalu menemaninya.
Hilang. Tanpa jejak.
“Suki da yo, Hito.”
###**~**###
Mayu POV
Sudah tiga bulan sejak kejadian “itu”. Aku tahu kalau aku belum bisa menghilangkan kesedihan karena kepergian“nya”.
Tapi… bukankah “dia” ingin aku bahagia?
Oleh karena itu, kali ini aku akan berusaha untuk bahagia. Ya kan? Hito…
“Mayu, Kaa-san dan Tou-san berangkat dulu ya?”
Aku mengangguk sembari mengiris roti panggang di depanku. Aku tahu ini tidak sopan, tapi kami sudah terbiasa.
“Oh ya, dan jangan sampai terlambat ke sekolah. Hari ini kan hari pertama kamu masuk SMA, ya kan?”
“Ya, Kaa-san.”
Dengan ucapan itu Kaa-san pergi ke halaman depan, di mana Tou-san sudah menunggu.
Bruumm…
Aku mendengar suara mobil dinyalakan. Berarti Kaa-san dan Tou-san sudah berangkat.
Yah… Aku harus cepat-cepat menghabiskan sarapanku. Aku tidak ingin terlambat di hari pertamaku masuk SMA.
“Kalau aku terlambat, ‘kau’ pasti akan menertawakanku kan?”
###**~**###
Jam 8 pagi. Sebentar lagi upacara penerimaan murid baru akan dilaksanakan. Aah… aku tidak sabar!
“Awaaass!!!!”
“Eh?”
Bruuaaggh!!
“Aduuh…”
Aku terjatuh. Arrgh... Itu sakit! Terima kasih pada orang yang baru saja menabrakku.
“Ma-maafkan aku! Kau tidak apa-apa? Kumohon maafkan aku!”
Sosok yang baru saja menabrakku itu bersujud minta maaf. Haah… kenapa di hari pertamaku masuk aku sudah sial?
“Maaf! Maaf!”
Aku mendengar permintaan maafnya berkali-kali dan dia belum juga berhenti bersujud padaku. Hey, kalau seperti ini aku yang malu.
“Tidak apa, aku sudah memaafkanmu,” ucapku pada sosok itu.
Sosok anak laki-laki yang mirip dengan…
Hito?!
“Benarkah?” Ia mengangkat wajahnya.
“Iya, Hito,” jawabku tanpa sadar.
“Hito?” Anak itu bertanya dengan wajah penasaran.
“Err.. Bukan apa-apa. Ma-maaf, aku harus segera pergi ke aula!” ucapku sembari berdiri sesegera mungkin untuk menutupi raut mukaku yang memerah.
Grep!
“Hey tunggu, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Anak laki-laki itu menggenggam tanganku, seperti mencegahku untuk pergi.
“Maaf, aku belum pernah bertemu denganmu,” jawabku tanpa memalingkan wajahku ke arahnya. Aku masih berusaha menghilangkan semburat merah di wajahku dan mengatur detak jantungku.
“Tapi... kenapa aku merasa begitu ya?”
“Heh?”
Kupalingkan wajahku. Kubalikkan badanku yang semula memunggunginya untuk mendapatkan gambaran jelas dari sosok “Hito” di hadapanku.
“Kenalkan, namaku Mizugawa Haru!”
Ia melepaskan genggaman tangannya. Menggantinya dengan gesture untuk mengajak berkenalan.
“Sakuraki Mayu.”
Aku menyambut tangannya.
“Kau juga anak baru kan? Kalau begitu, ayo kita ke aula bersama-sama!”
Tanpa menerima persetujuan dariku, Haru membawaku ke aula.
Juga tanpa…
Melepaskan genggaman tanganku.
‘Aku tahu, kau pasti selalu bersamaku….’
###**~**###
Jika kalian sudah ditakdirkan untuk bersama
Percayalah…
Percayalah bahwa meski kalian terpisah
Kalian akan selalu bersama…
Walau jarak memisahkan
Walau waktu memisahkan
Percayalah…
Jika kalian sudah terikat oleh benang merah takdir…
###**~**###
###** FIN **###
###**~**###
Author’s Note:
Nggak sedih sama sekali.. *mentelengin cerita*
Beneran deh! Pas nulis ini saya nggak pengen nangis atau ngerasa sedih sama sekali..
Apa saya yang nggak peka ya? *keplaked*
Oke.. pada akhirnya cerita ini selesai juga. Dan bolehkah saya men-judge sendiri kalau cerita ini super duper nggak jelas? Boleh? Terima kasih.. *buagh!*
Well.. terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada readers yang sudah bersedia membaca cerita abal dari saya.
Bagi yang sudah pernah membaca versi aslinya, maaf kalau ending-nya tambah nggak jelas dibandingkan cerita aslinya yang sudah saya selesaikan di buku saya.. m(_ _)m
Finally, I just want to say..
Read and Comment please~!!!
PS: Tolong hargai hasil karya seseorang dengan tidak meniru atau mengakui hasil karya tersebut. *Author lagi sensitif soal Plagiatisme*
Then, bye~ See you on the next story~!! *lambai-lambai gaje*
Sign,
Anita Kazahana
0 Comment:
Posting Komentar