Detective Case File
(Case 1: Mysterious Call ~Intro~)
~~~***~~~
By: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mistery, Crime, Friendship, -little bit- Romance
Warning: Membuat anda pusing tujuh keliling karena ketidakjelasan cerita yang diakibatkan kapasitas otak Author yang minim(?)
Disclaimer: Nama-nama yang saya ikutkan di cerita ini milik orang-orang yang merasa telah saya curi(?) namanya, juga kepribadian mereka yang saja OOC-kan dengan nistanya, terutama orang-orang yang kenal dengan saya.
~~~***~~~
“Hey, kau tahu soal ‘Mysterious Call’?”
“Apa itu?”
“Katanya jika kau menerima telepon itu, kau akan…”
“Akan apa?”
“Kau akan mati.”
***
“Yah! Apa yang kau lakukan, bodoh!”
Sebuah teriakan menggema di ruangan berukuran 6x8 meter itu dengan leluasanya. Seakan tidak menghiraukan keadaan eksistensi di sekitarnya yang tengah menutup telinga akibat suara mirip TOA tadi. Rusaklah keheningan yang tercipta sedari tadi karena kesibukan individu mereka. Dan jangan salahkan jika ada balasan yang tidak mengenakkan hati.
“Berisik.”
“Urusai na.”
“Kau itu bisa diam sebentar tidak sih? Mengganggu saja.”
Yah, itulah balasan yang bisa kau terima ketika kau sedang mengganggu waktu bersantai orang yang selalu sibuk. Bukan sok sibuk, tapi benar-benar sibuk. Bayangkan saja, hampir setiap hari mereka selalu mendapatkan misi untuk memecahkan sebuah kasus. Entah pencurian, penculikan, hingga pembunuhan, apa kasus semacam korupsi masuk? Dunno. Hey, apa kalian tahu? Itu sungguh melelahkan. Apalagi jika sang pelaku sangat lihai mengelak, kau harus cepat-cepat memutar otak, kawan.
Hidup itu melelahkan, kenapa harus kau buat lebih buruk lagi?
Merepotkan.
“Hey! Itu bukan salahku! Marahi saja dia!”
Gadis berambut agak keriting dengan mulut yang masih mengemut rasa manis coklat dari lolipop yang belum habis sejak 30 menit yang lalu itu menunjuk seorang anak laki-laki berambut hitam dengan potongan ala tentara dengan wajah kesal. Bagaimana tidak kesal? Handphone miliknya yang sejak tadi ditekuninya untuk memilih-milih foto-foto pasangan YAOI kesukaaannya tiba-tiba saja diambil dalam kecepatan kurang dari tiga detik dan dikeluarkan dari browser-nya begitu saja. Dan dengan cueknya si pelaku perampasan handphone itu membuka aplikasi permainan yang ada di handphone itu tanpa seijin pemiliknya.
“Aku bosan, makanya aku pinjam saja ponsel kak Yongjin,” jawab anak laki-laki itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar handphone yang menunjukkan level pertama dari permainan entah apa itu.
“Pinjam kau bilang?! Itu namanya perampasan! Dan aku tidak terima!” ucap gadis yang dipanggil Yongjin tadi dengan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Tak peduli jika kelakuannya kelihatan sangat childish padahal umurnya sudah 16 tahun.
Tunggu, memangnya dia tidak boleh begitu? Toh dia masih remaja, childish sedikit tidak apa kan?
“Kekanakan. Ini pinjam saja milikku, toh aku masih bisa pakai laptop,” ucap seorang gadis berkacamata dengan frame biru sambil menyerahkan handphone miliknya kepada Yongjin. Lebih baik korbankan milikmu daripada mendengar ocehan-ocehan karena alasan yang sungguh kekanakan.
“Yei~! Kau baik sekali Arisa~!”
Dengan cepat hanphone ber-chasing biru tua itu telah berpindah tangan ke Yongjin. Layar dari benda elektronik kecil itu kini menampilkan gambar-gambar yang hanya Yongjin dan Arisa yang tahu dan sukai. Yang lain? Entahlah, tidak berminat mungkin?
“Kenapa kau melayani dia, kak? Kalau aku sih, tidak akan mau meminjamkan milikku. Apalagi tujuannya untuk melihat-lihat hal yang kalian berdua sukai itu. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, kak Arisa.” Sesosok anak laki-laki lain yang seumuran dengan anak laki-laki yang tadi menanggapi dengan tatapan malas sembari membolak-balik halaman novel dengan tebal kurang lebih 5 cm di pangkuannya. Apakah novel setebal itu termasuk banyak untuk kalian? Menurutnya tidak.
“Hm… Kau tidak perlu mengerti jalan pikiranku, Cloud. Dan ngomong-ngomong, aku meminjamkan milikku hanya untuk menambah koleksiku saja, dia kan lebih ahli ‘mencari’ daripada aku,” jawab Arisa dengan seringaian yang sudah menjadi ciri khasnya. Jari-jarinya bergerak lincah seiring munculnya beberapa informasi yang didapatnya dari Internet. Browsing kasus? Yeah…
“Ooh…” Anak laki-laki bernama Cloud tadi kembali menekuni buku tebal miliknya tanpa bertanya lebih jelas tentang hal-hal yang membuat kedua senpai-nya itu menjadi gila mendadak ketika mendapatkan sebuah momen romantis antara… tidak usah dijelaskan karena dia juga sering menjadi objek “pelampiasan” dari dua senpai-nya itu.
“Ada apa kak? Sepertinya kakak dapat kasus baru lagi ya?” Kembali satu pertanyaan dilontarkan oleh kouhai-nya yang berkacamata sama dengannya, bedanya hanya warna frame-nya dan tentu saja besar nilai min lensa kacamatanya.
“Instingmu tajam juga. Tidak salah kalau aku merekrutmu, Levi,” ucap Arisa sambil tersenyum senang. Ketiga orang lain yang sebelumnya tengah sibuk dengan “kerjaan” mereka masing-masing, kini menolehkan kepala ke arah Arisa yang sedang menunjukkan sebuah artikel yang dikirim ke e-mail-nya.
“Apa itu? ‘Mysterious Call’?” Yongjin membaca judul yang tertera pada e-mail itu.
“Kejadian yang membuat warga di distrik Keiban was-was. Tentang penyerangan yang dimulai saat si korban menerima telepon dari nomor telepon tanpa identitas, dan sepertinya kejadian ini menjadi lebih mengkhawatirkan belakangan ini,” ujar seorang pemuda bertopi baseball memasuki ruangan itu bersama dengan dua orang lain yang baru datang dari supermarket untuk membeli snack dan minuman sebagai pengganjal perut mereka.
“Oh, sudah pulang ya? Seonghun, Riddle-nii, dan Alyx. Dan sepertinya kau sudah diam-diam menyelidiki kasus ini ya, Seonghun?” Arisa menyeringai ke arah Seonghun, pemuda bertopi baseball tadi dan dibalas seringaian dari Seonghun.
“Aku menyelidikinya atas permintaaan temanku, dia mendapatkan telepon itu kemarin dan memintaku untuk menyelidikinya,” jelas Seonghun sambil melipat kedua tangannya di dada dan bersandar di dinding putih ruangan itu.
Seorang laki-laki yang tengah membawa dua buah kantong plastik berukuran sedang itu–yang diketahui bernama Riddle–melenggang masuk ke dalam ruangan dan meletakkan isi kantong plastik yang kebanyakan berisi makanan ringan itu ke lemari es. Sedangkan gadis berambut panjang berbando alias Alyx yang tadi bersama Riddle segera mendudukkan diri di sofa yang ada di dekatnya.
“Kita akan menyelidiki kasus ini dan menangkap pelakunya kan?” Riddle yang sudah selesai menata persediaan makanan kecil mereka duduk di kursi kayu yang tersedia di sebelah lemari es. Bertanya akan langkah selanjutnya yang akan diambil oleh sang ketua.
“Lalu, ke mana kita harus menyelidiki kasus itu terlebih dahulu? Informasi dari warga atau langsung kepada teman Seonghun?” ucap Alyx dengan menumpukan kepalanya di tangan kanannya.
“Kita akan menyelidikinya. Oh ya, apa ada yang tahu ke mana perginya Keichi-nii, Chika-nee, dan Izaaq?” tanya Arisa sebelum menutup laptop-nya dan menyimpan di tasnya.
“Kalau Keichi-nii sepertinya sedang sibuk dengan urusan sekolah, Chika-nee sedang mengurusi perusahaan milik ayahnya, dan Izaaq masih mengerjakan piketnya di sekolah,” ujar Levi tenang dan dibalas dengan anggukan dari Arisa.
“Ah, aku baru ingat. Kemarin Keichi-oppa mengirimiku pesan, katanya dia tidak bisa bergabung sementara karena sebentar lagi akan ujian,” ucap Yongjin setelah memeriksa handphone yang sudah dirampasnya kembali dari tangan Steve, anak laki-laki yang memiliki potongan ala tentara tadi dan mengakibatkan raut cemberut menghiasi wajah Steve.
“Hoo… Jadi begitu, kalau yang lain mengirimimu pesan akan kau jawab, sedang aku? Hah, tak pernah kau jawab,” sindir Seonghun pada Yongjin, sedang yang merasa disindir menajamkan tatapannya kepada Seonghun.
“Sudahlah, kak Yongjin. Kalau kakak marah, itu sama saja dengan kakak menyetujui ucapan kak Seonghun,” ucap Cloud sambil menghela nafas panjang. Ia sudah bosan menghadapi kedua orang senpai-nya itu.
“Ta-tapi kan itu juga gara-gara aku sedang mengurusi urusan di sekolah, tanya saja pada Arisa! Lagipula pesanmu hanya bertanya aku sedang apa, karena itu aku malas membalas pesanmu dan lebih mengutamakan pesan yang berhubungan dengan sekolah atau agency kita ini,” jelas Yongjin dengan menggebu-gebu seakan tak ingin kalah adu argumen dengan Seonghun.
“Oke, oke, kalian bisa lanjutkan perdebatan kalian itu lain kali, yang penting sekarang kita harus menyelidiki kasus ini. Mengerti kan?”
Kedua kubu debat itu langsung diam diikuti anggukan yang berbarengan dengan member yang lain. Sebaiknya memang harus begitu, karena mereka tahu bagaimana menakutkannya sang ketua jika sudah benar-benar di ambang batas kesabaran. “Ledakan”nya tak akan bisa kalian tahan, dan bisa dipastikan kalian akan mendapatkan perawatan di rumah sakit secepatnya. Dengan luka-luka hasil perbuatan sang ketua.
Jangan pernah anggap remeh orang pendiam yang terlihat sabar. Karena semua kekesalan yang ditahannya akan dilepaskan secara meluap-luap jika sudah mencapai “titik didih”nya. Dan itu amat–sangat–mengerikan.
“Oh ya, Seonghun, bagaimana perkembangannya? Kau berkata kalau kejadian ini semakin mengkhawatirkan kan?” tanya Arisa, yang dituju hanya mengangguk pelan dalam diam. Namun tak lama kemudian, sosok Seonghun kembali mengucapkan rangkaian kalimat miliknya.
“Kejadian ini terlihat mulai mengubah pola penyerangan menjadi pembunuhan,” ujar Seonghun serius.
“Pembunuhan?” tanya Steve. Walaupun ia terlihat tidak sedang mood untuk mengikuti arah pembicaraan orang-orang di sekitarnya, lama-kelamaan akhirnya dia terpancing juga. Sepertinya ia sudah mulai melupakan masalahnya dengan Yongjin.
“Korban pembunuhan bernama Narusawa Ai, seorang gadis berumur 16 tahun. Dia ditemukan tewas terbunuh dengan leher dijerat sebelum ditenggelamkan di sungai. Menurut teman-temannya yang sedang bersamanya sebelum berpisah dengan sang korban, tidak ada tanda-tanda kalau dia ketakutan setelah mendapatkan telepon itu bahkan dia hanya menganggap itu sebagai lelucon. Siapa yang tahu kalau hal itu yang mengantarkannya pada kematian?” terang Seonghun berdasarkan apa yang didapatkannya dari petugas polisi kenalannnya. Ia memang tak pernah mengatakannya pada siapa pun kecuali pada teman satu agency-nya kalau keluarganya memiliki hubungan dengan kepolisian. Bagaimana tidak? Pamannya adalah seorang inspektur kepolisian di daerahnya. Pantas bukan?
“Belum ada korban lain? Lalu, siapa nama temanmu yang meminta tolong padamu?” tanya Riddle yang mulai berpikir akan kemungkinan di balik kasus ini.
“Untuk sekarang belum. Oh ya, namanya Matsushita Aki, dia teman sekelasku,” ucap Seonghun.
Mereka kembali mengangguk-angguk. Berpikir dengan apa hubungan kasus yang semulanya berupa penyerangan kini menjadi pembunuhan. Apa penyerangan itu hanya umpan belaka?
“Entah kenapa sepertinya kasus ini hanya memanfaatkan kehebohan masyarakat dulu sebelum melakukan tujuan utamanya,” ucap Alyx diikuti sebuah anggukan dari Cloud.
“Benar, aku juga merasa apa yang dikatakan kak Alyx benar. Lalu, kalau aku tidak salah pasti kak Aki tinggal di distrik yang sama dengan korban kan?” ucap Cloud meminta konfirmasi dari Seonghun.
“Ya, itu benar. Dan satu informasi lagi, mereka adalah teman sepermainan saat masih kecil.” Seonghun mendapati sebuah seringaian muncul di wajah ketuanya saat ia selesai mengucapkan hasil penyelidikannya.
“Baik, baik, sepertinya hasil akhir sudah didapatkan. Kita akan ke mana ketua?” ucap Seonghun sembari bangkit dari posisinya yang sejak tadi bersandar pada dinding.
“Ke mana lagi? Ke distrik Keiban dan menemui temanmu itu, Seonghun,” ucap Arisa sambil memutar bola matanya. Ia tahu bahwa Seonghun hanya ingin bertanya walaupun Seonghun sudah tahu apa jawaban darinya. Tapi tetap saja, itu seperti membuang-buang waktu.
“Kita menginap tidak?” tanya Yongjin tiba-tiba, kemudian membuang batang lolipop yang sudah habis itu ke tempat sampah di dekatnya. Semua orang menoleh ke arahnya, mencoba menebak jalan pikiran dari gadis yang terkadang serius terkadang tidak itu.
“Yah.. Kan bisa lebih mudah mengawasi daerah itu kan? Lagipula bisa gawat kalau sampai ada korban lagi, terlebih korbannya adalah teman orang ini,” ucap Yongjin ketus seraya menunjuk Seonghun yang entah kapan sudah berada di sampingnya.
“Kalau kau ingin menginap aku bisa mencarikan tempat penginapan di sana, aku lumayan kenal seorang pemilik penginapan di daerah itu. Tapi bukankah kalian masih harus sekolah? Mana mungkin kan kalau kalian meminta ijin hanya untuk menyelidiki kasus ini? Dan juga, apa orang tua kalian akan langsung menyetujui maksud kalian ini? Pikirkan baik-baik, toh kalian bisa menyelidikinya sepulang sekolah. Tak perlu pakai acara inap-menginap,” ucap Riddle panjang lebar mencoba memberi pengertian bagi ketua dan member-member lain yang memang lebih muda darinya.
“Tenang Riddle-nii, itu urusan gampang,” ucap Arisa yang kembali memasang seringai yang lama-kelamaan terlihat menakutkan juga bagi yang lain.
“Jadi?” tanya Cloud mencari kepastian dari senpai-nya itu.
“Tunggu saja besok, tapi aku tidak bisa menjamin kalau kau, Steve, dan Levi bisa ikut,” ucap Arisa sambil menatap Cloud, Steve, dan Levi datar.
“Kenapa tidak bisa? Aku kan juga ingin ikut kak!” protes Steve.
“Kami juga,” jawab Cloud dan Levi bersamaan.
“Baiklah, akan kucoba. Tapi jika nanti malam tak ada pemberitahuan dari pihak sekolah kalian, sudah dipastikan kalau kalian hanya boleh mengikuti penyelidikan ini setelah pulang sekolah. Mengerti?”
Tiga sosok itu mengangguk. Mereka cukup menunggu kepastiannya nanti malam, dan jika tidak ada pemberitahuan apa pun… Selamat datang kembali sekolah tercinta, karena mereka harus menekuni kembali pelajaran-pelajaran itu lagi. Terkadang mereka berpikir, kenapa mereka harus belajar di sekolah? Bukankah dengan belajar secara otodidak tidak masalah?
“Oke, kita mulai penyelidikannya besok,” tegas Arisa kali ini dengan mimik wajah serius, “Dan siapkan apa saja yang harus kalian persiapkan.” Semuanya mengangguk.
“Kalian boleh pulang.”
Sebuah instruksi dari sang ketua langsung dilaksanakan begitu saja. Satu persatu dari mereka segera membubarkan diri untuk pulang ke rumah dan menikmati istirahat mereka setelah kegiatan yang mereka lakukan hari ini. Menyisakan sang ketua yang masih duduk di sofa dengan wajah khawatir.
‘Entah kenapa rasanya kasus kali ini membuatku sedikit cemas,’ batinnya.
“Ah, sudahlah.. Sekarang seharusnya aku harus mengurusi masalah ‘surat ijin’ itu,” ucapnya sembari memakai tas punggungnya.
Ia melangkah keluar dan mengunci pintu basecamp-nya. Memainkan kunci yang mengakibatkan bunyi gemerincing yang terdengar keras di lorong yang sepi itu. Menuju lantai 9 yang terletak tepat di bawah lantai yang tengah dipijaknya itu. Terang saja, rumahnya juga termasuk dalam gedung apartemen yang digunakannya untuk basecamp kelompoknya.
Kelompok detektif.
***
“Ooh… Jadi ini maksudnya kita bisa ‘terbebas’ dari sekolah kita?”
“Hn.”
Kedua gadis itu tengah berdiri di hadapan sebuah bangunan Sekolah Menengah Atas yang walaupun mereka sering melewatinya, baru kali ini mereka bisa masuk ke sekolah itu. Bukan, itu memanglah bukan sekolah mereka. Mereka hanya akan bersekolah di sana selama urusan mereka belum selesai.
“Hey, kalian sudah datang? Bukannya ini masih terlalu pagi?”
Suara seorang pemuda menelusup di telinga mereka. Suara itu memang tidak asing lagi karena pemiliknya adalah Seonghun.
“Tidak apa-apa kan? Kami kan juga ingin tahu seluk beluk sekolah ‘kami’,” ucap salah satu dari dua gadis itu. Ia memakai contact lens berwarna abu-abu dan bando berwarna biru muda yang menghiasi rambut pendek sebahunya. Apakah kalian penasaran siapa dia?
“Dan penampilanmu berubah sekali, Arisa. Kau juga, Yongjin.”
Seonghun menatap penampilan kedua orang gadis di depannya dengan senyum tipis. Inilah yang harus mereka lakukan untuk mencegah orang-orang yang mengenal mereka. Entah hanya sekedar tahu atau malah sangat mengenal mereka. Menyamar. Ya, mereka sedang menyamar dan otomatis mereka harus menyembunyikannya dengan baik jika tak ingin rencana mereka berantakan.
“Hey, Yongjin. Kenapa kau pakai kacamata seperti itu? Kelihatan aneh, dan apa-apaan rambutmu itu? Kau mengecatnya ya?” Bagaikan terjangan peluru yang ditembakkan secara beruntun, pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari mulut Seonghun. Semua itu ditujukan pada gadis yang berada tepat di samping Arisa, Yongjin.
“Kau itu babo atau apa sih? Aku menyamar seperti ini kan juga agar identitasku tidak diketahui! Kan ini demi keberhasilan misi kita kali ini,” ucap Yongjin dengan tatapan meremehkan ke arah Seonghun. Tak lupa juga senyum melecehkan terpatri di bibirnya.
“Yeah.. Terserah padamu sajalah.” Seonghun hanya berbalik dan mulai melangkahkan kakinya yang jenjang ke dalam area sekolahnya. Ya, mereka kini sedang berada di sekolah Seonghun. Jika kau ingin mengungkap sesuatu, berdekatan dengan orang yang bersangkutan akan lebih baik kan?
“Oke, nona-nona, apa kalian mau kuajak tour di sekolah ini? Aku khawatir kalau kalian hanya berdua, kalian akan tersesat dan menangis seperti bayi,” ucap sekaligus ejek Seonghun pada kedua gadis di belakangnya. Arisa hanya tersenyum sinis, sedang Yongjin? Jangan tanya, ia sedang mengepalkan tangannya. Tanya kenapa? Ia sedang menahan amarahnya.
“Cih! Awas kau Seonghun sialan…” Yongjin mendesis pelan dengan segala rutukan yang ditujukan pada pemuda yang berada di depannya. Suara yang cukup pelan, namun masih bisa didengar oleh Seonghun. Begini-begini pendengaran Seonghun termasuk tajam, dan hal itu hanya menyebabkan kikikan kecil dari Arisa. Gadis itu sungguh gemas dengan hubungan kedua temannya itu, terkadang baikan terkadang bermusuhan seperti anjing dan kucing. Hah… Dia saja sampai bingung kenapa dia bisa tahan dengan kelakuan mereka. Sudah terbiasa? Mungkin.
“Baiklah, kau akan membawa kami ke mana dulu?” tanya Arisa, tak ingin situasi seperti ini berkembang menjadi situasi yang lebih “memprihatinkan”. Apa kata-kata itu kurang cocok? Bagaimana kalau “mengkhawatirkan”? Lebih cocok?
“Ke kelasku. Yah.. hitung-hitung kalian akan lebih mengenal kelasku sekaligus kelas Aki. Karena kemungkinan besar kalian tidak akan sekelas dengan kami,” ucap Seonghun datar, “Ayo, ikuti aku,” lanjutnya kemudian berjalan ke lokasi kelasnya berada dengan diikuti Arisa dan Yongjin yang ada di belakangnya.
***
Derapan langkah kaki memenuhi koridor sekolah yang masih kosong. Belum ada seorang pun yang memasuki kawasan sekolah itu kecuali tiga orang remaja yang sedang menuju ruang kelas dari salah satu di antara mereka.
XI Science 4
“Kita sudah sampai.”
Kedua gadis itu ikut berhenti setelah pemuda yang tadi berjalan di depan mereka berhenti. Terlihatlah papan nama kelas yang tepat berada satu meter di atas kepala mereka. Sepertinya ruangan di sebelah mereka inilah kelas Seonghun dan Aki.
“Masuk saja, kalian ingin mencari tahu lebih jauh kan?” ucap Seonghun mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke ruang kelasnya. Ia ingin tahu apa yang akan didapatkan oleh kedua temannya itu. Karena selama ini dia belum pernah memeriksa kelasnya secara mendetail.
“Kalau begitu, bisakah kau tunjukkan mana tempat duduk Aki?”
Arisa mengambil langkahnya ke dalam ruang kelas itu. Sekilas dilihat cukup nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. White board sepanjang kurang lebih dua setengah meter terpasang di depan kelas dan setidaknya ada tiga puluh bangku yang memenuhi kelas itu. Tidak ada Air Conditioner, hanya ada dua buah kipas angin yang terpasang di langit-langit kelas. Ruangannya juga termasuk bersih.
“Iya, aku juga ingin tahu di mana anak itu duduk,” ucap Yongjin sembari mengikuti Arisa masuk. Ia juga tak ingin ketinggalan untuk masalah deduksi seperti ini. Karena ia juga anggota kelompok detektif.
“Bangkunya ada di sana, di dekat jendela dua bangku dari belakang,” ujar Seonghun seraya menunjuk bangku yang masih kosong dengan posisi yang sudah dikatakannya.
“Hmm…”
Perlahan kedua gadis itu mendekati bangku milik Aki. Mereka memeriksa bangku itu dengan seksama. Laci di bangku itu juga diperiksa, tapi hanya berisi buku pelajaran yang mungkin sengaja ditinggalkan oleh Aki sendiri. Mereka yang merasa kemungkinan ada suatu petunjuk di buku-buku pelajaran itu segera membuka buku itu. Membolak-balik setiap halaman dan membaca dengan teliti, tidak semuanya karena mereka hanya mencari halaman yang memiliki catatan dari Aki.
Mereka terus dan terus mencari hingga sebuah interupsi datang dari Seonghun. Apa ada seseorang yang datang?
“Sebaiknya kalian hentikan pencarian ini dulu, aku mendengar langkah kaki seseorang dan sepertinya dia sedang menuju ke sini,” ucap Seonghun pada dua sosok yang masih sibuk mencari hal-hal yang bisa mereka jadikan petunjuk.
“Oh, baiklah,” ucap Arisa sembari mengembalikan buku-buku itu ke tempat semula. Yongjin hanya bisa menurut, namun air mukanya terlihat murung.
“Kau kan bisa mengecek kembali sepulang sekolah, Yongjin. Dan juga kita akan dapat bantuan dari yang lain kan? Sekarang sebaiknya kalian pergi dulu dan segera ke ruang Kepala Sekolah, kurasa beliau sudah datang sekarang,” jelas Seonghun dan kedua gadis itu segera berjalan keluar kelas, melewati Seonghun yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kelasnya.
“Sampai jumpa saat istirahat,” bisik Arisa seraya berlalu dengan Yongjin yang berjalan di sebelahnya. Ia mendengar langkah kaki seseorang, ia berada lima meter di depannya. Seorang pemuda dengan tinggi kira-kira lima senti lebih tinggi darinya. Pemuda itu berjalan dengan santai sambil mendengarkan lagu dari earphone yang dipasang di telinganya. Terlihat bahwa pemuda itu tidak terlalu memperdulikan keadaan sekitarnya. Mungkin karena earphone itu?
Empat meter, tiga meter, dua meter, satu meter lagi mereka akan berisisipan. Pemuda itu tetap tidak menghiraukan dua gadis yang seharusnya menarik perhatian karena mereka adalah “siswa baru” di sekolahnya.
Tiga…
Dua..
Satu.
Lewat begitu saja. Entah Arisa harus bersyukur atau tidak karena sepertinya pemuda itu memang tidak menyadarinya. Yongjin hanya menatap ketuanya dengan tatapan “apa kau baik-baik saja?”, dan agar tak mengkhawatirkan member-nya Arisa mengangguk sembari tersenyum kecil seakan tak terjadi apa-apa. Yongjin mengangguk-angguk dan kembali ke alam pikirannya yang entah sedang memikirkan apa. Kasus kali ini ataukah ucapan “selamat datang” Seonghun yang tadi.
‘Sepertinya aku mengenal anak itu. Tapi benarkah itu dia?’ batin Arisa sembari menopang dagunya ala detektif yang selalu dilihatnya di televisi.
‘Kalau tidak salah, dari name tag-nya anak itu bernama Matsushita Naoto ya?’
Alam pikirannya kini dipenuhi pertanyaan siapakah pemuda yang berpapasan dengannya tadi. Dan apakah dia mengenal pemuda itu sebelumnya. Karena ia juga memiliki teman masa kecil dengan nama yang sama.
‘Naoto-chan?’
***
“Ohayou, Fujikaze Aiko desu, yoroshiku onegaishimasu.”
“Annyeong haseyo, jeoneun Im Seulyeon imnida.”
“Mohon bantuannya!”
Dua gadis itu memperkenalkan diri mereka di hadapan teman-teman baru mereka. Sekilas memang tidak ada reaksi khusus dari penghuni kelas yang akan mereka tempati ini, tapi itu lebih baik jadi mereka tidak perlu repot-repot untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang biasanya akan ditanyakan pada murid baru seperti mereka berdua. Oh ayolah, hidup penuh ketenangan juga impian mereka. Hanya saja mereka bukan termasuk orang yang bisa menjalani kehidupan ini dengan penuh ketentraman. Ingat apa “pekerjaan” mereka?
“Sepertinya sudah cukup perkenalannya, kalian berdua bisa duduk di dua bangku belakang di sana,” ucap seorang laki-laki dewasa sembari menunjuk dua bangku kosong di deretan belakang. Laki-laki itu adalah seorang guru Fisika sekaligus wali kelas dari kelas mereka saat ini, XI Science 1. Itu yang mereka ketahui setelah mendapatkan penjelasan dari kepala sekolah.
“Baik, Sensei,” ucap Aiko–atau sebenarnya Arisa–sebelum pergi ke tempat duduknya.
“Kamsahamnida, Seongsaengnim,” ujar Seulyeon alias Yongjin yang kemudian mengikuti Aiko di belakangnya. Kebetulan bangku mereka bersebelahan, jadi tidak akan susah jika mereka ingin mendiskusikan langkah kerja mereka.
“Baik, sekarang kalian buka buku kalian pada halaman 35,” ucap sang guru Fisika. Murid-murid di kelas itu segera menuruti perintah sang guru. Untung saja buku yang dipakai Aiko dan Seulyeon di sekolah mereka sama dengan buku yang dipakai di sini, jadi mudah saja mengikuti pelajaran di sini.
***
“Bagaimana perkembangannya?” tanya gadis berambut pendek sebahu itu sambil menyesap jus jeruk yang tadi dipesannya. Pemuda yang duduk berhadapan dengannya menghela nafas.
“Belum ada. Sejak dia masuk kelas aku tidak menemukan gerak-gerik mencurigakan darinya,” ucap pemuda itu dengan nada pasrah. Diaduknya mie ramen pesanannya yang mulai dingin. Ia belum memakan ramen itu sesuap pun, mungkin ia terlalu memikirkan kasus kali ini sehingga nafsu makannya sedikit berkurang.
“Kalau begitu awasi dia lagi, dan kalau kau tidak mau makan ramen itu sebaiknya berikan padaku saja,” ucap gadis berkacamata netral yang tengah memakan ramen yang tinggal dua suap lagi.
“Jangan harap aku akan memberikannya padamu. Jika aku melakukannya badanmu akan melar, Yongjin,” ucap si pemuda seraya mulai memakan ramen miliknya.
“Yah! Jangan panggil aku seperti itu, di sini namaku Seulyeon!” protes Yong- bukan, Seulyeon pada pemuda di sebelahnya. Mereka harus pandai-pandai menyembunyikan identitas mereka, dan salah satu pantangannya adalah dilarang menyebut nama asli mereka.
“Ooh… jadi itu nama ‘baru’mu ya? Kalau kau?” ucap si pemuda seakan mengerti kemudian mengalihkan pandangannya pada gadis di depannya.
“Di sini aku adalah Aiko. Kau bisa memanggilku begitu, Seonghun,” jawab Aiko atau Arisa jika kalian ingin tahu nama aslinya.
“Hmm.. kalian benar-benar total ya?” ucap Seonghun yang sudah menghabiskan seluruh ramennya dalam waktu singkat. Jika saja sedang diadakan lomba makan ramen tercepat pasti Seonghun akan menang. Lihat saja, Seulyeon yang seharusnya sudah menghabiskan ramennya dari tadi malah masih belum menghabiskannya.
“Hey, kalau kau tidak mau berikan saja ramen itu padaku,” ucap Seonghun hampir persis dengan ucapan Seulyeon tadi. Rasanya Seulyeon termakan oleh ucapannya sendiri.
“Sebentar lagi aku juga akan menghabiskannya!” seru Seulyeon kesal. Dengan cepat ia memakan ramennya hingga tak bersisa.
“Lihat, sudah habis kan? Kalau begitu aku akan bayar ramenku dulu,” ujar Seulyeon masih dengan nada kesal walaupun sudah sedikit mereda. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke meja kasir di kantin itu.
“Terkadang aku bingung dengan sikapnya yang seperti itu,” desah Aiko sambil menyingkirkan gelas jus yang isinya sudah habis itu.
“Ya, aku juga. Hey, bagaimana dengan Cloud, Steve, dan Levi? Apa kau membuatkan ‘surat ijin’ untuk mereka?” tanya Seonghun pada Aiko. Orang yang diberi pertanyaan hanya menghela nafas berat.
“Tidak bisa. Kau tahu kan kalau sekolah mereka itu peraturannya sangat ketat? Padahal aku sudah memberikan alasan yang paling logis pada kepala sekolah mereka, tapi tetap saja tidak diperbolehkan. Haah… kalau begini aku merasa bersalah pada mereka, walaupun aku sudah mengirimkan pesan tentang hal itu,” ucap Aiko dengan wajah menyesal.
“Yah… apa boleh buat kan? Tapi menurutku kau sudah melakukan hal yang benar kok,” ucap Seonghun berusaha menyemangati leader-nya yang terlihat depresi.
“Kau benar…”
Mereka berdua terdiam, tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. Tidak ada satu pun perkataan keluar dari mulut mereka. Masing-masing berpikir kenapa mereka ditinggal berdua? Mereka kan orang yang sama-sama bertipe introvert, mana mungkin mereka bisa membangun pembicaraan mereka sendiri? Sepertinya harus ada seseorang yang mengalah untuk mencairkan suasana.
“Umm.. Seonghun?” ucap Aiko pelan, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya pada Seonghun sejak tadi. Perasaan mengganjal ketika ia bertemu dengan “anak itu” tadi pagi.
“Ya? Ada apa?” tanya Seonghun. Ia merekam dengan jelas pada ingatannya ekspresi Aiko saat ini. Wajahnya terlihat seperti orang yang kebingungan. Apa ini tentang kasus mereka?
“Kau… kenal dengan anak yang bernama Matsushita Naoto?” tanya Aiko to the point. Kalau bisa dibilang tidak ingin basa-basi, ya memang begitu.
Seonghun menaikkan satu alisnya. Ia mencoba mencari berbagai kemungkinan yang menyebabkan Aiko bertanya soal teman sekelasnya itu. Ya, Naoto adalah teman sekelas Seonghun, sayang dia tidak terlalu mengenal anak yang terkenal akan kecuekannya itu. Naoto termasuk anak yang jarang sekali bergaul dan lebih sering menghabiskan waktunya dengan mendengarkan musik melalui earphone-nya atau bermain game dengan notebook-nya. Setidaknya itu yang Seonghun tahu berdasarkan kegiatan keseharian Naoto di kelas.
“Ya, aku tahu dia, tapi aku tidak terlalu mengenalnya. Dia teman sekelasku, memangnya ada apa?” tanya Seonghun penasaran. Sejujurnya ia tidak pernah mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh leader-nya itu. Terkadang gadis itu pendiam, terkadang cerewet, terkadang terlihat sangat kuat, namun juga bisa terlihat sedih hingga murung berhari-hari. Entahlah, leader-nya memang misterius dan moody kalau ia boleh memberikan pendapat.
“Ah, bukan apa-apa. Hey Seulyeon! Ayo kembali ke kelas!” ucap Aiko yang kemudian memanggil Seulyeon yang masih membayar di kasir untuk mengalihkan pembicaraannya. Yang merasa dipanggil segera menoleh dan mengangkat kedua tangannya setinggi dada kemudian melebarkan jari-jarinya. Isyarat agar Aiko menunggunya sebentar lagi.
“Baiklah… Jadi, Seonghun, sampai ketemu sepulang sekolah,” ucap Aiko sebelum berdiri dan berjalan menghampiri Seulyeon. Seonghun terus mengawasi gerak-gerik Aiko hingga gadis itu menghilang dari pandangannya, kembali ke kelas bersama Seulyeon.
“Hey, Leader-ssi, sepertinya aku punya kerjaan sampingan.”
Seonghun segera pergi dari lokasi kesukaan semua murid itu. Dengan senyuman misterius terpasang di bibirnya. Memasukkan tangannya di saku celana panjangnya. Bersiul pelan dengan menutup matanya menikmati alunan nada yang keluar dari mulutnya.
***
“Kak Arisa! Kak Yongjin! Kak Seonghun!”
Panggilan dari tiga anak SMP itu terdengar jelas oleh tiga orang yang telah disebutkan namanya tadi. Mereka berlari kecil dan salah satu dari mereka melambaikan tangannya agar keberadaan mereka bisa diketahui tiga orang itu. Meskipun sebenarnya tidak perlu karena jarak mereka sudah cukup dekat dengan tempat tiga orang itu menunggu, di depan sekolah Seonghun.
“Ah, kalian sudah datang?” Seseorang dari tiga remaja yang menunggu itu menghampiri tiga junior mereka yang sedang mengatur nafas setelah berlari dari halte bus yang jaraknya kira-kira setengah kilo dari sekolah mereka. Ia mengawasi ketiga junior-nya yang terlihat kelelahan, wajah mereka pucat.
“Seonghun! Ambilkan air minum di tasku!” serunya pada seorang pemuda yang masih berdiri di dekat pintu gerbang sekolah.
“Arasseo…”
Pemuda itu segera mengambil tas hitam yang disenderkan oleh pemiliknya di gerbang. Membuka resleting tas itu dan mengambil botol berisi air mineral. Ia menuju ke tempat ketiga anak SMP itu kemudian menyerahkan botol itu pada orang yang memanggilnya tadi.
“Gomawo! Nah, kalian minum dulu,” ucap sosok itu sembari memberikan air minumnya pada salah satu dari tiga anak itu. Dengan bergiliran mereka meminum air itu, rasanya mereka seperti hidup kembali setelah larutan itu masuk ke kerongkongan mereka.
“Terima kasih, kak Yongjin!”
“Thanks, kak.”
“Makasih, kak.”
“Cheonmaneyo~!”
Gadis yang dipanggil Yongjin oleh anak pertama itu tersenyum lima jari. Sedikit kebaikan akan menaikkan derajatmu di mata orang lain. Yeah, kalian tahu itu kan?
“Oke, kalian sudah siap kan? Ayo ikut kami.” Gadis yang paling diam segera kembali memasuki area sekolah dengan lima orang mengikutinya. Ia berjalan dengan tenangnya, menapak tanah lapang berukuran panjang 50 meter dan lebar 30 meter itu. Kurang lebih tinggal 10 meter lagi ia dan anggotanya tiba di area gedung sekolah, dan tibalah waktu untuk penyelidikan pertama pada kasus ini. Bersiaplah para detektif muda!
***
“Nah, perkenalkan dia adalah Matsushita Aki.”
“Salam kenal.”
Perkenalan diri klien mereka berlangsung cepat. Tidak, mereka tidak perlu tahu data yang lain karena mereka sudah menyelidikinya sebelumnya. Berterimakasihlah pada member yang ahli dengan bidang IT sehingga mereka bisa membobol atau istilah kerennya meng-hacking data sekolah gadis yang menjadi klien mereka saat ini.
“Jadi? Apakah kami bisa bertanya tentang kasus ini, kak Aki?” ucap gadis berkacamata frame magenta. Aki, si klien mengangguk setuju. Ia hanya ingin mimpi buruknya segera berakhir.
“Okay.. Jadi, kapan tepatnya kakak mendapatkan telepon itu? Dan apa kakak pernah mendengar suara orang yang menelepon kakak?” tanya seorang anak laki-laki berkacamata, Cloud. Tumben-tumbennya dia memakai kacamata, karena biasanya dia memakai contact lens sehari-hari.
“Kejadiannya baru-baru ini, kalau tidak salah tiga hari yang lalu. Aku tidak tahu siapa yang meneleponku, sepertinya dia memakai alat pengubah suara waktu menelepon. Tolong, cepat selesaikan kasus ini, aku sungguh takut…” Suara Aki bergetar. Ia takut, ia sangat takut akan keselamatan hidupnya.
“Tenang, kami akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Untuk sementara waktu kami akan mengawasimu, kami akan tinggal di dekat rumahmu. Itu lebih baik daripada kau sendirian, ya kan?” ucap sang leader tenang. Itulah satu-satunya cara yang dipikir bisa menyelesaikan kasus ini, mungkin.
“Jadi Arisa.. kita benar-benar akan menginap di dekat rumah Aki?” tanya Yongjin yang merasa idenya diterima dengan baik oleh Arisa. Ya, saat ini mereka tak memakai nama samaran mereka. Alasannya? Mereka sudah memeriksa sekolah ini sebelumnya dan tak ada seorang pun kecuali mereka dan klien mereka, jadi aman-aman saja kalau mereka menggunakan nama asli mereka.
“Ya… Aku sudah menghubungi Riddle-nii tadi, dan dia sudah setuju. Dan untungnya penginapannya dekat dengan rumah Aki, itu adalah bantuan yang sangat besar bagi kita,” jelas Arisa dengan senyum tipisnya. Ia berharap rencana mereka akan berlangsung baik. Dan semoga tak ada halangan apa pun. Semoga.
“Yah! Kenapa Cuma kalian berdua saja yang menginap? Kenapa kami tidak diajak!?” Pernyataan protes keluar dari mulut Steve. Ia masih belum terima jika ia tidak diperbolehkan mengikuti senior-senior-nya untuk menyelidiki kasus secara dekat.
“Steve, kau tidak tahu ya kalau kak Arisa sudah mengirimi kita pesan kemarin malam? Kak Arisa sudah berusaha membujuk Kepala Sekolah, sayang gagal. Terima sajalah, paling tidak kita kan bisa membantu sepulang sekolah,” komentar Cloud yang dengan sadar atau tanpa sadar mematahkan harapan Steve. Untuk soal seperti ini memang sering terjadi antara mereka, dan entah mereka tahu atau tidak, duo senior fujoshi mereka sudah berteriak kegirangan jika mereka sedang tidak berdiskusi masalah penting. Tepuk tangan untuk pengendalian diri yang bagus dari kedua senior mereka.
“Oke… Maaf saja kalau aku tidak tahu soal itu! Salahkan handphone-ku yang mendadak mati begitu saja! Dan sialnya pulsaku juga habis!” gerutu Steve sambil mem-pout-kan bibirnya. Dua orang senior mereka hanya menahan nafas serta diri mereka agar tak memikirkan hal-hal yang “membahayakan”. Mereka menunggu reaksi dari Cloud yang sepertinya tenang-tenang saja menghadapi Steve.
“Kalau begitu charge dulu sebelum baterai itu habis. Kau kan punya banyak waktu sebelum dihubungi kak Arisa? Gunakan waktu itu sebaik mungkin, dasar ceroboh,” ucap Cloud pedas.
Merasa kalau jika hal ini tetap dibiarkan akan semakin parah, sang leader segera mengeluarkan titah mutlak bagi anggotanya. Tugas.
“Ya ya… Aku mengerti Steve, aku juga sudah berusaha tapi Kepala Sekolah kalian saja yang tidak mudah dibujuk. Aku minta maaf soal itu, dan sekarang sebaiknya kita bagi tugas saja,” ujar Arisa datar.
“Pembagian tugas kak?” tanya Levi mencari kepastian.
“Hn. Kalian bertiga tolong cari informasi apa saja soal kasus ini. Entah dengan meng-hack atau menanyakan pada warga, jelas? Lalu kami bertiga yang akan mengawasi Aki karena bisa saja pelakunya juga tinggal di dekat tempat tinggal Aki. Kalian paham kan?” tanya sekaligus perintah Arisa.
“Baik…” jawab semua serempak. Mereka tak mungkin bisa memprotesnya. Apakah tadi sudah dituliskan kalau leader mereka yang satu ini sifatnya tak mudah ditebak? Sudah? Baguslah kalau begitu.
“Nah, Aki-san, sekarang lebih baik kita pulang bersama-sama saja. Aku dan Yongjin akan menemanimu. Dan kalian juga sudah boleh pulang,” ucap Arisa sambil memandang satu persatu lawan bicaranya.
“Oh.. Kalau begitu kami pulang dulu kak, kami ada tugas kelompok,” ucap Cloud datar kemudian pergi dengan Steve dan Levi yang mengekor di belakangnya. Arisa mengangguk dan mengawasi ketiga kouhai-nya yang sudah pergi dari hadapannya.
Untuk urusan vice leader sepertinya Arisa lebih mempercayakannya pada Cloud, lagipula jika dia, Yongjin, dan Seonghun kuliah nanti, siapa yang akan meneruskan agency mereka ini? Terlebih jika mereka benar-benar kuliah di luar kota, akan sangat jarang sekali mereka menyambangi agency ini. Mereka harus fokus dan bahkan mungkin saja waktu mereka untuk bebas seperti ini tinggal satu tahun lagi, karena kesibukan belajar mereka di kelas tiga akan menyita banyak waktu, dan waktu luang mereka digunakan untuk apa? Tentu saja belajar untuk menghadapi Ujian Nasional yang hanya berlangsung beberapa hari tapi sangat menentukan bagaimana masa depanmu. Lulus? Ataukah gagal? Itu semua terserah pada kalian.
Oke, kembali ke topik semula.
“Jadi… ayo kita pulang!” ajak Yongjin semangat. Ini pertama kalinya dia menginap di tempat lain karena sebuah kasus. Sebut saja ia berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. Selama ini setiap menyelidiki kasus, mereka tidak pernah menyewa penginapan, dan yang mereka lakukan hanya menyelidiki lewat hacking dan datang ke tempat klien sepulang sekolah. Yah… mirip dengan apa yang dilakukan junior mereka sekarang.
“Tapi kalian akan benar-benar mengawasiku kan?” tanya Aki cemas. Sejujurnya ia masih khawatir dengan semua kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Ia bertaruh akan nyawanya sekarang, dan tak ada jalan untuk kembali. Ia harus siap menghadapi semuanya.
“Tentu saja! Ya kan Arisa? Seonghun?” ucap Yongjin untuk meyakinkan Aki. Kedua orang yang ditanyainya menjawab dengan anggukan kecil.
“Lihat! Mereka sudah menjawab kan? Jadi jangan khawatir! Seonghun akan melindungimu dengan segenap tenaganya!” ucap Yongjin asal dan otomatis mendapatkan death glare dari Seonghun.
“Apa? Kau marah?” tanya Yongjin yang menyadari tatapan tak mengenakkan dari Seonghun.
“Tidak, lupakan saja. Ah, aku sudah boleh pulang kan? Aku lelah,” elak Seonghun dengan mencari alasan untuk pulang. Kau tahu Seonghun, kau adalah orang yang cukup mudah ditebak.
“Oke, mari kita pulang,” ajak Arisa seraya berjalan keluar kelas diikuti ketiga orang di belakangnya.
Ia tak tahu, bahwa masih ada seorang lagi di area sekolah itu. Seseorang yang telah mendengar semua pembicaraan mereka. Seseorang dengan handphone di tangannya, dengan rekaman suara yang sudah disimpannya.
“Jadi… Dia adalah…”
***
“Haaah…”
Entah sudah berapa kali gadis itu berguling tak nyaman di atas kasurnya. Memang benar kalau dia sedang tidak berada di rumahnya sendiri, karena rumah sendiri adalah tempat ternyaman baginya. Home sweet home. Tapi biasanya ia selalu mudah tidur walaupun tidak berada di rumahnya. It’s strange…
“Hey, Arisa… Sampai kapan kau mau berguling terus menerus seperti itu? Aku mau tidur.” Seorang gadis lain yang tidur di kasur di atas gadis itu mengeluh. Ah ya, tempat tidur mereka bertingkat, jadi wajar saja kalau gadis itu terganggu akan gerakan Arisa, gadis yang sedari tadi bergulingan itu.
“Maaf… Kau tidur saja, aku tidak akan mengganggumu lagi.”
“Baguslah.. Selamat tidur.”
“Hn.. Selamat tidur, Yongjin.”
Hening. Hanya ada suara dengkuran halus dari Yongjin. Gadis itu cepat sekali tidurnya, paling tidak itu yang ada di pikiran Arisa. Sedangkan Arisa, sama sekali belum bisa menutup matanya. Maybe insomnia?
“Rasanya ada yang tidak beres, tapi apa?” bisiknya halus. Kalau boleh jujur, ia merasa ada yang aneh pada kasus ini. Ataukah dirinya sendiri? But she swears there’s something wrong.
Ia terbangun dari posisi tidurnya, menggerakkan dirinya untuk duduk di tepi tempat tidur. Memandangi tasnya dengan pandangan sendu. Memutuskan untuk menghampiri tas yang tergeletak bersandar pada almari di kamarnya. Mengambil sebuah buku berwarna biru tua dan membawanya ke tempat tidurnya, kembali merebahkan diri di atas kumpulan kapuk yang empuk itu. Membuka-buka tiap halaman yang sudah agak kekuningan, sepertinya buku itu sudah dimilikinya sejak lama.
“Sudah lama tidak bertemu… Gomen ne…”
Buku itu diletakkannya di samping bantalnya. Berharap ia bisa tertidur dengan semua kenangan yang baru saja diliriknya kembali. Masa lalunya.
“Aku ingin bertemu dengannya, sekali lagi, walaupun cuma dalam mimpi. Ya, itu cukup,” Arisa menutup kedua kelopak matanya, “Aku ingin bersama kalian lagi.”
Dan ia pun tertidur lelap. Mengharapkan apa yang terjadi pada dirinya hari ini tidak nyata. Bukan, bukan semuanya. Hanya sebagian, karena ia yakin mereka tidak mungkin kembali lagi. Karena ia melihat mereka “pergi” dengan mata kepalanya sendiri. Membuatnya harus mengeluarkan butiran-butiran air matanya di masa lalu.
Ia menangis. Benar-benar menangis.
***
…To Be Continue…
Author’s Note:
Too long?
Oke, saya akui itu. So, tunggu saja bagian lain dari case pertama ini, semoga saja hanya twopart *semoga*. Karena ide saya terkadang bisa datang tiba-tiba seperti banjir bandang dan terkadang juga bisa seperti keran air yang mampet. Tapi tenang saja, akan saya usahakan case pertama bisa selesai secepatnya.
Then, bye see you on the next part~
Sign,
Anita Kazahana
0 Comment:
Posting Komentar