Selasa, 17 April 2012

Detective Case File (Case 1: Mysterious Call ~Deduction~)

Detective Case File
(Case 1: Mysterious Call ~Deduction~)

~~~***~~~
By: Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mistery, Crime, Friendship, -little bit- Romance
Warning: Membuat anda pusing tujuh keliling karena ketidakjelasan cerita yang diakibatkan kapasitas otak Author yang minim(?)
Disclaimer: Nama-nama yang saya ikutkan di cerita ini milik orang-orang yang merasa telah saya curi(?) namanya, juga kepribadian mereka yang saja OOC-kan dengan nistanya, terutama orang-orang yang kenal dengan saya.
~~~***~~~

“Apa dugaanmu?”
“Pelakunya, huh?”
“Ya…”
“Tidak salah lagi, pasti orang itu.”
***
“Selamat pagi
“Ah, selamat pagi. Apakah tidur kalian nyenyak?”
Kedua gadis yang sudah bersiap untuk pergi ke sekolah itu duduk di meja makan yang telah tersedia beberapa macam masakan sebagai menu sarapan mereka. Dan orang yang menyapa mereka tadi adalah sang pemilik rumah dari rumah yang sedang mereka tempati sekarang.
“Ya, terima kasih karena sudah mengizinkan kami untuk tinggal di sini, Mizushima-san,” ucap salah seorang dari gadis itu–yang memakai bando–kepada sang pemilik rumah.
“Tidak apa-apa, bibi sebenarnya juga sangat kesepian karena harus tinggal sendiri di rumah ini. Jadi bibi senang ketika kalian tinggal di sini,” ucap bibi Mizushima tersenyum manis.
Memang, dari awal mereka berdua sudah merasa ada yang aneh. Kenapa bibi Mizushima tinggal sendirian di rumah yang tergolong cukup besar ini? Apakah dia tidak memiliki suami ataupun anak? Entahlah. Karena ketika mereka datang di rumah ini tak ada satu pun foto atau benda yang menunjukkan pernah adanya penghuni lain di rumah itu selain bibi Mizushima.
“Hmm.. Mashita! Mizushima-ahjumma pandai memasak ya!” seru gadis yang lain. Kali ini gadis itu menguncir pony tail rambut merahnya. Ia mengecatnya, ingat?
“Tidak juga, setidaknya bibi bisa membuatkan lagi sarapan untuk kalian,” ucap bibi Mizushima seraya memakan kembali sarapannya.
‘Lagi?’
“Lebih baik kalian segera habiskan sarapannya, nanti kalian terlambat,” ucap bibi Mizushima lembut. Ucapannya seperti sedang menasehati anak-anaknya sendiri.
“Hm, kalau begitu kami berangkat dulu, Mizushima-san. Terima kasih atas makanannya, Ittekimasu.”
“Kami berangkat dulu ya, Mizushima-ahjumma!”
“Ya, hati-hati di jalan!”
Bibi Mizushima melambaikan tangannya untuk mengiringi kepergian mereka berdua dengan senyum merekah di bibirnya. Namun ketika sosok kedua gadis itu sudah hilang dari pandangannya, senyuman itu hilang. Hanya ada mimik datar yang terlukis di wajahnya.
***
“Jadi.. Bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” tanya gadis berambut merah itu sambil menyesap orange juice yang dipesannya. Ia membolak balik manga yang sejak tadi dibacanya tanpa terlalu memperhatikan sosok pemuda yang duduk tepat di depannya. Dan jangan lupa seorang gadis lagi yang sedang menopang dagunya hanya untuk melamun, dan otomatis dia juga tak menghiraukan pemuda itu. Ngomong-ngomong, dia–mereka berdua– memang tidak menghiraukannya.
Ya! Dari tadi kalian diam saja dan tidak mendengarkan perkataanku kan?” desah pemuda itu seraya memijat keningnya. Ia pusing melihat tingkah dua orang di hadapannya.
“Aku mendengarkan kok, tapi kalau untuk dia aku tidak tahu,” jawab gadis berambut merah sedikit mengerling ke sosok di sebelahnya yang masih saja melamun. Gadis itu menghembuskan napas, “Sejak kemarin dia sudah begitu, sudahlah biarkan saja dia, mungkin cuma kelelahan.”
“Ooh..”
Hening.
Sumimasen, apa aku boleh bergabung dengan kalian?”
“Kau..?”
Seseorang menghampiri meja ketiga orang itu. Ia melepas earphone yang tadi digunakannya untuk mendengarkan musik dari handphone-nya. Senyum ramah terpasang di wajahnya, ia menarik satu kursi yang tersisa dan mendudukinya.
“Mau apa kau ke sini?” tanya seorang gadis yang langsung bangkit dari alam pikirannya setelah mengetahui sosok yang kini sudah duduk tepat di depannya. Yang sekarang tengah menatap dirinya.
“Hmm.. Apa begitu sambutanmu untukku? Fujikaze Aiko?” tanya pemuda itu santai, “Ah, bukan, Ninomiya Arisa, ya kan?”
Dan kedua orang yang lain mengalihkan perhatian ke arah pemuda itu. Matsushita Naoto.
“Temui aku sepulang sekolah nanti, di atap sekolah.”
Setelah mengatakan itu, Arisa segera meninggalkan area kantin bersama Seonghun dan Yongjin yang mengikutinya. Sedang Naoto tengah menyeringai melihat reaksi dari Arisa. Melihat gadis itu menghilang dari pandangannya.
“Tenang saja, aku akan datang.”
***
“Hey, Aiko, kenapa dia bisa tahu jati dirimu yang sebenarnya? Bukankah kita hanya bertemu dengannya sekali?” tanya si gadis berambut merah, Yongjin. Atau untuk amannya, Seulyeon.
“Entah, aku juga tidak tahu,” jawab Aiko sedikit malas.
“Apa kau mengenalnya, Arisa?” ucap Seonghun yang membuat gadis bernama Aiko itu menghentikan langkahnya, berbalik menatap Seonghun.
“Tidak,” jawabnya cepat dan datar, “Kalau kalian tidak keberatan, aku pergi dulu. Silahkan kalian berduaan dulu, aku ingin sendirian.”
Kedua orang yang ditinggal Arisa itu kini sedang termenung antara kesal dan malu. Kesal karena Arisa, gadis yang meninggalkan mereka berdua itu tak mau menceritakan masalahnya pada mereka. Lalu… Malu… Untuk apa? Apa karena mereka hanya berdua saja?
Err… Kalau begitu kita ke tempat Aki saja, dia butuh pengawasan dari kita,” ucap Seonghun grogi. Ah.. Sudahlah.
Na-nae.. Sebaiknya juga begitu, kita biarkan Arisa menyelesaikan urusannya,” balas Yongjin agak terbata.
“Ya, ayo…”
***
Hembusan angin yang cukup kencang menggerakkan helaian rambut pendeknya. Sedikit menutupi matanya yang tengah memandangi sosok yang berdiri tak jauh darinya. Seseorang yang mengetahui siapa dirinya.
Sosok itu melangkah, berjalan dari tempatnya semula ke tempat gadis itu berdiri. Menyunggingkan senyum dengan tatapan mengisyaratkan kerinduan. Kepedihan. Seakan ia baru saja menemukan sesuatu yang pernah mengisi kehidupannya akhirnya kembali lagi ke sisinya. Dan “sesuatu” itu adalah…
“Berhenti di situ,” ucap gadis itu tiba-tiba. Dan sosok pemuda yang hanya berjarak satu meter darinya itu langsung berhenti. Mendengarkan apa yang dikatakan gadis itu.
“Sekarang, katakan apa yang kau ketahui tentang kami, Naoto.”
“Apakah harus?” tanya Naoto, si pemuda itu.
“Ya, dan aku tidak punya banyak waktu,” ucap Arisa, gadis itu datar.
“Hm, yang aku tahu adalah kalian membentuk agency detektif dan sekarang kalian sedang mencari tahu tersangka dari kasus pembunuhan yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dan juga kemungkinan sasaran dari pembunuhan kali ini adalah teman sekelasku, Matsushita Aki. Apa aku salah?” jelas Naoto tenang. Memang untuk saat ini hal itulah yang diketahuinya. Tapi ia ingin tahu. Lebih.
“Hanya itu?” tanya Arisa tak yakin. Ia masih ingin mengorek semua informasi yang diketahui oleh Naoto.
“Ya, aku tidak bohong.” Naoto menjawab tanpa keraguan.
“Begitu ya? Lalu apa yang akan kau lakukan setelah tahu apa tujuan kami, hn?” tanya Arisa lagi, “Apa kau berniat untuk membocorkan hal ini?”
“Tidak,” ucap Naoto seraya tersenyum, “Aku ingin membantu kalian.”
Arisa menatap Naoto tajam. Ia tidak menyangka akan jawaban Naoto. Dalam hatinya ia tak ingin ada orang lain yang terlibat, oleh karena itu dia menyamar seperti sekarang.
“Untuk apa?” Arisa menundukkan kepalanya. Naoto hanya mendengus, ia melangkah kembali dari posisinya.
“Kubilang berhenti!”
Naoto menghentikan langkahnya. Sekarang dirinya hanya berjarak beberapa puluh senti lagi dari Arisa. Ia memandang Arisa sayu.
“Kalau kau terlibat lebih jauh, kau akan tahu akibatnya. Karena itu kusarankan agar kau diam saja dan jangan lakukan apa pun yang berhubungan dengan kasus kali ini, termasuk membantu kami,” ujar Arisa sembari berbalik meninggalkan Naoto yang tengah terpaku melihat sosok Arisa.
Jaa na.”
Blam!
Pintu itu tertutup. Pintu menuju atap itu tertutup. Membiarkan Naoto kehilangan sosok Arisa di balik pintu itu. Membiarkan pemuda itu menatap sosok yang sudah tak terlihat lagi oleh matanya.
“Walaupun kau bilang begitu, mana mungkin aku lari begitu saja?” Naoto mengarahkan pandangannya ke langit. Ia tersenyum, “Aku yakin akan keputusanku.”
***
“Gawat Arisa!!!”
Dari arah depan, terlihat tiga orang tengah berlari ke arah Arisa. Ketiganya terlihat sangat khawatir. Gadis itu hanya tertegun melihat dua orang member dan kliennya yang berlari ke arahnya.
“Ada apa? Kalian bertiga kenapa?” tanya Arisa mengerutkan keningnya. Melihat dua orang yang tadinya baik-baik saja sebelum ditinggal olehnya dan sekarang kelihatan sangat kacau dan ketakutan bukankah itu aneh?
“Aku baru saja mendapat telepon dari Cloud kalau telah terjadi pembunuhan di dekat rumahnya! Dan cara pembunuhannya juga sama seperti saat itu!” seru Seonghun.
“Apa?! Kenapa bisa? Bukannya…”
“Yang penting ayo kita segera ke sana!” ajak Yongjin.
“Baik. Aki, kau ikut?” tanya Arisa pada kliennya. Aki mengangguk.
“Ya sudah, ayo kita berangkat.”
***
Daerah pemukiman itu masih penuh dengan warga yang berkerumun. Polisi juga lalu lalang di daerah itu. Telah terjadi pembunuhan, dan pembunuhan ini sama dengan pembunuhan sebelumnya.
“Cepat kalian periksa tempat ini, cari semua bukti-bukti yang ada!”
Seorang laki-laki paruh baya berjas coklat panjang menginstruksi sekumpulan polisi yang diketahui bertugas sebagai anggota tim forensik. Ia adalah seorang inspektur kepolisian di daerah itu. Kalian tahu dia siapa?
“Jonghun-ahjussi!”
“Ah, Seonghun-ie! Ada apa? Kenapa kau di sini?”
Seorang pemuda dan tujuh orang yang mengikutinya berlari ke arah inspektur polisi itu. Ya, dia-lah paman Seonghun.
“Aku ditelepon oleh dia, katanya di sini ada kasus pembunuhan. Benarkah itu, Ahjussi?” tanya Seonghun sambil menunjuk Cloud di sebelahnya.
“Ya, korban kali ini juga yeoja. Ah, sebaiknya kalian ikut ahjussi saja agar lebih jelas,” ucap pak Jonghun menggiring delapan remaja itu ke suatu tempat.
***
“Begitu.. Sepertinya pelakunya adalah orang yang sama,” ucap seorang anak laki-laki sambil mengusap dagunya. Ia mengangguk-angguk seakan ia sudah mengerti semuanya.
“Aww!”
“Bodoh, kalau itu sudah jelas kan? Dari awal memang pelakunya adalah orang yang sama,” ucap seorang anak laki-laki berkacamata setelah menggetok kepala anak tadi dengan gulungan kertas yang dibawanya.
“Sudah cukup, hentikan kelakuan kalian,” ucap Arisa kepada dua anak laki-laki tadi, Cloud dan Steve. “Jadi Jonghun-san, korban kali ini adalah siswa SMA dimana Aki bersekolah kan? Namanya Kaneda Ayumi, murid kelas XII.”
“Benar, dia adalah sunbae Seonghun-ie. Tapi selama kalian bersekolah di sana, kenapa kalian tidak menyadari korban?” tanya Mr. Park atau pak Jonghun.
Mianhamnida, ahjussi. Kami tidak menyadari kalau ternyata Ayumi-eonni yang menjadi korban selanjutnya, kami kira yang menjadi korban berikutnya adalah Aki,” ucap Yongjin penuh penyesalan. Wajahnya menunduk, ia tak berani melihat semua orang di sekelilingnya.
“Bukan begitu, ahjussi tidak menyalahkan siapapun. Oh ya, apa selama di sekolah korban berlaku tidak seperti biasanya?”
“Tidak, ahjussi. Menurutku Ayumi-noona tidak berlaku aneh,” ujar Seonghun mantap.
“Kakak yakin?” tanya Levi tak yakin.
“Ya, karena aku selalu update soal gosip ataupun pemberitaan di sekolah. Pekerjaanku kan seperti itu,” ucap Seonghun sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, “Tapi aku sempat dengar kalau ada siswa lain yang mendapat telepon itu selain Aki, kukira itu hanya gosip tapi ternyata benar.”
“Dan kenapa kau tidak mengatakannya pada kami hah?!” seru Yongjin tiba-tiba, mengagetkan semua yang ada di sana. Sorot matanya tajam mengarah pada Seonghun.
“Aku tidak tahu! Yang aku tahu hanya Aki yang mendapat ancaman itu!” balas Seonghun tak kalah keras.
Maa.. maa.. Kakak-kakak berhentilah dulu, jika kalian seperti ini kita tidak mungkin menemukan jalan keluar dari kasus ini,” ucap Izaaq santai. Mari kita anggap dia tidak peduli soal apa pun kecuali kasus dan urusannya sendiri.
“Kau santai sekali, Izaaq,” timpal Levi. Anak perempuan itu menyeringai penuh arti pada Izaaq.
“Jadi Jonghun-san, siapa saja yang dekat dengan kedua korban?” Arisa bertanya dengan nada serius. “Atau bisa saya bilang, tersangkanya?”
Sekarang waktunya untuk penyelidikan yang sebenarnya.
Nae.. Yang pertama adalah Matsuda Akahito, kakak kelas kalian sekaligus pacar korban, Ayumi dan mantan pacar korban pertama.”
“Kedua?”
“Hmm.. Mungkin kalian sedikit tak percaya, tapi orang itu adalah Mizushima Yuki. Orang yang saat ini kalian tinggali kediamannya.”
Jeongmal yo?” Yongjin membelalakkan matanya. Ia tidak percaya jika bibi Mizushima dekat dengan kedua korban.
“Lalu ketiga?” Arisa menatap Mr. Park datar. Mr. Park hanya mengalihkan pandangannya pada salah seorang di ruangan itu.
“Anda, Matsushita Aki-ssi. Anda dulu adalah teman baik mereka saat SMP kan?”
Semuanya segera memfokuskan diri mereka pada Aki. Ya, klien sekaligus salah seorang yang dicurigai sebagai tersangka. She’s a suspect.
“Bisa kakak ceritakan pada kami tentang hal ini, kak Aki?” Cloud menajamkan tatapannya. Ia sudah dalam mode “interogasi” saat ini. Akan ia tanyakan apa pun, semua yang berkaitan dengan kasus-kasus yang dihadapinya. Semua.
“Ceritakan saja, tidak apa-apa kok, kak,” ucap Levi halus agar Aki bisa sedikit tenang.
“Baik, sebenarnya kami bertiga adalah teman akrab saat SMP,” jelas Aki perlahan, “Tidak, sebenarnya kami adalah teman sepermainan saat masih kecil. Tapi karena Ayumi termasuk anak yang cerdas, akhirnya kami tidak bisa seangkatan, jadi aku dan Ai berada setingkat di bawahnya.”
“Cuma itu kak?”
“Steve! Diam sebentar, dia belum selesai.”
“Tapi meskipun begitu kami tetap berteman baik, sampai suatu ketika…”
Aki menghentikan penjelasannya. Levi yang tengah mencatat semua keterangan yang diperolehnya juga ikut berhenti.
“Sampai apa?”
“Kejadian yang membuat kami tidak dekat lagi seperti dulu,” Aki menggigit bibir bawahnya, “Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi…” Gadis itu menutup wajahnya. Terisak.
“Kalau kau tidak mau melanjutkannya tidak apa-apa, kami mengerti,” ucap Yongjin sambil mengusap pundak Aki untuk menenangkannya.
“Tapi kak-!”
“Sudahlah Cloud, lebih baik kita pergi ke tempat kedua tersangka yang lain, kau setuju ‘kan?”
Kali ini giliran Seonghun yang menenangkan junior-nya. Ia sudah mengenal kepribadian semua member di kelompoknya, hanya beberapa saja yang tak ia mengerti jalan pikirannya. Terlalu kompleks menurutnya.
“Baiklah,” Cloud menurut, “Lalu selanjutnya kita akan kemana kak?” Cloud menyambung ucapannya, baginya ini belum cukup.
“Terserah kalian saja,” ucap Arisa agak cuek. Memang ini sering terjadi, Arisa yang terkadang tidak peduli akan sekelilingnya. Tapi ini terjadi hanya karena gadis itu sedang memikirkan suatu hal, yang tak boleh diketahui siapapun. Teman, bahkan keluarganya.
“Bagaimana kalau Matsuda-sunbae?” usul Yongjin tiba-tiba. Seonghun langsung menatap gadis itu.
“Kenapa kau ingin menyelidiki orang itu dulu, hah? Bukannya akan lebih baik kalau kita bertanya pada Mizushima-ahjumma dulu?” tanya Seonghun penuh selidik. Ayolah Seonghun, ini bukan waktunya untuk mengurusi urusan pribadimu.
“Justru kau yang aneh, aku kan bisa bertanya pada Mizushima-ahjumma saat aku pulang nanti, kau bodoh sekali, Seonghun,” ucap Yongjin melecehkan. Seringai muncul di wajah gadis itu, membuat Seonghun menggeretakkan giginya.
“Kak, kalau kalian berdebat terus, bagaimana kasus ini bisa selesai?” Izaaq berkata dengan santainya, paling tidak itu bisa membuat kedua orang itu diam. Malu kan jika harus bertengkar gara-gara hal sepele seperti itu?
“Merepotkan.. Ah.. lebih baik kita bagi jadi dua kelompok saja. Bagaimana kak Arisa? Kakak setuju?” Cloud mengalihkan pandangannya pada Arisa.
“Hn..” Arisa mengangguk malas. Seluruh member hanya menatap gadis itu tak percaya.
Mood-nya benar-benar buruk hari ini!’ batin mereka.
“Ja-jadi.. siapa yang menginterogasi kak Matsuda dan bibi Mizushima?” ucap Levi sedikit terbata.
“Begini sa-”
“Yongjin, Seonghun, aku serahkan pembagiannya pada kalian. Aku ada urusan keluarga, kalian bisa kuserahi tanggung jawab kan?” Tiba-tiba Arisa sudah bersiap untuk pergi, meninggalkan mereka semua dengan seribu pertanyaan di kepala mereka.
“Ah.. Ya, hati-hati,” jawab Yongjin, merasa ia harus memberikan waktu luang untuk Arisa. Mungkin saja gadis itu ingin waktu untuk sendiri? Terlebih Yongjin tahu kalau temannya itu jadi agak aneh pada hari pertama mereka “pindah”.
“Aku pergi.”
Blam!
Keadaan menjadi hening. Tak seorang pun yang berani membuka suara. Bahkan paman Seonghun. Dampak kediaman Arisa sepertinya berpengaruh besar, mengingat setiap kali mereka menemui kasus-kasus yang sulit dia-lah yang mengarahkan mereka, apalagi gadis itu sudah dipercayai Mr. Park dan otomatis pihak kepolisian percaya pada mereka. Jadi, melihat Arisa yang ogah-ogahan berakibat kecemasan di benak mereka semua.
“Seonghun-ie, apa kau tahu kenapa Arisa-ssi seperti itu?” tanya Mr. Park pada keponakannya.
Seonghun menggeleng, “Molla yo, ahjussi. Mungkin dia sedang punya masalah besar.”
‘Dan mungkin hal ini berkaitan dengan Naoto.’ lanjutnya dalam hati.
“Hmm.. Sebaiknya kita biarkan dia dulu, ada baiknya kita beri dia privasi untuk menyelesaikan urusannya,” ujar Mr. Park bijak.
“Oh ya ahjussi, menurutku pembagiannya seperti ini…”
***
Malam semakin datang. Jingga sedikit demi sedikit menghilang. Suara burung-burung sore terdengar di telinga gadis itu. Ia tengah merebahkan dirinya di rerumputan di bukit dekat sekolah sementaranya. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah itu ia tahu bahwa bukit tempat ia berada saat ini adalah tempat yang cocok untuk menenangkan diri.
“Kenapa? Bukankah ‘dia’ sudah tak ada? Dan… ‘dia’ sudah tenang bersama Azusa. Tapi kenapa bisa?” Arisa menutup matanya. Mengingat saat-saat dia harus kehilangan saudaranya. Saudara kembarnya.
“Kenapa ada orang lain yang mirip dengan‘nya’?” Dibukanya kembali matanya perlahan. Kelopak matanya membuka jalan agar manik itu bisa melihat kembali langit sore yang tadi di tatapnya. Tapi…
“Kau tidak tidur rupanya?”
Tapi… Seseorang yang paling tidak ingin ia temui sudah mendekatkan wajahnya padanya. Menatap dengan matanya yang sipit. Dekat…
“Menjauh dariku!” teriak Arisa sembari mendorong Naoto hingga pemuda itu terjengkang.
“Kau… Kenapa ada di sini huh?” Arisa mendudukkan dirinya, perlahan berdiri. Kepalanya menunduk seakan tak sudi untuk menatap pemuda itu. Tak ingin mengakui, menyadari keberadaan Naoto.
“Karena aku ingin bertemu denganmu, Arisa…”
Senyuman lembut terpasang di wajah Naoto. Tatapan sendu dari matanya tak terlepas dari sosok Arisa. Naoto ingin menghampiri gadis itu. Mendekatinya. Namun ia rasa hal itu belum mungkin. Ya, jika hal itu dilakukannya saat ini, Arisa pasti akan lebih menjauhinya.
“Bodoh.”
Tubuh Arisa bergetar. Ia tak sanggup, sungguh. Ia ingin melupakan semuanya. Masa lalunya… Ia ingin membuang semuanya. Membuang kenangan yang jika terus ia simpan akan semakin menekan dirinya. Sakit…
“Kau boleh bilang aku ‘bodoh’, ‘tolol’, atau apa pun sesukamu,” Naoto mendirikan tubuhnya, “Tapi jangan menjauhiku…”
“Jangan pergi lagi.”
Saat itu juga Arisa merasakan sebuah memori lain merasuk ke dalam pikirannya. Memori akan seorang lain.
Masaka.. kimi wa..
***
Gesekan bolpoin dengan kertas itu masih menggema di ruang tamu minimalis itu. Sang narasumber masih menjelaskan apa hubungannya dengan kedua korban. Ketiga remaja yang tengah menginterogasi sang narasumber hanya menganggu dan sekali-kali menanggapi penjelasannya.
“…Begitulah, dulu Ai-chan dan Ayumi-chan sering bermain di sini bersama anak bibi. Oh ya, waktu itu Akahito-kun juga sering bermain di sini bersama mereka berdua,” ujar bibi Mizushima tenang. Dengan lancarnya dia menjawab semua pertanyaan dari mereka bertiga.
“Begitu ya? Lalu.. kalau boleh tahu, di mana anak bibi sekarang?” tanya Levi, ia menghentikan kegiatan menulis note-nya. Untuk mendapatkan data-data yang akurat mereka harus menyadari hal sekecil apa pun yang berkaitan dengan kasus yang mereka tangani. Sekecil apa pun. Sedetail mungkin.
“Anak bibi… sudah meninggal… tiga tahun yang lalu,” ucap bibi Mizushima hampir seperti bisikan. Atmosfir ruangan itu menjadi hening. Sepertinya pertanyaan itu sedikit mengguncang batin bibi Mizushima.
“Maaf bibi.. kami tidak tahu kalau-”
“Tidak apa-apa, bibi tahu pekerjaan kalian, jadi bibi akan membantu sebisa mungkin,” ucap bibi Mizushima setelah memutus perkataan Levi. “Ah, bibi hampir lupa kalau waktu itu ada seseorang lagi, tapi bibi lupa karena dia lebih sering diam.”
“Seseorang lagi?” ucap mereka bertiga bersamaan. Kasus ini mulai menemukan titik terang. Ya, mereka yakin.
“Iya, anak itu sangat pendiam dan lebih suka membaca buku pelajarannya daripada ikut mengobrol bersama yang lain, tapi dia hampir selalu ikut bersama Ai-chan, Ayumi-chan, dan Akahito-kun ke sini.”
“Apa ahjumma tahu dia siapa?” tanya Seonghun. Di perkiraannya dia mungkin tahu siapa orang itu, tapi ia ingin mengetahui kejelasannya dari bibi Mizushima sendiri. Bilang saja dia masih belum yakin akan dugaannya. Karena mungkin orang itu…
“Hmm.. Waktu itu anak bibi memanggilnya ‘A-chan’, mungkin itu singkatan namanya karena anak bibi suka menyingkat nama orang.”
“’A-chan’? Lalu.. untuk memanggil Ayumi-noona, Ai-ssi dan Akahito-sunbae, anak ahjumma memanggil mereka seperti apa?”
“Untuk Ayumi-chan kalau tidak salah ‘Yu-chan’, Ai-chan panggilannya ‘An-chan’ dan Akahito-kun sering dipanggil ‘Kaitou-kun’. Bibi juga tidak tahu kenapa Akahito-kun dipanggil seperti itu,” jelas bibi Mizushima. Dengan ini perkiraan mereka tidak mungkin meleset.
“Oh ya bibi, kenapa anak bibi memanggil kak Ai dengan ‘An-chan’? Bukannya cukup dengan ‘Ai-chan’?” Kali ini Cloud yang bertanya. Tinggal sedikit lagi dan misteri akan terpecahkan.
“Hmm.. Mungkin karena huruf nama marganya? Jadi anak bibi menggabungkannya.”
“’A’ dari ‘Ai’, dan ‘N’ dari ‘Narusawa’ ya?” gumam Cloud, remaja itu menoleh ke arah Seonghun.
“Kak Seonghun,” panggilnya, Seonghun mengangguk.
Ahjumma, permisi, saya akan keluar sebentar,” ucap Seonghun seraya berdiri dan mengambil sesuatu dari saku celananya.
“Ah ya, silahkan...”
Kamshahamnida, ahjumma. Oh ya, kalian lanjutkan saja wawancaranya, aku keluar dulu.”
“Baik, kak Seonghun,” jawab Cloud dan Levi bersamaan.
Seonghun berjalan menuju pintu depan. Dibukanya pintu itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dan menutupnya perlahan.
“Bibi.. bisa ceritakan kejadian tiga tahun yang lalu? Kejadian kenapa anak bibi… bisa meninggal.”
Sementara itu…
“Yongjin, aku ingin kau menanyakan hal ini pada Akahito-sunbae…”
***
“Jadi.. Akahito-sunbae.. Sunbae benar-benar tidak tahu soal hal ini? Dan Sunbae juga mengaku punya alibi saat jam kejadian?”
“Aku benar-benar punya alibi! Saat itu aku menemani adikku untuk membeli buku pelajarannya, kebetulan saja tempatnya dekat dengan tempat kejadian. Tapi sungguh! Aku tidak tahu apa-apa!”
Ring.. ring.. ring..
Yeoboseyo? Seonghun? Ada apa? Ah.. baiklah.”
Investigasi itu berhenti karena sang penanya mendapatkan telepon secara mendadak. Ia berdiri dari tempat duduknya seraya mengawasi kedua rekannya.
“Aku ada telepon, kalian urus yang di sini, oke?”
“Baik, kak Yongjin!” sahut Steve semangat.
“Aku minta tolong ya.”
Blam!
“Ya.. Aku sudah di luar, ada apa Seonghun?”
“Aku minta tolong padamu agar menanyakan hal ini pada Akahito-sunbae.”
“Soal apa?”
Yongjin menemukan sebuah kursi kosong di pekarangan rumah itu. Dengan segera ia menempatkan dirinya untuk duduk. Menelepon dengan berdiri itu lama-lama juga melelahkan.
“Soal kejadian tiga tahun yang lalu, peristiwa kematian putra Mizushima-ahjumma.”
“Tunggu! Kau bilang apa tadi?” Yongjin membelalakkan matanya. Ia baru tahu jika bibi Mizushima memiliki putra. Tapi sejak ia tinggal di rumah bibi Mizushima, ia tidak menemukan barang-barang yang mengindikasikan bahwa pernah ada orang lain yang tinggal di rumah itu selain bibi Mizushima, dan beliau juga bilang bahwa mereka berdua–dia sendiri dan Arisa–adalah yang pertama kali kost di rumah itu.
“Kejadian tiga tahun yang lalu, soal kematian putra Mizushima-ahjumma, sudah jelas?” Terdengar sedikit nada kesal dari arah Seonghun.
“Ya, ya.. jelas. Sangat jelas,” ujar Yongjin kesal, “Lalu, apa hubungan kejadian itu dengan kasus kali ini? Jangan-jangan kau sudah tahu siapa pelakunya, ya?” lanjut Yongjin dengan tanya penuh selidik.
“Mungkin.. tapi aku ingin lebih memastikannya lagi, jadi aku meneleponmu. Tolong ya.”
“Yah.. kali ini akan kuturuti kau. Hanya untuk kali ini saja tapi…” Yongjin tersenyum kecil, mungkin dia memang harus melupakan perselisihan mereka tadi. Dan ia juga sadar, ia sudah bertingkah kekanak-kanakan di depan banyak orang.
“Aku tahu.. ini cuma sementara ‘kan? Ah, aku juga harus memberitahu Arisa tentang hal ini.”
“Ya, lebih baik begitu. Kau tahu kan, walaupun dia itu suka memendam masalah sendiri, untuk soal kasus dia tak akan melupakannya.”
“Kau benar…”
Hening.
“Jadi.. bye.”
Bye…
Klek!
Sambungan telah terputus. Kini tinggal suara gesekan daun yang memenuhi pendengarannya. Langit sebentar lagi juga sudah akan menghitam.
“Lebih baik aku segera ke dalam, udaranya mulai dingin.”
Yongjin menggesekkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Menghilangkan rasa dingin yang mulai menjalar dengan gesekan yang menimbulkan panas itu. Paling tidak ia sudah tidak terlalu kedinginan lagi.
“Dan.. memulai penyelidikan lagi.”
***
“Jangan bilang kalau kau-”
Tring~! Tring~!
Perkataan Arisa terputus karena interupsi tiba-tiba dari handphone-nya. Naoto menyunggingkan senyum. Yah.. “Pekerjaan” tetap saja “pekerjaan” ‘kan?
Ha’i, moshi-moshi?
Suara baritone terdengar dari lawan bicara Arisa. Mungkin yang menelepon gadis itu adalah teman sekelasnya, tebak Naoto. Siapa lagi kalau bukan Seonghun? Karena memang yang selalu bersama Arisa adalah Seonghun dan seorang gadis lain. Kalau ia tidak salah mengingat, nama gadis itu Yongjin.
Hmm.. Aku sudah tahu.”
“Haah? Kau sudah tahu? Sejak kapan?!”
“Nanti kujelaskan, teruskan pekerjaan kalian, oke?”
“Oke.. Bye.”
Bye..”
“Kau sudah tahu pelakunya, hn?”
Naoto mendekati Arisa agar posisinya bisa sejajar dengan gadis itu. Mungkin sekarang tidak apa-apa mengingat reaksi yang diberikan Arisa tadi. Jati dirinya yang sudah gadis itu ketahui.
“Aku pergi.” Arisa segera melesat pergi tanpa menjawab pertanyaan Naoto. Entah apa yang gadis itu pikirkan sehingga ia terlihat buru-buru seperti itu. Tapi yang jelas, ada perasaan tak enak yang menyusup di hati Naoto.
“Kuharap apa yang akan kulakukan ini adalah yang terbaik.”
Dan dengan cepat ia menyusul kepergian Arisa. Berlari dan bersembunyi ketika Arisa berhenti. Gadis itu cukup mempunyai insting yang tajam. Tanpa itu mana mungkin ‘kan Arisa bisa menjadi seorang detektif?
“Semoga aku bisa melindungimu.”
***
Krieet…
Suara dari terbukanya pintu kayu itu mengalihkan perhatian ketiga orang yang tengah berada dalam atmosfir serius. Seorang pemuda berumur 17 tahun-an itu segera menutup pintu tersebut, mencegah udara dingin yang masuk dari celah pintu. Dengan santai ia menuju kursi yang tadi menjadi tempat duduknya. Kembali, atmosfir serius itu datang.
“Bagaimana kak Seonghun?” Cloud berinisiatif untuk menanyakan hal yang dipikirkannya selama beberapa menit setelah Seonghun meninggalkan mereka bertiga. Meminta kejelasan atas perkiraannya.
“Persis seperti dengan apa yang kita perkirakan, Cloud.”
Cloud dan Levi menatap lurus Seonghun. Tak ada keraguan sedikit pun yang terpatri di wajah Seonghun. Dan itu artinya.. memang benar. Semuanya sudah berada di titik terang.
Hanya tinggal melaksanakan tugas terakhir…
“Kak Arisa sudah diberi tahu?” tanya Levi. Ia ingat bagaimana mood Arisa tadi, tapi dia juga harus tahu soal hal ini kan?
“Sudah, dan ia sudah tahu jauh dari kita.”
Keduanya terhenyak, tak percaya.
Apakah mungkin?
“Maaf… Bisa kalian jelaskan? Bibi tidak mengerti.” Bibi Mizushima yang sejak tadi hanya mengamati ketiga anak muda di hadapannya akhirnya memutuskan untuk bertanya. Karena tak ada satu pun yang diketahuinya dari pembicaraan tiga orang itu, apalagi tadi dia sempat mendengar Levi mengatakan sesuatu soal Arisa.
“Ah.. Maaf, bibi. Kami minta maaf, kami tidak bisa menceritakannya. Tapi bibi tenang saja, bibi tidak bersalah,” ucap Levi ramah. Sebagai satu-satunya perempuan dari timnya, sudah seharusnya dia yang harus mengendalikan suasana.
“Baiklah. Maaf, bibi tidak bisa membantu banyak. Tapi syukurlah kalau kalian sudah menemukan jawabannya.”
“Tidak bibi, bibi-lah yang banyak membantu kami. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama.”
Ahjumma, kami permisi dulu. Ada hal yang perlu kami selesaikan.”
Seonghun kembali berdiri, mengedipkan matanya ke arah Cloud dan Levi agar mereka segera pergi. Dan dengan begitu dia bisa tidur nyenyak kembali.
“Iya, tidak apa-apa. Biar bibi antarkan kalian keluar.”
Mereka berjalan ke arah pintu dan membukanya. Keempat orang itu menjejakkan kaki mereka di tanah lembab yang ada di halaman rumah bibi Mizushima. Mereka sudah ada di luar.
“Maaf sudah merepotkan, ahjumma.”
“Tidak apa-apa.”
“Sampai jumpa, bibi.”
“Sampai jumpa. Mampirlah lagi sekali-kali.”
Mereka sudah pergi. Untuk bertemu dengan tim yang lain. Untuk mengungkap semua kebenaran. Ya, kebenaran yang terselubung dalam kasus ini.
~~~
To: Yongjin
From: Seonghun
Subject: Meet
Message:
Kita bertemu di lapangan dekat rumah Aki. Aku juga akan menghubungi Arisa.
Tolong cepat.
Seonghun.
~~~
***
“Ah, kak Yongjin sudah kembali?”
Ne..
Yongjin, gadis yang sempat pergi keluar beberapa saat yang lalu itu kembali menempati tempat duduknya. Kali ini ia ingin bertanya dengan serius, karena hanya tinggal sepenggal misteri lagi yang harus diungkapnya. Kepingan puzzle yang terakhir.
“Akahito-sunbae.. Bolehkah aku bertanya? Aku janji ini yang terakhir dan setelah itu kami akan pergi,” ucap Yongjin serius, membuat Steve melayangkan tatapan protes.
“Kak Yong-!”
“Tenang Steve, biarkan semuanya kak Yongjin yang urus,” Izaaq menahan Steve agar tidak mengacaukan segalanya. Izaaq akui Steve memang sedikit tidak sabaran, karena memang begitulah sifatnya.
“Tapi Izaaq-”
Izaaq menggeleng. Sebuah isyarat agar Steve tak mengganggu Yongjin. Mau tak mau Steve menurutinya. Ini semua demi kelancaran tugas mereka. Tentu saja.
Lalu untuk apa lagi?
“Baik, tapi janji kalau ini yang terakhir. Aku tidak ingin diganggu, kekasihku baru saja meninggal, kau tahu ‘kan?” Akahito berucap dengan nada agak mengancam.
“Tenang saja, aku berjanji,” jawab Yongjin dengan seringai terpasang di wajahnya, “Jadi sunbae.. Apakah sunbae kenal dengan bibi Mizushima? Atau lebih tepatnya…”
Akahito menenggak ludahnya, memandang horor kepada Yongjin. Ia tak habis pikir kalau ia harus mengingat masa lalunya.
“Putra bibi Mizushima…”
Tolong. Jangan sebut nama itu.
“Mizushima Asuka.”
***
‘Sial! Kau pergi ke mana?!’
Hanya itu yang ada di pikiran pemuda yang tengah berlarian tak tentu arah tujuannya. Satu hal yang ia pikirkan, adalah menemukan seseorang yang hilang dari pandangannya beberapa saat yang lalu. Padahal ia sudah mengikuti orang itu sejak tadi.
Salahkan lampu merah yang menyala ketika dia hendak menyeberang.
“Ayo, berpikirlah! Dia pasti menuju ke salah satu dari tempat itu!” ucapnya tak sabar pada dirinya sendiri.
‘Kasus itu benar-benar merepotkan!’
Cih! Karena itulah aku tidak suka sifat ingin tahumu itu,” keluhnya kesal.
‘Tapi, bagaimana pun tetap saja…’
Pemuda itu berhenti. Menghela napasnya. Memejamkan matanya sejenak seraya mengingat masa lalunya. Sekelebat bayangan dari orang yang dicarinya merasuki pikirannya.
‘Mungkin saja?’
Dengan cepat ia mengambil handphone miliknya yang ada di saku celananya. Mengetik sebuah pesan singkat kepada seseorang yang merupakan teman sekelasnya sekaligus “teman kerja” orang yang tengah dicarinya.
‘Sebaiknya kalian yang menemukannya, karena kurasa jarak kalian dengannya lebih dekat daripada aku.’
“Kumohon, cepatlah!”
Bergegas, ia berlari secepat mungkin menuju tempat yang menurutnya adalah lokasi orang itu berada setelah mengirim pesan singkatnya.
‘Inilah yang membuatku benci padamu, sifatmu yang suka seenaknya itu. Tetapi itu juga yang membuatku menyukaimu..
..
Arisa.’
***
Ping!
“Tunggu sebentar!”
Derap langkah ketiga orang yang sedang terburu-buru itu terhenti mendengar instruksi dari seseorang yang tertua di antara mereka. Mereka mau tak mau harus berhenti, karena saat ini yang dapat berhubungan dengan leader mereka hanyalah orang-orang terdekatnya. Dan karena dua orang yang ada di sana merupakan kouhai alias junior, maka mereka belum bertanggung jawab sepenuhnya, artinya senpai-lah yang harus bertanggung jawab.
Terkadang menjadi seseorang yang lebih tua itu sulit.
“Ada apa kak Seonghun? Kenapa berhenti?” tanya Cloud penasaran. Padahal mereka sedang terburu-buru agar segera cepat sampai di tujuan mereka.
“Ada pesan, aku lihat dulu,” ujar Seonghun seraya membuka pesan yang masuk di inbox handphone miliknya.
‘Nomor siapa ini?’
Seonghun membaca pesan singkat yang ditujukan padanya. Alisnya mengkerut saat mengetahui siapa pengirim dari pesan singkat itu.
“Kak?”
“Kalian ikut aku, cepat!”
Tanpa ba-bi-bu lagi, Seonghun segera melesat ke tempat yang ditunjukkan oleh pesan singkat yang diterimanya. Levi dan Cloud tak punya pilihan lain kecuali mengikuti Seonghun.
“Kak, sebenarnya ada apa?” tanya Levi dalam keadaan berlarinya. “Kak Seonghun?”
“Kita harus cepat, jika tidak…” Seonghun memutus ucapannya.
“Jika tidak?”
Tak ada jawaban. Tapi dalam hatinya, Seonghun menjawab.
‘Jika tidak, Arisa dalam bahaya.’
~~~
To: Seonghun
From: XXXXX
Subject: Cepat!
Message:
Cepatlah menuju ke sekolah, Arisa dalam bahaya.
Naoto.
~~~
***
Sesosok gadis beriris abu-abu sedang mengendap-endap di balik tembok pagar di sebuah persimpangan yang kini telah hampir setiap hari selalu ia lewati. Menjaga agar dirinya tak terlihat dari seseorang yang tengah keluar dari rumah yang sedari tadi diamati oleh gadis itu. Menarik dirinya kembali untuk bersembunyi jika sosok yang tengah diawasi olehnya sedang mengecek keadaan sekelilingnya.
‘Ternyata dugaanku memang benar,’ batinnya.
Dilihatnya lagi sosok tadi yang mulai bergerak pergi. Tak ada pilihan lain selain membuntuti sosok itu. Karena ini menyangkut keselamatan seseorang.
‘Mulai bergerak!’
Merasa jaraknya dengan sosok yang dibuntutinya sudah cukup aman, gadis itu mulai bergerak. Berusaha mencari kebenaran sendirian. Tanpa rekan. Dan itu artinya…
..
Keselamatannya sendiri juga terancam.
***
“Kemana sih si Seonghun jelek itu? Membuatku menunggu lama saja!”
Seorang gadis mengomel tidak jelas sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah lapang. Dua orang laki-laki dengan umur di bawahnya hanya menatap gadis itu dengan tatapan malas serta sebulir keringat yang mengalir di pelipis mereka. Seharusnya mereka ikut tim yang lain saja.
Itu yang akan mereka katakan jika tak ada titah dari ketua mereka.
“Kak? Apa kakak bisa diam sebentar saja? Aku pusing melihat tingkah kakak yang seperti itu,” komentar Steve sembari duduk dan memulai kegiatan mencabuti rumput-rumput karena kebosanan.
“Apa kalian tidak marah hah?! Padahal tadi jelas-jelas dia yang menyuruh kita untuk cepat-cepat datang!” omel Yongjin–gadis itu–, sampai-sampai bisa terlihat kobaran api kemarahan di kedua matanya. Oke, itu berlebihan.
“Dan pada akhirnya kita yang menunggu!” Menyerah karena percuma saja mengomel tak jelas, Yongjin memilih untuk ikut duduk. Menunggu bersama kedua anggota sub-group-nya. Menunggu…
Ya… Hanya… Menung-
Pip pip! Pip pip!
“Kak.”
“Iya, iya, aku tahu,” jawab Yongjin malas-malasan. Dibukanya pesan di handphone-nya segera. Ia berdecak kesal melihat siapa sender dari pesan itu.
‘Akan kumarahi dia setelah ini! Awas kau Seonghun!’
Paling tidak itulah yang ada di batin Yongjin sebelum mengetahui isi dari pesan teks tersebut. Pesan yang mengubah persepsinya pada seseorang.
‘Dasar ceroboh! Kenapa kau berbuat nekat seperti itu hah?!’
Yongjin menggeretakkan giginya. Ia tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Memang dirinya sudah berada di dekat tempat tinggal si pelaku.
Tapi…
Jika ia menuju ke tempat itu, pasti semua sudah terlambat.
Tidak!
Belum terlambat!
“Kalian semua ikuti aku!”
Tanpa membuang waktu, gadis yang lumayan hiperaktif itu meninggalkan lokasinya sekarang. Dan kedua pemuda yang tak tahu-menahu akan permasalahan baru yang hanya bisa didengar oleh Yongjin hanya bisa mengikuti gadis itu secepat mungkin. Karena mereka tahu, hal yang akan mereka hadapi setelah ini bisa sangat berbahaya.
Karena mereka tahu, salah satu di antara mereka dalam bahaya.
‘Seonghun, Arisa! Tolong tunggu aku!’
***
Haah… Kau di mana Arisa?!” desis Naoto, pemuda yang sejak tadi mengejar Arisa ke tempat ia berada sekarang.
Di sekolahnya.
Entah apa yang membuatnya yakin bahwa Arisa ada di tempat ini. Ia hanya menuruti instingnya. Katakan dia berbohong pada Seonghun kalau Arisa tidak ada di sini.
Tapi ia yakin. Arisa ada di tempat ini.
‘Seperti dulu…’
Peluh sudah membasahi seragamnya. Tetes-tetes keringat masih mengalir di wajah kuning langsatnya. Kira-kira kalau tidak salah ia sudah mengelilingi seluruh bagian sekolah. Dari ruang kelas hingga gedung-gedung yang terpisah dari sekolah.
‘Tunggu, apa mungkin..?’
Matanya melebar. Ada satu tempat yang belum ia datangi. Satu tempat yang tak pernah lagi dikunjungi seorang pun. Karena tempat itu sudah lama tak dipakai.
Cih! Kenapa aku bisa begitu pelupa?!”
Secepat angin, digerakkannya kakinya ke tujuan berikutnya. Untuk menyelamatkan seseorang yang berharga untuknya. Seseorang yang berperan dalam masa lalunya. Seseorang yang ia butuhkan dalam mengungkap misteri yang melingkupi kehidupannya selama ini.
‘Aku ingin memastikan apakah kau benar-benar ‘dia’.’
.
.
.
“Ryou-chan tidak akan meninggalkan Ricchan ‘kan?”
Seseorang…
Di masa lalu.
***
…To Be Continue…

Author’s Note:
Tidak terlalu panjang ‘kan?
Yah.. Paling tidak saya sudah memanfaatkan liburan kali ini dengan melanjutkan fic ini. Sepertinya saya tidak bisa memenuhi target twopart, dan dibutuhkan satu part lagi untuk menyelesaikan kasus pertama. *sigh*
Untuk yang sudah lama menunggu, saya minta maaf karena harus ngaret selama berbulan-bulan. Dan terima kasih, jika ada yang masih ingat dengan fic ini dan bersedia untuk membacanya. Itu cukup kok untuk saya. :)
Lalu, untuk last chapter kasus pertama, saya harap kalian bisa bersabar karena saya harus hiatus lagi.
Jaa, see you again~ ^v^

Sign,
Anita Kazahana

0 Comment:

Posting Komentar