Voice of Death
(Part 1)
Author: blue_d3mon25 a.k.a Anita Kazahana
Rate: T
Genre: Mistery, Romance
Warning: Not really has bloody scene but I think I must warn it to you
^^^^***~~#~~***^^^^
Sang surya mulai tenggelam di ufuk barat, tanda senja penyongsong malam telah datang. Suara burung dengan bulu hitam legam turut mewarnai suasana bumi di bawah langit senja itu. Mungkin, sebagian orang menganggap burung berbulu hitam atau bisa kita sebut gagak itu adalah pertanda bahwa ada seseorang yang akan pergi dari dunia fana ini. Tapi, itu hanya mitos. Ya, hanya mitos…
Sesosok gadis berlari di dalam perjalanannya untuk mencapai tempatnya menuntut ilmu. Sekolah, nama lainnya. Bumi berotasi terlalu cepat ataukah dia yang terlalu lambat, karena saat ini arloji kesayangannya yang bertengger manis di tangan kirinya telah menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan kata lain, dia sudah terlambat. Gadis itu mempercepat larinya. Dari kejauhan dia melihat pintu gerbang yang masih terbuka walaupun tak lebar. Tinggal sejengkal lagi dia sudah masuk ke kawasan sekolahnya, ketika seorang laki-laki bertubuh tegap dengan tulisan Security di dadanya menghadang langkah berikutnya.
“Terlambat. Lari keliling lapangan 5 kali! Cepat!” kata lelaki yang bekerja sebagai satpam itu.
“T-tapi-”
“Kerjakan! Lalu kembali ke saya dan minta surat ijin untuk mengikuti pelajaran ke guru piket! Cepat!”
“I-iya, b-baik,” jawab gadis itu dengan raut wajah ketakutan.
Pada akhirnya, dia pun berlari mengitari lapangan dengan keliling 50 meter itu. Bayangkan, 5 kali keliling 50 meter. Itu artinya, sudah seperempat kilometer jarak yang ditempuhnya, belum lagi ditambah dia berlari dari rumahnya ke sekolah. Hah… pagi yang melelahkan.
Setelah ‘olahraga’ pagi itu, tugas berikutnya adalah kembali ke satpam sekolah dan meminta surat ijin dari guru piket. Tak ada halangan saat melakukan tugas itu, hanya saja dia mendapat sedikit ‘ceramah’ dari guru piket.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Permisi, Sensei,” sapanya saat memasuki ruang kelasnya.
“Terlambat lagi? Kesiangan, ya kan? Sudah, duduk sana! Mengganggu pelajaran saja!” kata seorang guru perempuan yang sedang mengajar di kelasnya.
“Baik, Sensei,” dengan langkah gontai dia menuju bangku paling belakang di ruang kelasnya. Dia hanya duduk sendiri di sana, itu karena jumlah siswa kelas itu ganjil. Dan ada alasan lain mengapa hanya dia yang duduk sendirian. Ia dijauhi. Tapi, gadis itu tak terlalu peduli.
Pelajaran itu hanya dilaluinya dengan rasa bosan. Bosan dengan semua peraturan sekolah dan kelakuan satpam serta guru-guru di sekolahnya. Tak terasa, bel istirahat pertama telah berbunyi, itu artinya dia tak harus terjebak pada pelajaran itu.
“Hei, Putri Kesiangan, terlambat lagi ya?” ejek gadis berambut hitam panjang dan berwajah cantik yang kini berada di hadapannya. Gadis cantik itu adalah salah satu murid populer dan idola di sekolah itu.
“Ada apa, Senri?”
“Oh, tidak ada apa-apa, Eri. Hanya ingin mengejekmu saja,” ucap gadis bernama Senri itu yang diiringi gelak tawa dari teman-temannya yang lain.
“Terserah apa katamu. Aku mau pergi,” jawab gadis yang terlambat tadi, yang kita ketahui bernama Eri.
Namun, belum sempat dia mengambil langkah pertamanya untuk keluar dari kelas, bel sudah berbunyi. Menyesal dia meladeni gadis sombong dan sok macam Senri.
“Kasihan… belum sempat istirahat ya?” Ucap Senri dengan nada kecemasan yang dibuat-buat. Hal itu memicu gelak tawa yang lain. Tawa mengejek yang tak ingin Eri dengar.
Eri hanya terdiam mendengar semua ejekan dan tertawaan yang ditujukan padanya. Dia berusaha agar emosinya tidak muncul ke permukaan. Bersabar. Dia hanya bisa mengutuk semua ucapan yang dikatakan Senri padanya, di dalam hatinya.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Pelajaran, lalu istirahat, pelajaran lagi, dan pada akhirnya inilah waktu pulang. Semua murid di kelas 3-1 itu telah pulang. Tunggu, masih ada seorang lagi yang belum keluar. Eri.
“Kenapa? Kenapa?! Selalu saja seperti ini!!”
Cairan bening yang telah ditahannya sedari tadi sudah tak dapat dibendung lagi. Indera penglihatannya telah meneteskan titik-titik air. Air mata. Dia menangis.
“Komuri-san, Noriko-sensei, dan Senri! Aku benci mereka! Andaikan…”
“A-andaikan, mereka menghilang dari dunia ini, p-pasti hidupku a-akan tenang.”
Setelah mengatakan kalimat itu, dia memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ke tempat dimana dia bisa menenangkan diri. Namun, tak ia sadari sepasang mata menatap tajam ke arahnya, dilatar belakangi suara gagak dan seekor burung hitam yang hinggap dibahunya.
“Jika itu keinginanmu. Akan kukabulkan..”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Baiklah, sekarang Ibu akan memperkenalkan murid baru di kelas ini. Namanya Takahashi Shigeru, dia murid pindahan dari luar negeri. Oke, Shigeru tempat dudukmu di….,” Noriko-sensei, wali kelas 3-1 itu mencari tempat duduk untuk anggota baru di kelasnya. Semua bangku telah terisi penuh, kecuali… bangku di sebelah Eri. Ia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus tadi.
“Di sana, di sebelah Eri,” ucapnya sembari menunjuk bangku kosong di sebelah Eri.
Setelah mengetahui tempatnya duduk, Shigeru segera menuju ke bangku itu dan duduk. Tak ada interaksi yang terjadi antara dia dan gadis di sebelahnya, Eri. Keheningan terus terjadi hingga istirahat pertama. Eri memutuskan untuk pergi ke atap sekolah, kini Shigeru sendirian di bangku itu.
“Hai! Aku Senri, Nakamura Senri,” ucap Senri sambil menyodorkan tangannya pada Shigeru. Dia sengaja tidak keluar kelas hanya untuk berkenalan dengan Shigeru.
“Shigeru,” ucap Shigeru dingin tanpa menyambut tangan Senri. Hal ini membuat Senri menarik tangannya kembali.
“Jadi?” tanya Senri.
“Jadi apa?” tanggap Shigeru sinis. Matanya menatap tajam ke arah Senri.
“Sebaiknya kau pergi dari sini. Mengganggu saja,” usir Shigeru agak kasar.
“E-emh… B-baik,” Senri segera meninggalkan Shigeru, keluar dari kelas. Takut setelah dibentak secara mendadak.
Sesaat setelah sang gadis idola sekolah itu pergi, kini Shigeru-lah satu-satunya orang yang ada di kelas itu. Dia menatap tajam keluar jendela, melihat burung gagak yang bertengger di pohon dekat kelasnya.
“Tunggulah, sebentar lagi..”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Kaak.. Kaak... Kaak..”
Suara ‘kicauan’ gagak pagi ini membangunkan Eri. Padahal dia masih ingin menyelam ke dalam alam mimpinya. Alam mimpi yang lebih indah dibandingkan kehidupannya di dunia nyata.
“Argh.. Kenapa pagi-pagi begini ada gagak?” keluh Eri.
“Che! Suaranya berisik sekali!” decak Eri kesal sambil menutup kedua telinganya.
Eri mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Mengubah posisi rebahnya. Menghela nafas dan mematung selama beberapa saat. Menyesuaikan diri setelah bangun tidur.
“Haah.. Lebih baik aku mandi sekarang,” Eri beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi yang tersedia di kamarnya. Mengambil handuk yang tergantung di gantungan dekat kamar mandinya, lalu masuk ke ruangan yang akan menyegarkan dirinya pagi ini.
Beberapa menit kemudian, Eri telah selesai membersihkan dirinya. Dipakainya seragam sekolahnya, dan berdandan meskipun tak terlalu tebal.
“Yak, sempurna. Tapi aku tak menjamin hari ini akan sempurna. Yah… Setidaknya aku bisa berterima kasih pada gagak-gagak itu karena telah menjadi ‘alarm pagi’ bagiku,” ucapnya sembari membenahi dasinya yang agak miring.
“Baiklah, saatnya berangkat ke sekolah membosankan itu lagi.”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Sekolah Menengah Pertama bergengsi itu kali ini dipenuhi berbagai macam kalangan masyarakat. Seharusnya, tak semudah itu para warga bisa masuk ke lingkungan sebuah sekolah elit seperti sekolah itu. Namun, mungkin ada alasan lain sehingga keamanan pagi itu tak seketat biasanya. Hal itu mungkin juga bisa dijelaskan dari mobil polisi yang tengah berjajar di depan sekolah itu. Heh, tapi sepertinya polisi juga tak peduli akan warga yang menyerobot masuk ke lingkungan sekolah. Pengamanan yang sungguh payah. Akan tetapi, semua keganjilan pagi hari ini mengundang sebuah tanda tanya besar di benak seorang gadis yang baru saja datang di area tersebut.
“A-ada a-apa ini?”
Kedua matanya membelalak melihat keadaan mengenaskan di hadapannya. Membuatnya ingin segera pergi dari tempat itu untuk muntah. Kalian tahu apa yang dilihatnya? Sebuah raga tanpa jiwa. Lebih tepatnya, sesosok jenazah dengan keadaan yang bisa disebut sangat menyedihkan dan tentunya mengenaskan seperti yang dilihat gadis tadi.
“I-ini.. ti-dak mung-kin.. ke-kenapa?”
Eri, gadis itu tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia berharap apa yang kini ada di depannya hanyalah mimpi. Namun, sepertinya hal itu tak bisa dikabulkan. Apa yang dilihatnya kini adalah fakta, bukanlah fiktif, bukanlah mimpi. Takehiko Komuri, sang satpam sekolah itu kini sudah tiada. Ya, sosok jenazah itu adalah Komuri.
“Ke-kenapa bisa se-perti i-ni?”
Apa kalian ingin tahu bagaimana ‘sosok’ Komuri saat ini? Keadaannya benar-benar mengerikan. Mata sebelah kanan yang tercongkel keluar. Pisau tajam yang menusuk ke dadanya tepat di titik dimana jantungnya berada. Selain itu, bekas darah yang masih terbilang ‘baru’ karena bisa dirasakan bahwa darah itu belum mengering, berceceran di tempat kejadian. Bau amis menyeruak di udara, bau darah.
Setelah itu, bisa dipastikan jika pada hari itu semua siswa dipulangkan lebih pagi. Berkabung akan sebuah kehilangan yang amat memukul semua warga sekolah itu.
“Selanjutnya, yang kedua..”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Seminggu telah berlalu sejak kematian satpam kepercayaan di sekolah Eri, setidaknya itulah yang dikatakan Kepala Sekolah mereka saat upacara pagi. Belakangan ini dia sudah tak pernah terlambat lagi. Sepertinya kejadian seminggu yang lalu itu memberikan dampak yang cukup bagus bagi gadis itu.
“Haaah....,” Eri menghela napas yang cukup panjang.
“Melelahkan sekali hari ini,” ucapnya sambil menatap senja di langit.
Senja. Mentari yang semenjak tadi memberi cahayanya bagi bumi, kini tengah tenggelam di ufuk barat. Menghilang untuk memberikan tempat bagi sang bulan sebagai penggantinya di kala malam datang.
“Kaak.. Kaak.. Kaak…”
“Ga-gagak??” Eri menghentikan langkahnya. Ia mencari sumber suara gagak yang didengarnya tadi. Diedarkan seluruh pandangannya ke segala arah, namun nihil. Ia tak dapat menemukan dimana dan darimana sumber suara tadi.
“Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja, paling ini gara-gara aku kelelahan,” Eri melanjutkan perjalanannya ke rumah. Ingin cepat-cepat menghilangkan rasa lelah yang sudah menguasai dirinya.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Ruang guru itu terlihat sepi. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, ada seorang wanita yang masih berkutat dengan beberapa lembar hasil ulangan murid-muridnya.
“Akhirnya…,” wanita itu memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas, dan lembaran-lembaran itu dikumpulannya dengan rapi di mejanya. Sepertinya ia sudah menyelesaikan pekerjaannya.
“Saatnya pulang,” wanita yang biasa dipanggil Noriko-sensei itu pun berdiri sembari mengambil tasnya. Ia berjalan ke arah pintu ruang guru tempatnya berada. Diraihnya kenop pintu yang tertutup itu. Diputarnya perlahan kenop yang akan memberikan jalan keluar baginya dari sana.
Klek! Klek! Klek!
“A-aneh, kenapa tidak bisa dibuka??” Berulang kali diputarnya kenop pintu itu, namun pintu itu tak kunjung terbuka.
“To-tolong!!!”
BRAK! BRAK! BRAK!
Ia menggedor pintu kayu itu berkali-kali sambil berteriak minta tolong. Berharap ada seseorang yang menolongnya.
“Itu percuma, Noriko-sensei…”
Sekelebat suara dari belakangnya mengagetkannya yang tengah panik. Hal itu membuatnya harus berbalik ke belakang untuk mencari asal suara itu.
“A-apa?”
Kini, seseorang dengan jubah hitam terusan bertudung yang melekat di tubuhnya dan membawa sebuah sabit besar tengah menatap ke arahnya. Ia terdiam, terpaku, ketakutan. Keringat yang mengalir deras di wajahnya adalah bukti bahwa dirinya memang benar-benar ketakutan. Dicobanya lagi untuk membuka pintu itu, namun hasilnya tetap nihil.
Sosok itu mendekatinya perlahan. Dia berusaha untuk berlari, mencoba menghindar. Tapi, kakinya seakan tertanam ke dalam bumi, ia tak bisa menggerakkannya barang se-senti pun.
Semakin dekat. Sosok itu semakin dekat, mengangkat sabit besarnya. Sasarannya adalah penghubung kepala dan badan sang guru. Lehernya.
“To-tolong… Ja-jangan bunuh, a-aku…,” ucapnya sambil memohon.
“Sudah saatnya anda pergi… Selamat tinggal, Noriko-sensei…”
CRASSH!!!
“ARRRGGGHH!!!”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Eh, apa benar Noriko-sensei sudah…”
“Iya, katanya tadi pagi jasadnya ditemukan di ruang guru.”
“Ah, ya, aku juga dengar saat jasad Noriko-sensei ditemukan, lehernya hampir putus. Kalian tahu? Di ruang guru banyak sekali darah yang berceceran, setidaknya itu yang kudengar dari pembicaraan para Sensei saat aku lewat tadi.” Bisik-bisik dari seluruh siswa kelas 3-1, atau paling tidak tiga per empatnya itu menyebabkan bunyi layaknya lebah yang terbang di dekat sarangnya. Sedang sisanya hanya diam saja atau membaca buku-buku yang ada, dan salah satu dari siswa yang diam itu adalah Eri.
Gadis yang tengah berpikir akan kejadian yang kemungkinan saja berhubungan dengannya itu berdiri dari bangku yang ditempatinya. Sejak tadi dia tak melihat teman sebangkunya, Shigeru. Padahal, seharusnya semua siswa saat ini harus ada di dalam kelas. Duduk tenang. Tapi, anehnya teman sebangkunya itu sekarang tak ada di sebelahnya. Ia berjalan melewati deretan bangku “teman-temannya” yang terlihat tak acuh, pura-pura tak tahu bahwa gadis itu, Eri akan keluar dari kelas.
“Aku ijin ke belakang.”
Tak ada seorang pun yang menyahut, hanya anggukan dari ketua kelas yang didapatnya. Namun, hal itu sudah cukup untuknya sebagai ijin keluar dari kelas.
“Sekarang, aku akan mencarinya.”
Eri mencari ke semua lokasi yang mungkin saja didatangi Shigeru. Semenjak kepindahannya ke sekolah Eri, dia memang sedikit menarik perhatian gadis itu. Rasa penasaran karena memang sikap misterius Shigeru sedikit mengganggunya. Apalagi, setelah itu kejadian aneh yang menggemparkan seisi sekolah seakan membayangi pikiran Eri.
Sekarang, dia berada di dekat area ruang guru yang masih dipenuhi polisi. Disana juga ada petugas kebersihan sekolah yang merupakan orang yang pertama kali menemukan tubuh tanpa jiwa gurunya. Pagi tadi, dengan bau anyir yang menyeruak dari ruang guru.
“Kau mencariku?” Tiba-tiba Eri mendengar suara dari belakangnya. Dengan cepat dia berbalik ke belakang dan mendapati orang yang sedang dicarinya itu tersenyum misterius padanya. Hal itu membuatnya sedikit waspada.
“Kemana saja kau?” Tanya Eri tak melepas pandangan waspadanya dari Shigeru.
“Aku hanya berkeliling, memang apa salahnya?” Jawab Shigeru.
“Ya, itu salah. Seharusnya kau ada di kelas, bukannya jalan-jalan kemanapun sesuka hatimu,” ucap Eri dengan nada dingin.
“Hmph! Tak kusangka ternyata kau peduli dengan orang lain juga,” ucap Shigeru.
“Heh! Aku bukan orang yang tidak suka pada orang lain lalu tak peduli akan apa yang terjadi pada orang itu, aku masih peduli,” bela Eri.
“Hoo... jadi kau masih peduli pada orang-orang yang kau benci? Aku salut padamu,” ucap Shigeru sedikit menyeringai.
“A-apa, ma-maksud-mu?” Tanya Eri. Dia tak mengerti kenapa Shigeru bisa berkata seperti itu. Tapi, yang dikatakannya memang benar.
“Suatu saat kau juga akan tahu. Yah… Sebaiknya kita kembali ke kelas sekarang,” ajak Shigeru yang hanya ditanggapi tatapan tajam Eri karena dengan seenaknya mengalihkan pembicaraan mereka.
“Ya, kau akan tahu, sebentar lagi…” Bisik Shigeru dengan suara kecil. Sangat kecil, hingga Eri tak dapat mendengarnya.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Ugh… Apa-apaan si Shigeru itu! Dasar anak aneh!” Ucap Eri sambil menenggelamkan kepalanya di bantal kesayangannya. Sekarang, dia benar-benar tak bisa melepaskan pikirannya dari sosok Shigeru. Si bocah misterius.
“Aku harus menyelidikinya! Ya! Harus!” Tekad bulat untuk menyelidiki Shigeru sudah ditetapkannya. Dia benar-benar ingin menguak misteri dibalik kejadian janggal yang sudah menemani kehidupannya baru-baru ini.
Ia menaikkan selimut tebal miliknya dan menutup seluruh badannya. Bersiap untuk tidur.
“Siapa kau sebenarnya, Shigeru…”
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
“Sudah puas dengan apa yang kau lakukan. Hm?”
“Tidak, belum. Masih tersisa satu ‘permainan’ lagi.”
“Memangnya kau anggap apa nyawa-nyawa yang melayang itu?”
“Nyawa? Huh, nyawa-nyawa itu tak ubahnya mainan untukku.”
“Jika kau anggap mereka hanyalah mainan untukmu, maka aku yang akan menghentikanmu.”
“Hee… Benarkah? Bukankah sudah dua nyawa melayang karena kau tak bisa menyelamatkan mereka?”
“Che! Terserah padamu! Tapi, aku akan melindunginya darimu.”
“Hm… Apa kau sudah jatuh padanya?”
“Bukan urusanmu.”
Salah satu dari dua sosok itu menghilang dari taman gelap tempat mereka bertemu. Seringaian iblis melekat di wajah satu sosok yang ditinggal oleh sosok yang telah menghilang itu.
“Baiklah, apakah kau bisa menghentikanku untuknya?”
Perlahan sosok itu menghilang. Menghilang dengan diiringi angin malam yang bercampur dengan bulu sekelam malam tanpa bintang.
“…..Shi- ah, bukan, Pangeran?”
Dan kini hanyalah kesunyian dan kesenyapan yang menaungi kegelapan taman itu.
Note:
Ini sebenarnya Oneshot, tapi belum selesai..
Jadi terpaksa saya pisah menjadi dua bagian, tapi masih saya kategorikan Oneshot..
Wow !! Keren critanya, btw tolong bwt cerita tentang zombie gitu donk, plizz!!
BalasHapusSkali lagi Critanya Kereen!!!
Good Story, Coba buat yang lebih Banyak Teka tekinya..
BalasHapusBe-nar-kah???
BalasHapusTapi, sebentar lagi sudah mulai konflik terakhir, karena memang rencananya dibuat dikit..
Yah, walaupun akhirnya harus dipisah jadi 2.. ^^a
Pokoknya tunggu part 2 alias part terakhirnya ya! ^^
Bentar lagi mau selesai kok.. ^^V